Ada yang bilang, segala sesuatu yang besar itu dimulai dari mimpi. Tapi sejauh mana mimpi itu bisa direalisasi, adalah pertanyaan besarnya.
Seperti misalnya Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) yang bermimpi bisa mengekspor beras saat masa panen raya pada Maret mendatang. Tolok ukurnya adalah, ekspor bakal dilakukan jika gudang beras milik Bulog tak cukup menyerap beras hasil panen raya.
Menurut hitungan kasar sang Direktur Utama Bulog, Budi -Buwas- Waseso, saat ini gudang Bulog sudah terisi 2,1 juta ton beras. Dengan kondisi tersebut, pihaknya hanya mampu menyerap 1,8 juta ton beras dari hasil panen raya. Hanya sebanyak itu, dan tidak bisa menyerap lebih banyak lagi.
Atas dasar itu lah, Buwas berasumsi bisa menjual hasil produksi panen beras petani ke beberapa negara karena mungkin mereka butuh dari Indonesia. Bahkan ia dengan percaya dirinya mengaku sudah melakukan beberapa pembicaraan dengan negara sahabat untuk menjajal wacana ekspor beras.
Ia juga menjadikan petani sebagai alasan dari rencana ekspor tadi. Menurutnya ekspor ini juga ditujukan agar harga gabah yang diterima petani tak anjlok. Sebab, sesuai hukum permintaan dan penawaran, lonjakan suplai akan bikin harga beras turun jika permintaan dianggap tetap.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), harga Gabah Kering Panen (GKP) yang diterima petani selalu melandai di masa panen. Pada Maret 2017, harga GKP turun 5,72 persen dibanding bulan sebelumnya dan kemudian turun lagi sebesar 1,54 persen di bulan April. Hal serupa juga terjadi pada 2018, di mana GKP bulan Maret turun 8,35 persen dibanding bukan sebelumnya, lalu turun lagi 4,16 persen di bulan April. Kendati demikian, menurut dia, jadi atau tidaknya ekspor ini tetap tergantung pada produksi beras nantinya.
Belum sampai pagi tiba, mimpi Buwas itu sudah keburu dibantah oleh pelaku pasar. Direktur Utama Food Station Tjipinang Jaya yang mengelola Pasar Induk Beras Cipinang meragukan realisasi impian Buwas tadi. Alasannya adalah tingkat kebutuhan beras nasional.
Sebagai pelaku pasar, perusahaan seperti Food Station Tjipinang lebih paham mengenai kondisi lapangan. Mereka tidak mau berpegang pada data saja, seperti yang dilakukan oleh Buwas tadi.
Bila mengacu pada data beras saja, maka kita tidak akan mengimpor beras seperti tahun lalu. Karena mengacu pada data beras versi Kementerian Pertanian (Kementan) ), jumlah produksi beras nasional tahun kemarin mencapai 80 juta ton atau setara 46,5 juta ton beras. Sementara jumlah konsumsi masyarakat sekitar 33,46 juta ton.
Adanya selisih berupa surplus sekitar 13 juta ton itu, harusnya membuat kita tidak perlu impor. Tapi nyatanya, pemerintah tetap mendatangkan beras dari luar negeri. Harganya di akhir tahun lalu juga masih sempat berfluktuasi.
Oleh karena itu, mari kita berharap para pelaku pasar tidak terlena dengan mimpi Buwas belaka. Karena bisa berdampak buruk. Bisa saja ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, lantas menimbun stok beras. Sehingga ketika Bulog benar-benar jadi mengekspor beras, akan terjadi kekurangan stok di dalam negeri. Dan para oknum tadi bisa menikmati selisih harga dari beras yang sudah mereka timbun sebelumnya. Semoga kita dijauhkan dari keculasan semacam itu.