Indonesia sepertinya tidak akan bisa lepas dari impor gula. Kondisi itu terjadi karena kita kuwalat. Mesin pabrik gula yang umurnya seratusan tahun belum dipensiunkan, bahkan masih mendominasi hingga 60 persen dari pabrik-pabrik gula di dalam negeri. Padahal manusia sendiri, sudah pensiun di umur 60-70 tahun. Akibat tidak menghormati mesin yang berusia seabad lebih itu, maka produksi gula kita kuwalat. Dikutuk tidak bisa berproduksi secara efisien.
Kuwalat ini bukan sekadar omong-omongan orang tua belaka. Tapi secara keilmuan, seorang ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bernama Revrisond Baswir, melihat sendiri betapa tidak hormatnya kita pada mesin-mesin gula yang sudah uzur itu.
Sumber: Republika
Menurut hitungan sang ekonom, penggunaan mesin gula yang uzur itu membuat biaya produksi pabrik lebih mahal. Ujungnya, harga jual gula lokal ikut naik. Dan bahkan lebih mahal ketimbang gula impor, sehingga tidak laku di pasaran.
Untuk diketahui, harga gula lokal sampai November 2018 lalu sebesar tiga kali lipat dibandingkan dengan harga gula dunia. Harga gula lokal mencapai Rp 12.163 per kg, sementara rata-rata harga gula mentah dunia hanya Rp 4.000.
Kondisi itu bertambah parah oleh makin banyaknya perubahan peruntukan lahan, dari pertanian menjadi lahan pemukiman atau niaga. Ibarat kata, sudah terseok-seok berproduksi di pabrik, pasokan bahan baku tebu juga jadi berkurang.
Agar bisa lebih baik, perlu ada perbaikan menyeluruh, khususnya oleh pemerintah. Misalnya dengan cara mengerem alih fungsi tanah pertanian. Selain itu, pemerintah juga bisa mengganti mesin-mesin gula yang sudah uzur. Saran ini sangat mungkin untuk diakukan. Apalagi sebagian besar pabrik gula bermesin uzur itu adalah karyawan di pabrik
Dalam revitalisasi industri gula nasional, pemerintah merupakan leading sector yang paling mungkin mengeksekusinya. Karena sejauh ini, industri gula nasional kesulitan menarik investor lantaran ragu melihat produksi tebu nasional yang dipandang tidak akan mencukupi kebutuhan pabrik gula sendiri.Â
Perluasan lahan pertanian juga sepertinya berjalan setengah hati. Karena Kementerian Pertanian (Kementan) terkesan lebih fokus mempertahankan lahan tani untuk tanaman pangan seperti padi, jagung, atau kedelai. Ketimbang penambahan lahan tebu.
Dilihat dari Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Tebu 2015-2017, lahan perkebunan tebu dalam periode 2008-2017 tak banyak mengalami perubahan. Pada periode tersebut, luas rata-rata mencapai 454.782 hektare, dengan luasan tertinggi pada 2014 yakni 478.108 hektare dan luasan terendah pada 2009 seluas 441.440 hektare. Dari luasan tersebut, rata-rata produksi pada periode yang sama adalah 246 juta ton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H