Inflasi atau instabilitas harga pangan ibarat hantu yang mengintai kita menjelang akhir tahun nanti. Para pakar berpendapat, pangkal soal dari hantu instabilitas harga pangan itu adalah masalah laten berupa data produksi yang valid. (Bisnis Indonesia)
Persoalannya ada pada data dan ego sektoral Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman yang merasa sebagai pemilik kewenangan tertinggi di wilayah produksi pangan. Akibatnya, pelaku produksi sektor pangan sendiri yang jadi korban.
Misalnya, Kementerian Pertanian (Kementan) ngotot soal produksi beras nasional sehingga menolak rencana impor di awal tahun lalu. Mentan Amran seolah berada di pihak berseberangan dengan pemerintah yang sudah sepakat mengimpor beras.Â
Belakangan, angka prediksi produksi beras versi Kementan direvisi oleh Badan Pusat Statistik. Sebagai otoritas data tertinggi, BPS menyatakan bahwa angka Kementan ketinggian.Â
Satu lagi contoh ego Kementan yang membahayakan pelaku sektor pangan adalah kengototannya mengklaim surplus produksi jagung hingga 12 juta ton. Padahal saat ini harga jagung di pasaran sudah melejit hingga Rp5300-5600 per kg. Jauh di atas harga patokan pemerintah sebesar Rp 4000 per kg.
Belakangan ego itu seperti ludah yang mereka jilat kembali. Kementan akhirnya mengajukan impor jagung hingga 100 ribu ton. BPS juga memberikan data bahwa kita masih impor jagung sebesar 500 ribu ton (hingga Oktober 2018) untuk kebutuhan industri makanan dan minuman.
Kelambanan Kementan meredam egonya itu berpotensi merusak tata niaga jagung. Impor yang terlambat diajukan, akan merembet pada lambatnya jagung masuk ke dalam negeri. Bila jagung baru masuk di awal tahun, maka Kementan akan jadi pihak yang paling disalahkan bila harga jagung lokal anjlok. Karena awal tahun sudah masuk periode panen raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H