Bagaimana negara kita bisa swasembada pangan bila tidak ada lagi yang mau jadi petani?
Janji swasembada pangan pernah diucapkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman ketika baru dilantik 4 tahun lalu. Tapi hingga saat ini, Indonesia masih saja mengimpor bahan pangan. Mulai dari Padi, Jagung, dan Kedelai.
Upaya mewujudkan swasembada itupun semakin sulit. Karena menurut data terbaru, hampir tidak ada regenerasi petani. Kelompok usia muda di desa, enggan berprofesi jadi petani.Â
Berdasarkan data BPS, dari sisi lapangan pekerjaan, sektor pertanian di Agustus 2018 turun sebesar 0,89 % poin secara year on year.
Bulan Agustus 2017 kemarin, ada 29,69% orang yang bekerja di sektor pertanian, dari total penduduk bekerja sebanyak 121,02 juta orang.
Tapi di Agustus 2018 tahun ini, angka itu turun. Hanya 28,79% Pekerja di sektor pertanian dari total 124,01 juta penduduk bekerja. Artinya, terjadi penurunan 0,89%.
Pemerintah, khususnya Menteri Pertanian, punya andil tersendiri dalam menurunnya minat orang jadi petani ini. Misalnya nilai tukar petani yang stagnan di kisaran 100 menunjukkan tidak ada insentif ekonomi untuk bekerja sebagai petani. Di luar nilai tukar, tidak ada pula inseNtif prestise.
Sudah hampir jadi pemahaman bersama bahwa profesi petani itu lekat dengan bayangan kemiskinan. Melarat, kotor. Padahal, di Pundak para petani lah ketahanan pangan kita bergantung. Ketahanan pangan adalah ketahanan nasional. Bangsa yang tidak memiliki keamanan pangan, bisa rawan gangguan. Bahkan punya potensi disintegrasi.
Defisit nilai tukar dan prestise petani itu diperparah lagi dengan lahan pertanian yang semakin berkurang karena perkembangan kota semakin memperburuk keadaan. Lahan-lahan pertanian, terutama di pinggiran kota besar, beralih menjadi lahan perumahan.
Berbagai gambaran suram pertanian tadi, membuat klaim swasembada pangan terdengar seperti khayalan. Malah ke depannya, bukan tidak mungkin Indonesia akan semakin berGantung pada impor pangan.
Sumber