Mohon tunggu...
Tanziila
Tanziila Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mahabharata

Tak lebih dari pria bertampang biasa saja pun, tunakarya, tak bisa jadi asa, namun syukurnya tak ada jeda.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Si Bapak Republik

31 Desember 2022   00:25 Diperbarui: 31 Desember 2022   00:27 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia seringkali mengalami berbagai momentum-momentum penting yang melibatkan kenegaraannya sehingga kerap kali terabadikan dalam cerita sejarahnya. Setiap tahun masyarakatnya merayakan Hari Besar Nasional seperti Hari Kemerdekaan, Hari Kartini, Hari pahlawan, dan lain sebagainya. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari perjuangan bangsa Indonesia mulai dari perjuangan warga negara dan pejuang dari daerah perkotaan kecil sampai perkotaan besar. Salah satunya yakni Kota Surabaya yang memiliki satu tanggal yang sangat bersejarah, tidak hanya bagi kota Surabaya tetapi juga bagi negara Indonesia sendiri. Tanggal yang dimaksud adalah tanggal 10 November yang juga dikenal sebagai hari pahlawan. Perlawanan para arek-arek Suroboyo dan para pejuang dengan tujuan mengusir bangsa asing yang sedang melakukan penjajahan di negara Indonesia tidak semudah yang dibayangkan, namun menemui perlawanan sengit dari pasukan Belanda, Jepang dan Sekutu. Para pejuang baik yang gugur maupun yang tetap bertahan hidup sekarang tersebut juga memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pengambil alihan kekuasaan dari tentara Jepang menuju ke-tangan pemerintahan Indonesia yang ada di Surabaya.

Semangat kepahlawanan yang diwujudkan oleh para pejuang merupakan amal perjuangan yang dipersembahkan kepada bangsa dan tanah air. Pondasi perjuangan mereka tentu berdasar pada jiwa dan semangat rela berkorban untuk bangsanya tanpa mengharapkan imbalan apapun selain kemerdekaan bangsanya. Semangat juang yang menggelora, keberanian, rasa kesetiakawanan yang tinggi, strategi dan perhitungan yang tepat, rela berkorban, sifat kegotongroyongan, cinta tanah air dan bangsa, tidak mengenal menyerah serta percaya pada kemampuan diri sendiri adalah nilai-nilai Kepahlawanan yang masih relevan dan patut menjadi suri teladan khususnya bagi generasi muda sebagai masa depan bangsa. Nilai-nilai Kepahlawanan perlu dijunjung tinggi dengan penuh kebanggaan dan diamalkan dalam berbagai kegiatan pembangunan serta kehidupan sehari-hari. Berkat Rahmat tuhan dan jasa para pahlawan, saat ini kita bisa menghirup napas kemerdekaan dengan kebebasan dan lega, sudah tidak ada lagi kerja rodi dan romusa. Jika berbicara tentang pahlawan, saya ingin memperkenalkan salah satu pahlawan yang perjuangan dan pemikirannya sangat berpengaruh untuk rakyat, bangsa dan negara Indonesia, namun sayangnya ia tidak dikenang, ia terlupakan, namanya jarang bahkan hampir tidak pernah ada di buku-buku pelajaran sejarah di sekolah, ia adalah Tan Malaka. Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka memiliki 23 nama samaran, namun biasa dikenal sebagai nama Tan Malaka. Pejuang sekaligus pemikir yang sumbangsihnya itu sangat harus di apresiasi oleh rakyat Indonesia. Lahir di Nagari Pandan Gadang, Gunuang Omeh, Sumatera Barat yang pada saat itu tanah Indonesia ini masih bernama Hindia Belanda. Ayahnya bernama HM. Rasad Caniago yang berprofesi sebagai buruh tani, ibunya bernama Rangkayo Sinah Simabur sebagai putri dari seorang tokoh yang terpandang di daerah tersebut. Tan Malaka kecil tinggal di Suliki, sebuah daerah yang bertempat di pulau Sumatera Barat, ia belajar ilmu agama dan juga belajar ilmu seni bela diri Pencak silat. Pada tahun 1908, Tan Malaka mulai mempelajari bahasa Belanda di kweekschool, sekolah guru negeri, di fort de kock, Bukittinggi, Sumatera Barat. Menurut gurunya, Tan Malaka adalah murid yang sangat baik walaupun agak bandel. Ia lulus pada tahun 1913 lalu kembali ke tempat asalnya, kepulangannya ditandai dengan penyematan gelar adat tertinggi, yaitu sebagai datuk, lalu ia melanjutkan pendidikan nya ke negeri orang, ia berlabuh ke Rotterdam di tahun yang sama.

Sesampainya di Belanda, Tan Malaka mengalami culture shock, ia menyepelekan iklim Eropa Utara, hingga berakibat dia diagnosis terinfeksi radang selaput dada, pada awal tahun 1914 hingga 1915 belum sepenuhnya ia pulih dari penyakitnya. Selama berada disana, Malaka jadi tertarik pada sejarah revolusi. Inspirasi pertamanya tentang masalah ini adalah dari buku de franche revolutie. Tan Malaka mulai menyukai komunisme sejak membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Ia juga mulai membaca buku-buku ciptaan Friedrich Nietzsche, yang jadi panutan politik awalnya. Di Belanda ia bertemu dengan Henk Sneevliet, salah satu pendiri indische sociaal democratische vereniging (ISDV) yaitu yang menjadikan terciptanya Partai Komunis Indonesia (PKI).

 Tan Malaka lulus dan menerima diploma hulpacte. Setelah lulus dari pendidikannya, Tan Malaka meninggalkan negeri kincir angin dan kembali ke pelukan ibu pertiwi. Ia berjuang untuk mengusir penjajah dari bangsa tercintanya. Namun kenyataan usahanya tidak berjalan mulus, ia diasingkan dari negara ke negara dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah Belanda dengan keberadaan Partai Komunis Indonesia. Namun, didalam pengasingannya itu karya terbesar dari Tan Malaka Naar De Republiek Indonesia telah tercipta. Sebagaimana yang pernah beliau ucapkan “buku adalah peluru, kata kata adalah senjata.” Buku itu berhasil membuat pejuang revolusi Indonesia lainnya semakin membara. Hingga akhirnya proklamasi kemerdekaan telah dibacakan, namun Tan Malaka tidak sedikitpun memiliki kesempatan ikut andil dalam memproklamirkan kemerdekaan Indonesia . Setelah proklamasi kemerdekaan, nama Tan Malaka semakin tak dianggap. Seiring berjalannya waktu Tan Malaka ditembak oleh seorang prajurit yang diperintah oleh Letda Sukotjo dan ditemukan mati di pinggir sungai di sebuah lereng gunung Wilis, kediri, Jawa Timur. Peristiwa tersebut disebabkan karena perbedaannya ideologi. Menurut Harry Poeze, Letda Sukotjo adalah orang kanan yang paling lantang beropini bahwa Tan Malaka harus dibunuh. Perjuangan Tan Malaka selama ini dianggap sebagai omong kosong, Tan Malaka dibunuh dan mati tanpa pengadilan sedikitpun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun