Jalanan pagi ini tidak seramai biasanya, mungkin karena sedang akhir pekan, jadi orang-orang lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama dengan keluarga. Maklum saja, enam hari kemarin sudah dipakai untuk bekerja. Kala matahari masih muncul malu-malu, jalanan sudah ramai dengan kendaraan yang berseliweran dan baru akan ramai lagi setelah matahari mulai terbenam.
Jadwal pagi ini pergi ke pasar bareng Nisa, belanja kebutuhan rumah tangga untuk seminggu ke depan. Ciee rumah tangga. Eh beneran loh ini. Jadi para penghuni di kos aku pada istriable semua sebenarnya. Pagi udah megang cucian, masak, setrikaan, nyapu, ibarat kata orang jaman dulu, dapur, kasur, dan sumur.
Tapi kami gak terima kalau itu dibilang kodrat wanita. Maklum biarpun mau jadi mamak-mamak nantinya, tapi mamak-mamak yang intelek (ini Ririn yang bilang loh). Ini jadi bahan diskusi pas makan malam kemarin. Bahwa dapur, kasur, dan sumur itu bukan kodrat wanita. Kodrat wanita itu hamil, melahirkan, menyusui. Hanya saja, hal tersebut merupakan hasil konstruki berpikirnya masyarakat, dan satu lagi, budaya. Jadi kita sepakat, hal tersebut bukan kodrat.
Wah aktivis gerakan feminis ya? Bukaaan, kita tetap bisa dan mau memasak, mencuci, Â menyapu, dan me- me- lainnya kok. Hanya saja suka ndak terima kalau ini dibilang kodrat wanita.
Pas aku ceritain gimana peran Papa aku di rumah, temen-temen satu kos pada baper dan pengen punya suami yang begitu katanya wkwk.
Jadi waktu mama hamil dan melahirkan, Papa aku suami siaga banget. Dari mulai masak, nyuci, ngurusin Mama, semua Papa yang melakukan. Sampai tetangga pada bisik-bisik, "Enak banget ya Ibuk itu punya suami yang begitu". Bahkan sampai sekarang Papa juga suka bantuin kerjaan Mama. Maklum Mama wanita bekerja, jadi agak kerepotan kalau harus dikerjai semuanya. Kalau ada piring kotor malam hari, terus pagi-paginya udah bersih, ini pasti kerjaan Papa. Kain lap pun disetrika kalau sama Papa. Sampai kadang aku suka malu sebagai anak gadisnya, masak Papanya yang ngerjain. Tapi Papa emang suka gitu, ndak suka nyuruh tapi langsung dikerjain. Nanti tahu-tahu udah beres aja. Aku yang ga enak-an. *Padahal dalam hati alhamdulillah ya haha
Menurutku idealnya memang seperti itu. Sama-sama membantu pekerjaan rumah. Apalagi kalau isterinya juga bekerja. Kalau ada yang berserak ya jangan tunggu-tungguan siapa yang mengambil alih. Kadang kita perlu untuk sedikit mengasah empati, memposisikan diri kita pada orang lain. Kasian isterinya punya peran ganda, mengurus rumah tangga dan bekerja.
Udah isterinya disuruh berhenti bekerja aja. Kadang manusia butuh aktualisasi diri, apalagi karirnya udah dibangun sejak lama. Orang tua juga udah nyekolahin tinggi-tinggi, ada harapan di sana. Menurutku tidak apa-apa asal bisa menyeimbangkan keduanya. Sulit memang tapi asal keduanya sama-sama membantu, aku rasa ndak jadi masalah. Asal keduanya sama-sama ber-empati, aku rasa semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja bukan berarti ndak ada masalah. Ya namanya hidup, kalau ndak ada masalah namanya bukan hidup, apasih Din ra jelas kamu nduk.
Aduh suka malu kalau nulis begini nih, semua pasti tahu alasannya ya wkwk
***
Seperti pagi ini, seorang bapak mengendarai motor dengan membawa dua keranjang besar di kanan dan kiri motornya. Saat di lampu merah, keranjangnya menghalangi motor lain untuk maju ke depan. Tapi beliau segera melihat ke belakang dan menggeser motornya ke pinggir, memberi ruang untuk orang lain.