"Din, Dinda, ke bawah yuk, Ibuk nyuruh kita makan di bawah."
"Eum, enggak deh Gus, aku udah kenyang, baru makan tadi."
"Yah, aku sendiri di bawah."
"Tunggu ya aku ajak yang lain ya."
Jadilah aku memanggil teman-teman kos yang lain yang ternyata sudah berkumpul karena mendengar Ibuk kos menyuruh makan di rumahnya, di lantai satu.
"Gimana nih. Ga enak loh sama Ibuk."
"Aman gak tu ya?"
"Iyaa, halal gak itu ya?"
"Ibuknya catering kok, tadi aku liat petugas cateringnya."
Perdebatan itu masih berlangsung antar kami yang masih ragu menerima tawaran Ibuk kos. Oh ya fyi aku tinggal di sebuah kos di mana pemiliknya adalah seorang Nasrani taat. Ini juga baru kuketahui setelah melihat tanda salib di dalam rumahnya saat masuk kos pertama kali. Waktu itu aku berdua dengan Agik. Melihat tanda tersebut kami pun saling berpandangan dan memiliki maksud yang sama. Setengah tahun lebih kos di situ, aku merasakan nyaman-nyaman aja. Apalagi yang mendominasi tinggal di kos tersebut adalah mahasiswa S2 yang berasal dari Sumatera. Hanya sedikit yang asli Jawa. Dampaknya, aku nyambung banget sama mereka. Nyambung kalau cerita. Selera humornya tinggi. Suaranya apalagi, menggelegar. Mungkin Bapak dan Ibuk kos udah elus-elus dada di lantai satu. Gimana enggak, subuh hari kita udah ribut. Apalagi kalau hari Senin Kamis, bangunnya udah lebih awal karena sahur. Sementara Ibuk dan Bapak kos masih terlelap tidur.
Bapak kos aku seorang pendeta di gereja. Tak jarang rumahnya menjadi tempat berkumpul jamaahnya. Dalam sebulan, di rumah Bapak kos sering mengadakan acara entah itu latihan menyanyi, arisan, dan sebagainya. Hingga pada suatu malam, teman ku yang baru pindah bertanya dan merasa risih karena tidak terbiasa dengan hal ini.