Mohon tunggu...
piye tho
piye tho Mohon Tunggu... -

just an amateur...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Online vs Konvensional.

22 Maret 2016   12:42 Diperbarui: 22 Maret 2016   14:08 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Heboh ribut antara taxi konvensional dan on line. Pro Kontra pun muncul tapi rasanya lebih banyak yang pro taxi on line karena harga lebih murah. Taxi konvesional disuruh berbenah dan bersiap diri menghadapi dunia baru. Dunia digital adalah keniscayaan, begitu katanya. Makanya jangan sembarangan dalam memberikan service, dan jangan hanya mau untungnya saja..kira2 begitu banyak yang menimpal.

Tapi apakah keluhan dari taxi konvensional ?

Bagaimana bisa bersaing kalau aturannya saja tidak sama. Untuk taxi konvensional harus mengantungi segudang izin operasi..baik untuk badan usahanya maupun untuk kendaraannya tambah lagi soal ketenagakerjaan - tidak mudah dan murah mendirikan perusahaan taxi.

Dari deretan izin perusahaan SIUP, TDP, NPWP , izin ganggunan, IMB, dll ...lalu soal kendaraannya dari plat kuning, KIR dan uji teknis. Ada lagi soal etenagakerjaan yang mengikat, spt BPJS, UMR untuk staff, tentunya pesangon..dan lain2nya. Belum lagi soal pengaturan tarif dan jumlah taxi. Semuanya diatur dan mengikat.

Taxi online, katanya hanya berfungsi sbg mediasi. Tidak jelas benar juga bagaimana mereka mengatur pajak atas gaji, KIR , BPJS atau pajak penghasilan para penyedia jasa. Lha , kan hanya mediasi .

Kasus online dan konvensional ini, sebenarnya adalah masalah seberapa jauh kita akan mengatur dalam perkembangan zaman ini. Apakah kita mau ke arah bebas sebebas2nya...atau akan mengatur. Seberapa jauh kita mau atur..dan dia area mana saja , lalu seberapa baik konsistensi kita. Jangan di satu sisi Net flix diblokir tapi yang lain harus dibebaskan. Harus ada suatu panduan yang jelas bagaimana kita semua mau menyikapi ini.

Dalam kasus lain, ini akan sama pertanyaannya dgn, seberapa jauh kita akan mensupport UKM vs korporasi raksasa. Pasar tradisional VS megaretail. Petani VS tengkulak dan spekulan. Ini memang tidak mudah, tapi inilah pertanyaan seberapa liberal kita mau...atau seberapa bebas kita mau..ini haruslah kembali kepada kita sendiri. Masing2 pilihan ada plus minus....terserah kita mau yang mana.

Perubahan memang terus terjadi - tetapi harus disikapi dan diambil baiknya, tapi kan bukan berarti "nunut" sahaja. Tidak mudah memang....tapi kan "We dont change for the shake only to change."

Jangan pas diatur teriak kurang demokrasi..ketika bebas teriak2 neo lib. Sing dicari bijaksana nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun