Apa artinya Perlindungan Anak dalam Pengurangan Risiko Bencana?
Perlindungan Anak dalam Pengurangan Risiko Bencana - PRB (Disaster Risk Reduction - DRR) adalah semua upaya yang dilakukan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan, penelantaran, eksploitasi dan pelecehan terhadap anak dan memastikan serta melindungi anak serta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia mulai dari proses kajian risiko, perencanaan pembangunan (dan atau program), tindakan pencegahan, tindakan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat bencana, sampai pada proses rehabilitasi-rekonstruksi serta upaya perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya yang lebih baik.
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hak Anak (1989) anak-anak memiliki hak mutlak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang pada akhirnya akan mempengaruhi hidup dan penghidupan mereka di segala situasi - termasuk sebelum, saat dan setelah terjadi bencana. Seyogyanya partisipasi dan keterlibatan anak dalam upaya PRB dilakukan dengan tetap mengedepankan kepastian bahwa anak tetap dilindungi haknya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta dilindungi dari kekerasan, penelantaran, eksploitasi, dan pelecehan.
Prinsip-prinsip PRB yaitu "DO NO HARM " dan "BUILD BACK BETTER- membangun kembali dengan lebih baik" adalah pilar penting dari upaya pengurangan risiko bencana yang efektif dan tidak membuat anak menjadi terpapar atau semakin terpapar pada risiko.
Dari perspektif perlindungan anak, upaya pengurangan risiko bencana yang mengedepankan prinsip “DO HO HARM” saat berinteraksi dengan anak, baik itu saat melibatkan anak secara aktif untuk melakukan kajian risiko, membuat perencanan kesiapsiagaan di tingkat sekolah maupun lingkungan tempat tinggalnya, dan memberikan pengetahuan dasar untuk mengenali ancaman, menghindari ancaman dan menyelamatkan diri secara mandiri saat kondisi bencana.
Konvensi Hak Anak, UU No,23/2012 dan upaya pengurangan risiko bencana saling memperkuat. Misalnya, mendidik anak mengetahui ancaman dan bencana risiko dan mendorong anak untuk menggunakan pengetahuan tersebut yang mendukung kemampuan anak tersebut untuk menghindari risiko, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta memastikan partisipasi dan suara anak dalam upaya pengurangan risiko bencana
Penting untuk selalu diingat bahwa anak bukanlah manusia dewasa dalam bentuk mini, kondisi fisiknya berbeda, anak memiliki kematangan emosional yang berbeda dengan orang dewasa, hal ini mempengaruhi kemampuannya untuk mengambil keputusan pada saat kondisi darurat. Dalam konteks Indonesia, anak, dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak No,23/2002 yang secara eksplisit menyatakan bahwa anak harus dilindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta memberikan anak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mengabaikan prinsip “DO NO HARM" pada anak saat melibatkan partisipasi anak dalam kegiatan pengurangan risiko bencana dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak anak tersebut. Misalnya: di dalam SOP (Standard Operational Procedure) atau Prosedur Operasi Standar sebuah sekolah atas ancaman banjir, anak diberikan tanggungjawab untuk menjadi anggota Tim Siaga Sekolah dan pada saat kondisi darurat, anak tersebut harus melaksanakan tugas (yang tertera dalam SOP) untuk menolong anak-anak lainnya, baik itu dengan mengangkat anak lain dengan tandu ataupun menggendong anak yang terluka
Tidak perlu menjadi seorang ahli analisa risiko pengurangan risiko bencana untuk menemukenali bahwa menugaskan anak sebagai penolong saat kondisi darurat akan berakibat anak tersebut terpapar pada risiko. Pada kondisi bencana yang sebenarnya, situasi lapangan akan sangat berisiko jika anak melakukan tugas penyelamatan. Dalam kasus pelatihan dan simulasi dilakukan pada siswa Sekolah Dasar - yang dilatih biasanya siswa kelas IV dan V, rentang usia antara 10 - 13 tahun. Anak usia 10-13 tahun tinggi badannya kira-kira antara 1,15 sampai 1,30 cm. Pelatihan dan simulasi dilakukan saat tidak terjadi banjir, perhatikan tinggi tandu yang berisi seorang anak dan diangkat oleh empat orang anak yang bertindak sebagai penolong. Jika hal tersebut dilakukan pada saat banjir terjadi, empat anak yang bertugas sebagai penolong tidak akan mampu mengangkat tandu yang berisi seorang anak melewati jalanan yang banjir (dengan ketinggian air minimal 10-15 cm dari permukaan tanah) dan anak yang berada di dalam tandu kemungkinan besar akan terendam oleh air banjir.
Mengenalkan anak sejak dini pada kegiatan pertolongan pertama sebagai bagian dari kesiapsiagaan menghadapi kondisi bencana dapat dilakukan untuk membangun kapasitas individu anak tersebut, namun kegiatan pengenalan dan pelatihan pertolongan pertama tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk kemudian menugaskan anak yang sudah dilatih untuk bertugas sebagai penolong dalam Tim Siaga Bencana, baik di sekolah maupun di komunitas. Selain hal tersebut akan membuat anak terpapar pada risiko, hal tersebut juga tidak sejalan dengan prasyarat tenaga pertolongan pertama.
"“Untuk anak sekolah dilakukan pendidikan dasar pertolongan pertama, untuk mengenalkan anak pada dasar-dasar pertolongan pertama, namun ada batasan-batasan materi pelatihan untuk masing-masing tingkatan (SD, SMP, SMA) yang disesuikan dengan usia. Pendidikan dasar pertolongan pertama yang dilakukan di sekolah tidak bertujuan untuk menyiapkan pelaku First Aider (Pemberi Pertolongan Pertama). Ada 2 macam pelaku First Aider, yaitu awam terlatih dan medis-paramedis. Untuk Pelaku First Aider awam terlatih terlebih dahulu harus mengikuti pelatihan sertifikasi First Aid minimal 70 jam. Untuk medis-paramedis harus mengikuti ATLSN ACLS, PPGD” (dr. Lhilis Wijaya. Trainer dan praktisi medical emergency first aid, January 2014).
“Kegiatan penyelamatan dalam kondisi darurat dilakukan oleh orang dewasa terlatih. Selain BASARNAS, juga terdapat potensi SAR yang terdiri dari unsur masyarakat. Baik anggota BASARNAS maupun Potensi SAR prasyarat usianya adalah minimal 18 tahun. Pelatihan SAR, juga dapat dilakukan di sekolah untuk memberikan pendidikan dan ketrampilan dasar bagi remaja, namun pelajar remaja tidak digolongkan dalam Potensi SAR sebab prasyarat usia minimal tersebut. Pelajar remaja yang sudah dilatih dasar SAR merupakan calon-calon potensi SAR – jika usia mereka sudah mencapai 18 tahun” (Emi Frizer, S.E., Kasi Pemasyarakatan SAR. BASARNAS, January 2014).
Kacamata perlindungan anak diperlukan dalam PRB untuk memastikan upaya pengurangan risiko bencana dapat mencegah anak terpapar pada risiko bencana. Kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana selayaknya mempertimbangkan semua ancaman yang mungkin dapat terjadi pada anak dalam kajian/analisa risiko, memasukkan rencana perlindungan anak dalam kegiatan pencegahan dan mitigasi, serta memastikan semua kegiatan kesiapsiagaan, tanggap darurat, rekonstruksi dan recovery tidak semakin membuat anak terpapar pada risiko dengan memberikan tugas (yang dibungkus dalam “partisipasi”) melebihi kemampuan fisik dan usia anak.
Memberikan pendidikan dasar pertolongan pertama pada anak, dapat dilakukan selama tidak berpotensi mengakibatkan anak mengalami cedera dan semakin terpapar risiko. Memberikan pelatihan siswa SD untuk mengangkat siswa lain yang patah kaki, kemungkinan besar anak yang diangkat untuk terjatuh saat diangkat oleh ke empat teman sebayanya. Teknis mengangkat korban yang tidak tepat dapat mengakibatkan korban mengalami cedera tambahan. Pelatihan ini dilakukan dalam kondisi normal, saat tidak ada bencana, bisa dibayangkan jika anak-anak yang dilatih ini kemudian harus melaksanakan tugas sebagai anggota Tim Siaga Sekolah saat kondisi bencana terjadi dan melakukan pertolongan dengan mengangkat korban, baik anak yang ditolong maupun anak yang ditugaskan untuk menolong sama-sama semakin terpapar pada risiko.
PRB erat dengan konsep “Ketangguhan” yang ditentukan oleh dua faktor utama, karakteristik internal anak dan faktor eksternal/dukungan lingkungan. Ketahanan lingkungan dapat didefinisikan sebagai kapasitas semua aspek sistem perlindungan anak untuk mencegah dan menanggapi kekerasan, eksploitasi, kekerasan dan penelantaran terlepas dari tantangan yang signifikan yang mengancam stabilitas atau efektivitasnya. Kurangnya layanan pencegahan dan responsif dan kerangka normatif yang sesuai untuk situasi darurat juga dapat secara signifikan mempengaruhi perlindungan anak-anak. Tugas masyarakat dan negara sebagai faktor "enabling environmnet" - lingkungan yang memampukan agar anak dapat terpenuhi hak tumbuh kembang dan keamanannya untuk menyediakan layanan tersebut saat kondisi tanggap darurat, bukan dengan mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada anak dengan bungkus "partisipasi anak".
Ketahanan internal anak mengacu pada kapasitas, pengetahuan dan keterampilan individu. Ketahanan seorang anak, mengacu pada kemampuan mereka untuk mengatasi kesulitan dan beradaptasi dengan perubahan dan juga berhubungan erat dengan kesejahteraan psikososial, pengetahuan dan keterampilannya dalam perlindungan dirinya . Tindakan yang diambil untuk mengurangi risiko anak sebelum keadaan darurat dapat membantu memperkuat lingkungan dan ketahanan anak itu sendiri, mengurangi ancaman dan kerentanan yang dihadapi oleh anak, dan meningkatkan kemampuan anak tersebut untuk masuk ke kondisi yang lebih dari pada sebelum kondisi bencana terjadi, tidak harus dengan membuat anak melakukan tanggung jawab melebihi usianya.
Lensa PRB dalam upaya penguragan risiko bencana akan membantu anak berpastisipasi tanpa melewati kemampuan fisik dan usianya dan membantu lingkungan sekitarnya (keluarga, masyarakat, Negara, internasional) untuk bersama-sama memastikan perlindungan anak yang diperkuat diharapkan dapat mencegah penelantaran, eksploitasi dan pelecehan terhadap anak dan memastikan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan baik mulai dari proses kajian risiko, perencanaan pembanguan (dan atau program,), tindakan pencegahan, tindakan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap bencana, sampai pada proses rehabilitasi-rekonstruksi serta membangun dengan lebih baik.
Lensa PRB yang diterapkan secara proaktif sebagai bagian dari pendekatan kajian risiko dan perencanaan, tindakan preventif dan preparatif yang dihasilkan dapat mencegah masalah perlindungan dari yang timbul, sehingga dapat mengurangi beban kasus secara keseluruhan baik tingkat keparahan maupun kompleksitas kasus, dengan tetap mengedepankan perlindungan terhadap hak anak untuk tumbuh kembang dan perlindungan dari eksploitasi fisik. (Catatan: tulisan ini dirangkum dari diskusi bersama Ken Reinhart).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H