Mohon tunggu...
TS Reinhart Thamrin
TS Reinhart Thamrin Mohon Tunggu... -

just a simple person with a simple dream for a better earth to life.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Travelogue : Sultra dalam pertanyaan pengurangan risiko bencana

27 Maret 2015   01:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:57 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

24032015 - 10.05 pagi waktu Kendari, Sulawesi Tenggara.


Garuda besi turun perlahan memberi ruang mata memandangi teluk di bawah yang berwarna coklat kekuningan. Mata yang belum sempat istirahat sejak bangun jam 2 pagi dan buruan ke airport CGK mengejar penerbangan jam 05.05 pagi tadi semakin terasa berkunang-kunang.

Ini adalah perjalanan “pulang” setelah hampir 23 tahun meninggalkan kota ini, dan belum lagi pesawat ini mendarat, saya sudah patah hati. Teluk Kendari, di masa saya bersekolah di kota ini, adalah teluk yang sangat indah. Jajaran hutan mangrove padat di tepi teluk, air laut yang jernih, dan tentu saja pemandangan sore yang eksotik dilihat dari Kendari Beach. Melihat warna kuning kecoklatan di bawah sana dari jendela sang Garuda membuat saya berpikir untuk menyiapkan hati saya patah, kondisi lingkungan yang dulu saya kenal mungkin sudah tinggal cerita.

Kondisi Teluk Kendari yang menggenaskan dilihat dari jendela sang Garuda membuat saya jadi ingin tahu apa sesungguhnya yang terjadi dengan teluk yang cantik ini. Mbah Google membawa saya menemui beberapa penelitian mengenai Teluk Kendari. Ternyata, teluk ini terpapar segala macam, mulai dari pasokan sedimentasi dari DAS Kambu, Angguya dan Wanggu karena hulu sungai yang hancur, teluk ini juga lokasi pembuangan bahan anorganik dan logam berat, sampai jadilokasi pembuangan sampah gratisan di antara pohon-pohon bakau yang sudah mulai habis juga.

25032015 - 14.00 siang waktu Kendari, Sulawesi Tenggara

Ruang rapat Gubernuran siang ini heboh riuh rendah. Kedatangan Komisi DPR sudah biasa, tapi seheboh ini tidak biasa. #tanyamengapa

Tim saya juga sejak kemaren sore sudah ikut-ikutan heboh. Bukan heboh karena menyiapkan materi diskusi alias menjawab pertanyaan para anngota dewan Komisi 8 DPR. Hebohnya malah menyiapkan kamera, sodara-sodara.

#tanyamengapa

Ya, kamera – sebab ada nama di daftar anggota Komisi 8 DPR yang membuat orang-orang ini lebih tertarik untuk berphoto narsis dengan beliau daripada menyiapkan jawaban yang realistis tentang kebencanaan di propinsi Sulawesi Tenggara. Eforia berphoto.

Dan, sekarang – nama di daftar itu satu persatu memasuki ruang rapat, dan semakin heboh tak jelaslah para peserta rapat. Pak Gubernur yang berjalan di depan memimpin rombangan menoleh sebentar dan geleng-geleng kepala melihat kehebohan aparatnya. Saat beliau memfasilitasi proses tanya jawab, sempat juga beliau berseloroh bahwa ada banyak person yang tidak berhubungan dengan masalah yang sedang didiskusikan saat ini tapi hadir di dalam ruangan dan sangat heboh.

Baiklah…...

Tidak ada yang bisa menahan kehebohan para peserta rapat yang membahas masalah penanggulangan bencana bersama Komisi 8 DPR hari ini.

Mari kita langsung ke sesi diskusi saja…….

Pak Gubernur menjelaskan dengan detail mengenai kondisi kebencanaan di Propinsi Sulawesi Tenggara. Menjelaskan ancaman, kerentanan dan risiko bencana propinsi ini termasuk kerusakan masif di Teluk Kendari akan butuh paling tidak 20 halaman kertas. So, jika anda tertarik – silahkan saja klik di http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id dan membaca Indeks Risiko Bencana Indonesia di http://www.bnpb.go.id/uploads/publication/612/2014-06-03_IRBI_2013_BNPB.pdf

Dari diskusi yang awalnya didominasi oleh isu tanggap darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi, situasi berubah saat 3 orang perempuan anggota Komisi 8 DPR dipersilahkan bertanya.

Perempuan pertama, bernama Desi Ratnasari. Baiklah, sekarang jelas kan mengapa tim saya begitu heboh dan mengapa para peserta rapat begitu heboh. Terlepas dari kehebohan itu, Ibu Desi bertanya upaya mitigasi (struktural dan non-struktural) dan kesiapsiagaan yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat terkait dengan ancaman, kerentanan dan risiko bencana Propinsi Sulawesi Tenggara yang begitu besar.

Sayang sekali, pertanyaan Ibu Desi tidak dijawab dengan detail – padahal itu adalah pertanyaan yang sangat krusial.

Perempuan kedua, bernama Lidia Amalia. Ibu Amalia bertanya tentang keterlibatan TNI/Polri dalam penanganan bencana. Pertanyaan yang sangat mendasar mengingat TNI/Polri selalu berusaha tiba paling cepat di lokasi dan membantu masyarakat di lokasi saat terjadi bencana. Danrem sedikit berseloroh mengatakan bahwa beliau hampir saja jatuh tertidur saat Ketua Komisi 8 DPR tidak menyebutkan TNI/Polri dalam upaya penanggulangan bencana.

Perempuan ketiga bernama Itet Tridjajati. Ibu Itet meminta penjelasan tentang peta kehutanan dan penjelasan tentang laju kerusakan hutan di Propinsi Sulawesi Tenggara yang dijawab dengan sangat detail oleh Bapak Gubernur sendiri.

Saya tidak ingin membahas terlalu jauh jawaban-jawaban atas pertanyaan ketiga perempuan tersebut.

Saya lebih tertarik membahas pertanyaan yang mereka ajukan.

1427394694623721749
1427394694623721749

Jika anda bingung melihat gambar diatas, silahkan baca Undang Undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, gambar diatas adalah penjelasan singkat tentang upaya penanggulangan bencana berdasarkan UU tersebut.

Kembali kepada 3 perempuan anggota Komisi 8 DPR dengan pertanyaannya. Mengacu pada gambar diatas, jika ditelaah, Ibu Itet menginginkan penjelasan lebih detail tentang upaya apa saja yang dilakukan terkait dengan perencanaan pembangunan. Apakah perencanaan pembangunan yang dilakukan sudah mempertimbangkan untuk mengurangi risiko bencana? Dalam konteks pertanyaan Ibu Itet adalah bagaimana kehancuran hutan berkat ijin-ijin yang diberikan untuk membabat hutan mengakibatkan degradasi hutan dan banjir menjadi langganan masyarakat yang 23 tahun lalu tidak pernah dilanda banjir.

Pertanyaan Ibu Amalia adalah pertanyaan kritis tentang hubungan dan kerjasama sipil militer dalam pengurangan risiko bencana di Indonesia. Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia tidak terlepas dari Undang Undang No. 3 Tahun 2001 tentang Pertahanan Negara, Undang Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pasal 7 ayat 2b Operasi Militer Selain Perang butir 12 membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, dan Undang Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ketiga Undang-undang ini yang kemudian menjadi acuan Kesepakatan Bersama antara Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan Markas Besar TNI dan BNPB nomor MoU/01/M/I/2011 – Kerma/1/I/2011 – MoU.1/BNPB/I/2011 tentang Kerjasama dalam Penanggulangan Bencana.  TNI selalu siap untuk penanggulangan bencana, tanpa diminta dan tanpa dipanggil sebab sudah tugasnya. Yang tidak secara detail dibahas adalah bagaimana dengan pembiayaannya? Apakah TNI punya alokasi khusus untuk Operasi Militer Selain Perang terkait membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan? Mungkin Komisi 8 bukan tempatnya untuk menjelaskan kondisi ini, lebih tepat membicarakan soal budget OMSP ini dengan Komisi I, namun pertanyaan Ibu Amalia mengenai standard kerja bersama atau Standard Operational Procedure juga sangat krusial. Hubungan dan kerjasama sipil militer dalam penanggulangan bencana berlangsung di seluruh bagian dari siklus penanggulangan bencana pada gambar diatas. Early warning system terpadu antara BPBD, TNI/Polri, dan instansi terkait akan sangat membantu para stakeholder kunci dalam upaya kesiapsiagaan. Demikian juga dengan penyusunan rencana kontijensi, drill dan gladi lapang bersama. Kesiapan tersebut harus dibangun saat tidak terjadi bencana sehingga jika bencana terjadi semua stakeholder sudah paham tugas pokok dan fungsi masing-masing dalam tanggap darurat bencana.

Pertanyaan Ibu Desi sebenarnya mencakup mulai dari perencanaan pembangunan yang tidak menambah risiko bencana, pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Ada banyak sekali kegiatan yang dilakukan dalam konteks ini, mulai dari upaya untuk membuka ruang diskusi parapihak terkait perencanaan pembangunan dengan pengurangan risiko bencana, memfasilitasi sekolah dan masdrasah aman, memfasilitasi Desa Tangguh Bencana, menyiapkan Sistem Peringatan Dini, menyiapkan rencana kontijensi, drill dan gladi lapang sampai ke urusan penyiapan Tim Reaksi Cepat. Sayang memang hal ini tidak dijelaskan secara detail untuk menjawab pertanyaan Ibu Desi.

Penulis mengamati bahwa ketiga pertanyaan tersebut berbeda dengan mayoritas pertanyaan umum yang teramat sering didengar di rapat dan diskusi tentang kebencanaan. Sangat membosankan saat diskusi atau rapat tentang kebencanaan maka topik dan pertanyaan lebih fokus pada tanggap darurat dan rehabilitasi-rekonstruksi. Ketiga pertanyaan yang dilontarkan oleh 3 anggota Komisi 8 lebih menekankan pada upaya penghindari, mencegah, mitigasi dan kesiapsiagaan. Yang menariknya karena yang bertanya ketiganya adalah perempuan.

#tanyamengapa

Apakah karena perempuan lebih detail melihat persoalan? Apakah karena perempuan lebih tertarik untuk mencegah dan bersiapsiap jika harus menghadapi kondisi buruk? Atau karena ketiga perempuan anggota Komisi 8 DPR ini telah membaca tuntas UU No.24 Tahun 2007?

Penulis belum menemukan jawabannya. Yang pasti adalah pertanyaan ketiganya membuat penulis bersuka hati dan berbesar hati, semoga dengan memahami pertanyaan tersebut dan arti pentingnya untuk upaya pengurangan risik bencana – ketiganya menjadi pioneer dan berkontribusi positif untuk upaya pengurangan risiko bencana.

-------------------------

Kembali ke urusan Teluk Kendari yang teraniaya........ada 9 juta meter kubik sedimen yang memenuhi Teluk Kendari. Artinya kemampuan Teluk Kendari untuk menampung air hibah gratis dari daratan akan berkurang sebanyak 9 juta meter kubik. Menilik bahwa semua kegiatan dan rencana yang akan dilakukan untuk revitalisasi Teluk Kendari berfokus pengerukan, reklamasi, dan kegiatan infrastruktur lainnya fokus ke mitigasi struktural , pertanyaanlah adalah bagaimana dengan upaya pencegahan dan mitigasi non-strukturalnya? jika DAS Kambu, Angguya dan Wanggu tetap berkontribusi dan tak kenal henti mengirimkan sedimennya ke Teluk Kendari - ya tetap saja urusan pendangkalan teluk akan terjadi.

Lantas apa rencana pencegahan dan mitigasi non-strukturalnya?

*saya berharap pertanyaan Ibu Itet dibahas tuntas.........



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun