Mohon tunggu...
TS Reinhart Thamrin
TS Reinhart Thamrin Mohon Tunggu... -

just a simple person with a simple dream for a better earth to life.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gagal Belajar: Banjir Lagi, Longsor Lagi.....

9 Februari 2014   03:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir dan longsor bukanlah jenis ancaman yang tidak bisa dihindari. Tidak dapat dipungkiri, banjir dan longsor telah menyebabkan kehilangan harta dan nyawa, kerusakan infrastruktur dan alat-alat kerja, kerusakan lahan pertanian dan gagal panen, kehilangan stok pangan dan sumber air bersih, adanya pengungsian dan menimbulkan wabah penyakit. Tidak bisa dipungkiri bahwa banjir dan longsor yang telah terjadi adalah suatu bencana. Anak kecil saja sekarang bila ditanyain sudah bisa menjawab bahwa banjir dan longsor terjadi akibat hutan yang terus menerus digunduli.....

Tapi kemudian, kita tidak bisa hanya menerima bencana banjir itu (sebagai contoh) sama seperti kita menerima bahwa pada saat itu hujan memang turun dengan intensitas yang lebih tinggi dari biasanya, seolah-olah bahwa banjir itu adalah “pemberian” dari Yang Maha Kuasa.

Banjir dan Longsor sebagai Bencana
Bencana sebagai suatu kejadian baik alami maupun tidak alami menyebabkan kerusakan fisik dalam skala besar, baik terhadap lingkungan maupun terhadap infrastruktur dan mengancam nyawa dalam jumlah yang banyak di dalam suatu komunitas/lokasi. Bencana Alam (Natural Disaster) sebagai akibat dari fenomena alam yang terjadi. Bencana merupakan interaksi antara suatu ancaman dengan kerentanan dan kapasitas yang ada disekitar komunitas.

Ancaman (Hazard), dalam konteks ini suatu ancaman adalah fenomena, bahaya atau resiko, baik alami maupun tidak alami, yang dapat –tapi belum tentu- menimbulkan bencana. Gempa bumi, hujan, badai, kekeringan, angin topan, tsunami, El Nino dan La Nina, wabah penyakit, hama, perang/konflik bersenjata, dll, semua merupakan ancaman, yang bisa terjadi dan berlalu begitu saja tanpa harus menimbulkan bencana.

Kerentanan (Vulnerability), dalam konteks ini menyinggung keadaan di dalam suatu komunitas yang membuat mereka mudah terkena akibat buruk dari suatu ancaman. Apabila tingkat kerentanan di suatu komunitas rendah, maka suatu ancaman akan berlalu tanpa menyebabkan kerugian bencana. Begitu juga sebaliknya, bila tingkat kerentanan tinggi maka pada komunitas tersebut dengan mudah mengalami risiko bencana. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan di suatu komunitas, misalnya sumberdaya manusia (mengangkut pengetahuan, keahlian, kesiapan), ekonomi, sosial-budaya, infrastuktur, lingkungan, dan kebijakan. Kerusakan lingkungan, illegal logging, dan over-extraction sumberdaya alam merupakan akar masalah dari kerentanan lingkungan.



Dengan kata lain, ancaman itu selalu ada dan yang bisa di intervensi oleh manusia adalah kerentanan. Apakah kita akan menurunkan atau bahkan meningkatkan kerentanan tersebut, bila kerentanan meningkat dan komunitas tidak mampu menghadapinya, saat itulah akan terjadi bencana.

Di balik kerentanan sebenarnya ada tekanan dinamis dan akar masalah yang bekerja, misalnya kebijakan pemanfaatan lahan untuk pembangunan fisik, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang sangat eksploitatif, kebijakan relokasi yang tidak tepat, dan kebijakan yang tidak memberi peluang/akses terhadap inspirasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dari tekanan dinamis kemudian bisa dilihat akar masalahnya, antara lain bahwa indikator keberhasilan pembangunan adalah pembangunan fisik, sumber pendapatan daerah yang hanya bertumpu pada sumberdaya alam, kebijakan pembangunan yang top-down, kebijakan politik yang dikendalikan oleh penguasa, adanya konspirasi antara cukong kayu dengan pihak pembuat keputusan (pemerintah, instansi terkait), tidak adanya proses demokratisasi dan maraknya KKN pada semua tingkatan. Kesemuanya ini, kemudian membuat suatu kondisi yang tidak aman, yang diantaranya sangat kurangnya antisipasi di wilayah rawan banjir dan longsor, tingkat erosi dan degradasi lahan yang tinggi dan ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi terhadap bantuan pemerintah.

Ancaman belum tentu menjadi bencana bila masyarakat dapat menjadi tidak rentan, dalam artian dapat mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak dari ancaman bahaya tertentu. Disatu sisi, risiko bencana banjir dan longsor merupakan akibat pengelolaan SDA yang tidak mengindahkan daya dukung lingkungan, dan disisi lain akibat pembangunan sosial ekonomi yang secara terus menerus justru meningkatkan kerentanan masyarakat.




Bila setiap tahun - negara ini masih saja mengalami banjir dan longsor sebagai bencana, artinya kita gagal belajar, gagal menemukenali masalah, gagal mengantisipasi datangnya masalah, dan juga gagal memecahkan masalah yang sebenarnya.
Mengapa? karena kita tidak belajar dari kejadian sebelumnya, tidak belajar bahwa banjir dan longsor memiskinkan namun kita tetap tidak memadukan strategi pengurangan kemiskinan dan rencana pengurangan risiko terhadap ancaman banjir dan longsor. Tidak juga belajar bahwa ketidakmampuan kelembagaan, mengakibatkan ”akses dan komitmen bersama” dapat diatur untuk melakukan over extraction – tindakan desrukstive pada pengelolaan sumberdaya alam.
Bila mau jujur, akar dari berbagai persoalan banjir dan longsor di negara ini adalah dalam salah kelola sumberdaya alam. Desentralisasi yang "menggiring" Pemerintah Daerah menggunakan peluang ini mengeruk sumberdaya alam atas nama untuk mengembangkan daerah sesuai kebutuhan dan keinginannya sendiri, alih fungsi kawasan konservasi dan resapan air bukan berita baru di koran dan televisi. "Pengebirian" hak dasar masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam yang terdapat di sekitar mereka dengan cara-cara yang lebih berkelanjutan, membuat kondisi sumber daya alam Indonesia semakin carut marut. Kawasan yang sekian lama tidak pernah banjir dan longsor, tiba-tiba saja kedatangan tamu banjir bandang, setelah dilihat ke kawasan penyangganya, kawasan penyangga tersebut sudah berubah fungsi menjadi sederatan ruko. Pantas saja banjir.


Tahun depan, banjir dan longsor lagi dan akan lebih parah jika praktik-praktik tidak ramah dan tidak adil terhadap pengelolaan lingkungan tetap dilakukan.

(NAUI#54061)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun