Setiap kali bencana terjadi di tanah air tercinta ini, selalu saja menarik perhatian dan minat para "pencinta wisata". Berbondong-bondonglah masyarakat mendatangi lokasi bencana. Berbekal handphone para wisatawan bencana mengabadikan kondisi lokasi dan memotret para korban dan survival lantas ....upload.....memamerkannya di dunia maya. Orang tua ramai-ramai mengajak anak-anaknya untuk menonton di lokasi bencana. Mereka bahkan datang berbondong bondong dengan menggunakan kendaraan dari kota lain, menjadikan zona bahaya tak ubahnya seperti taman bermain dan lokasi wisata.
Saya mengingat kembali bagaimana rombongan turis bencana berusaha masuk ke Aceh 10 tahun lalu - mereka turun ke lokasi pencarian mayat - berkeliaran memotret - tidak menggunakan APD - hasilnya?.....lumayanlah banyak yang kena infeksi. Selama di Aceh, ada masa dimana saya turun ke lokasi dan memimpin 1 tim pencarian mayat, dan saya bisa katakan - para turis bencana ini hanya mengganggu proses evakuasi yang dilakukan oleh tim, berkeliaran dan bahkan berdiri terlalu rapat dengan posisi personel membuat personel sulit bergerak dan melakukan prosedur.
Ayolah...jika anda ingin menolong - latihan menolong yang benar dulu lalu ulurkan tangan untuk menolong....berdiri di sekitar tim penolong hanya akan menghalangi pekerjaan. Jika anda begitu tertarik untuk mendokumentasikan kondisi bencana, belajarlah menjadi jurnalis - jangan berdiri terlalu dekat dan melongo menonton seperti itu.....kami perlu ruang untuk melakukan tindakan pertolongan atau evakuasi.
Longsor di Banjarnegara? warga kena longsor susulan setelah pulang dari wisata bencana di lokasi longsor sebelumnya. Jika diurut kasus-kasus tragedi yang menelan korban jiwa akibat wisata bencana, HAMPIR setiap terjadi bencana maka bencana ikutannya (collateral damage) adalah jatuhnya korban wisatawan bencana, mulai dari yang ngeyel menerobos zona bahaya demi narsis motret sampai yang berkeliaran di sekitar tim first aider dan medivac - menghalangi proses medivac.
Konon kabarnya ada hasil penelitian para ahli yang menunjukkan, masyarakat melakukan hal itu karena ada dorongan keingintahuan mengenai dampak bencana yang terjadi. Faktor simpati yang dimiliki oleh seseorang akan mendorongnya untuk melakukan tindakan berwisata ke lokasi bencana. Di sisi lain, rasa haru dan belas kasihan terhadap orang lain juga menjadi pendorong kehadiran seseorang di tempat terjadinya musibah.
Buat saya - MAAF - semua itu omong kosong..... Rasa haru dan kasihan? ....anda datang beramai-ramai - membuat jalur evakuasi macet dan menyusahkan proses evakuasi - anda berdiri menonton - anda memotret korban yang dalam kondisi tidak layak dipertontonkan dan lantas anda memamerkan hasil photo anda di dunia maya. Itu yang anda sebut: rasa haru dan kasihan?......jika demikian, sepertinya definisi rasa haru dan kasihan harus diganti di kamus..... Simpati?....anda datang membawa ponsel, kamera lantas sibuk memotret - bahkan dalam kondisi yang tidak layak potretpun anda potret lantas sebarluaskan di media online. Anda paham tidak jika anak-anak tidak memakai baju (dalam kondisi telanjang) itu tidak boleh diphoto dan disebarluaskan. Anda paham tidak, jika mayat tidak boleh dipotret dan disebarluaskan tanpa ijin pihak keluarganya? bahwa hanya yang boleh memotret mayat hanya untuk keperluan identifikasi dan autopsi.
Anda paham tidak, jika tindakan anda sudah DO HARM? masyarakat yang tertimpa musibah bencana itu bukan tontanan! mereka sedang berjuang hidup dan anda datang berbondong bondong untuk menonton itu? berdiri menonton memotret dan sama sekali tidak mengulurkan tangan untuk membantu? Jika kedatangan anda di lokasi terjadinya bencana hanya untuk untuk menonton dan memotret - lantas itu disebut simpati.....definsi simpati di kamus sebaiknya diganti saja.
Dalam tata laksana/prosedur first aid dan medivac, pelaksana pertolongan terlebih dahulu akan meminta semua orang yang tidak berkepentingan untuk menyingkir dan menjauh dari korban, dia akan meminta ruang yang lapang untuk melaksanakan tugasnya. Namun seringkali hal itu tidak diperdulikan oleh orang-orang yang menonton, kerumunan semakin rapat - membuat ruang untuk melaksanakan prosedur first aid dan/atau medivac menjadi terbatas.
Kondisi darurat, misalnya kecelakaan - atau bencana adalah lokasi yang berbahaya. Area tersebut seharusnya steril dari yang tidak berkepentingan untuk melaksanakan pertolongan. Hanya orang-orang yang memiliki keahlian dan bertugas saja yang seharusnya berada dalam lokasi tersebut. Dibutuhkan, keahlian, perlengkapan standard dan perlindungan khusus bagi para pelaku pertolongan di lapangan. Urusan darurat dan bencana bukan urusan bersenang-senang. Sudah saatnya Pemerintah membuat aturan dan konsisten melaksanakannya untuk mensterilkan area/lokasi darurat dan/atau bencana, hanya tim penolong dan pihak berkepentingan yang bisa berada di area tersebut dalam radius tertentu. Jangan membiarkan lebih banyak korban jatuh. Jika anda begitu amat sangat butuh hiburan dan tontonan - carilah hiburan dan tontonan yang aman - jangan ke lokasi bencana, itu bukan hiburan juga bukan tontonan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H