Perempuan gelap mata dan lelaki tak berdaya, suatu kombinasi pasangan yang berpotensi menyeret anda ke dalam lingkaran permasalahan yang sesungguhnya bersumber dari diri mereka sendiri. Bagi kaum perempuan tak ada salahnya anda berhati-hati bila mengenal pasangan seperti ini, apalagi bila sang suami merupakan rekan kerja anda. Apapun yang kelihatan normal sebagai bagian dari aktivitas pekerjaan bisa berarti ‘sesuatu’ bagi sang istri yang alarmnya mudah menyala, meraung-raung mengganggu orang sampai terlupakan etika. Pada kasus seperti ini ternyata latar belakang pendidikan tinggi dan penampilan rapi bisa jadi bukan lagi parameter seorang perempuan untuk bersikap layak.
[caption id="attachment_134999" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi dari Flickr.com"][/caption]
Di suatu masa saya pernah mengalaminya dan rasanya tidak enak sekali. Tanpa bukti dan saksi, hanya berdasarkan kata si A dan menurut si B, seorang perempuan bisa menuduh saya seenaknya punya hubungan khusus dengan suaminya. Meskipun tuduhan tersebut dikemas dalam bahasa yang santun, tetapi isinya sangat menusuk perasaan. Menyakitkan? Tentu saja, karena saya sama sekali tidak merasa melakukannya. Bukankah sepatutnya ia bertanya lebih dulu kepada pasangannya sebagai orang terdekat baru kemudian bertanya pada orang lain? Kalau seperti ini sama saja mempertontonkan kepada orang di luar, bahwa sesungguhnya hubungan mereka kurang harmonis dan tidak didasarkan kepada sikap saling menghargai pasangannya. Sepertinya tidak berlebihan bila perempuan gelap mata ini juga saya beri julukan perempuan putus asa.
Sang suami, lelaki tak berdaya tak banyak bertindak. Terakhir bertemu pada suatu acara resepsi tetap bersikap baik dengan menghampiri dan menyalami saya, sementara sang istri memilih tinggal di pojok sambil cemberut. Malang benar sang suami, tak berdaya rupanya mendidik istri bagaimana bersikap pantas dalam pergaulan.
Tahun-tahun berlalu tetapi sang perempuan gelap mata tak juga berubah. Merasa benar sendiri, tak mau mendengarkan penjelasan orang dan merasa lebih suci dari siapapun di dunia ini. Sayang, ia memilih konsisten dalam hal-hal negatif. Kata-kata keji masih keluar dari mulutnya, mulut yang sama yang dipakainya untuk mengucap doa-doa dan memuji penciptanya. Rupanya tahun-tahun yang berjalan cepat hanya membuatnya menua tapi tidak menjadi dewasa.
Semoga anda, kaum saya perempuan tak pernah mengalaminya. Ada beberapa pelajaran yang saya petik dari kejadian ini, tetapi yang terpenting adalah kita mudah meminta maaf atas kesalahan yang pernah kita lakukan, atau memaafkan seketika orang yang meminta maaf kepada kita, tetapi yang paling sulit adalah memaafkan seseorang yang tidak pernah meminta maaf atas kesalahannya. Meski demikian saya terus berusaha belajar memaafkan, karena tidak ingin membawa-bawa beban di pundak padahal hidup ini begitu indah. Saya memilih keluar dari permasalahan dengan sikap elegan.
Kekaguman saya bertambah mengingat kisah Rasulullah Muhammad SAW yang menyuapi seorang pengemis buta yang setiap hari memaki-makinya, sampai suatu hari baru si pengemis buta menyadari siapa yang selama ini selalu menyuapinya makanan. Atau kisah di Pakistan bagaimana seorang gadis, Ameneh Bahrami mampu memaafkan seseorang yang menyiram wajahnya dengan air keras sehingga wajahnya menjadi cacat (lihat di sana).
To forgive is to set a prisoner free and discover that a prisoner is you … (Oscar Wilde)
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H