[caption id="attachment_89417" align="alignleft" width="200" caption="from Google"][/caption]
Suatu hari di suatu kumpulan perempuan hadir miss fashionable. Disebut begitu karena perempuan satu ini memang selalu tampil trendi dan tak pernah ketinggalan mode terbaru. Datang agak terlambat, tanpa canggung ia bergabung dengan yang lainnya. Tak lama kemudian topik sudah bergeser seputar baju, tas, dan sepatu. Hebat ya, meski datang belakangan tapi bisa meraih atensi dari yang sudah hadir duluan. Begitulah miss fashionable, bukan saja selalu jadi trendsetter tapi juga bisa memimpin topik pembicaraan.
Hari ini selain bahasan discount dan barang keluaran terbaru dari merk-merk terkenal yang harganya bukan lagi tus-tus tapi sudah jut-jut, yaitu mengenai penggunaan kartu kredit. Ini gara-gara salah satu perempuan di situ ada yang nyeletuk.
“Wow, asyik kali ya pakai tas harga segitu … tapi bisa mengganggu anggaran bulanan nih.”
“Ga apa-apa lagi … sekali-sekali. Tinggal gesek aja kok susah,” Miss fashionable langsung menyambar.
“Bayar saja tagihan minimumnya tiap bulan. Nanti giliran ada rejeki nomplok baru deh bayar lunas.” Ada satu lagi yang ikut memberi semangat..
“Kalau lama tak belanja bisa panas dingin lho …” Miss fashionable tertawa renyah sambil menggerakkan gelang keroncongnya.
Saya tersenyum dalam hati. Sepenggal dialog di siang itu mengingatkan saya akan sosok Rebbeca Bloomwood (diperankan oleh Isla Fisher) si kecanduan belanja di film Confession of Shopacholic, yang diangkat dari novel laris itu. Kalau ada yang pernah juga menonton film ini tahun lalu tentu masih ingat dengan kata-kata saktinya, “Setiap kali memandang lewat jendela toko aku seperti menemukan dunia baru ...”
Rebbeca tak pernah bisa menahan keinginannya untuk belanja dan terus belanja, apalagi bila ada diskon dan obraldari barang-barang bermerk. Semuanya bisa diselesaikan dengan selembar kartu. Ia baru merasa terganggu ketika penggunaan kartu kreditnya melebihi limit dan tumpukan tagihan ada di depan mata. Jurus berkelit dan berbohong terpaksa dilancarkan bahkan teman dekatnya pun dilibatkan dalam lingkaran kebohongannya.
Saya pernah mengenal seseorang yang mirip sosok Rebbeca. Tepat rasanya jika saya sebut ia juga seorang shopaholic atau Oniomania. Oniomania yaitu seseorang dengan nafsu kompulsif untuk berbelanja, termasuk didalamnya kecanduan penggunaan kartu kredit atau credit card addiction (Wikipedia). Saat putus cinta dimana bisanya perempuan merenung sedih, ia melarikan kegalauannya dengan pergi belanja gila-gilaan sampai kakinya sudah tak bisa lagi diajak kompromi untuk melangkah masuk toko. Cocok sekali jadi ikon salah satu pusat perbelanjaan yang semboyannya Shop till you drop. Teman saya ini sudah berbelanja melampaui kemampuan fisiknya dan kemampuan kantongnya.Berbelanja bukan lagi berdasarkan kebutuhan tetapi lebih kepada pemenuhan kepuasan diri yang di luar batas kewajaran.
Matanya baru tersembul keluar ketika membaca tagihan bulanan kartu kreditnya beberapa waktu kemudian, nafasnya jadi agak lebih cepat. “Tenang, jumlah pembayaran minimum masih terjangkau,” bisiknya menenangkan diri. Dia lupa bahwa dengan hanya membayar tagihan minimumnya tidak menyelesaikan masalah, karena berarti hanya membayar sejumlah bunganya saja tanpa menyelesaikan hutangnya. Naasnya ia juga masih single sehingga tak ada orang yang bisa ditodong untuk membantu membayar tagihan-tagihannya.
Keinginan untuk tampil rapi dan enak dipandang adalah wajar. Jika keinginan ini kemudiandisalurkan dengan membeli barang-barang yang dianggap dapat menunjang penampilan juga dapat dimengerti, tentunya bila kondisi dirinya memungkinkan. Anehnya ada pula yang berpendapat barang-barang itu adalah sebuah investasi untuk mendongkrak kepercayaan diri. Hasrat membeli seperti inilah yang dibidik pusat-pusat perbelanjaan dengan rutin mengadakan program diskon, obral ataupun yang di luar kebiasaan yaitu midnight sale. Pengunjung yang rela antri mengular di suatu midnight sale membuat saya geleng-geleng kepala.
Tetap perlu diingat bukan berarti kemudian hasrat berbelanja ini yang memimpin sehingga skala prioritas menjadi diabaikan. Kendalinya ada di tangan kita. Jangan sampai terjebak pada konsumerisme dan kebiasaan yang akhirnya merugikan diri sendiri, seperti pada contoh di atas, besar pasak daripada tiang, pengeluaran menjadi lebih besar daripada pendapatan.
Berbelanja di luar kemampuan apalagi karena memaksa diri agar tetap tampil trendi bukan suatu tindakan yang bijaksana. Selalu berpikir jernih, jangan mudah tergoda dengan promosi,
- Pikirkan kembali apakah barang yang kita inginkan itu merupakan KEBUTUHAN ataukah sekedar KEINGINAN
- Bila hanya sekedar keinginan, apakah kebutuhan-kebutuhan dalam SKALA PRIORITAS kita sudah terpenuhi.
- Bila kebutuhan skala prioritas sudah terpenuhi, adakah ANGGARAN BEBAS atau anggaran tak terduga yang bisa digunakan.
- Bila jawabannya TIDAK Berhentilah sampai di sini.
- Jangan menarik anggaran dari pos lain yang dianggap tidak penting. Hal ini akan membuat kita terbiasa mengacak-acak rencana pengeluaran kita sendiri dan kehilangan kontrol.
- Penggunaan uang kontan untuk berbelanja setidaknya dapat mengerem keinginan yang tak perlu.
Kendalikan nafsu belanja anda. Berbelanjalah dengan bijak dan cerdas …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H