Mohon tunggu...
Tantri Pranashinta
Tantri Pranashinta Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Hanya orang biasa yang masih terus belajar menyelami kehidupan ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibu dan Winnetou

22 Desember 2009   01:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:50 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_41499" align="alignleft" width="300" caption="from : www.italiansoundtracks.com"][/caption]

Aku mengenal Winnetou kepala suku Indian Apache, sosok fiksi karangan Karl May (1842-1912) di era tahun 80-an, ketika masih duduk di sekolah dasar. Ibu menjejali aku dengan buku-buku (edisi bahasa Indonesia) karangan penulis Jerman legendarisitu ketika teman-teman yang lain masih asyik dengan dongeng-dongeng HC. Andersen. Aku tumbuh bersama imajinasi padang prairie yang keras yang diwarnai sentuhan sikap bijak seorang Winnetou si kulit merah dan kepahlawanan Old Shatterhand, sahabatnya yang seorang kulit putih.

Konflik antara mereka di awal-awal perjumpaannya membawa Winnetou dan Old Shatterhand ke sebuah titik dimana perbedaan itu saling dihargai tanpa harus dilebur. Awal persahabatan yang manis (Winnetou I: Kepala Suku Apache) sampai buku kesekian tentang perpisahan mereka di dunia fana (Winnetou III: Winnetou Gugur) membuat mataku basah. Di usia yang masih belia itu, ibu telah memperkenalkan arti dari sebuah persahabatan yang tidak memandang warna kulit, ras dan agama. Ibu mendidikku lewat buku, lewat jendela dunia.

Dari ibulah minat bacaku muncul seperti dahaga yang sulit terpuaskan. Ibu juga yang memberikan buku-buku lain di usia kanak-kanak itu seperti karya Enid Blyton (Lima Sekawan), Laura Ingalls Wilder (yang kisahnya telah diangkat ke televisi dengan judul Little House on The Prairie dan waktu itu diputar di TVRI), Herge (Tintin) dan karya penulis kita Bung Smas (Pulung dan Nancy). Di usia remaja aku mulai terpesona dengan ‘Burung-Burung Manyar’-nya Romo Mangunwijaya. Bahkan karya Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia) yang saat itu masih dilarang juga sempat kubaca meski tak begitu lengkap menangkap maknanya dan bingung setengah mati mengapa karya sebagus itu harus dilarang.

Saat mahasiswa dengan kondisi kantong anak kost tidak membuat aku berhenti membaca. Puas mengaduk-aduk perpustakaan umum juga kios buku sewaan untuk menikmati karya sastrawan tanah air yang juga yahud-yahud sampai ke bundelan Kho Ping Hoo yang bisa dijadikan bantal, aku mulai melirik novel-novel tua koleksi ibu yang mulai berdebu. Bermodalkan bahasa inggris yang cuma pas-pasan melahap habis novel klasik Charles Dickens (Oliver Twist), Vicktor Hugo (Notre Dame), Mark Twain (Tom Sawyer) dan Leo Tolstoy (Anne Karenina). Semuanya atas nama dahaga. Jangan bayangkan hari-hariku hanya diisi dengan buku. Aku berkembang sebagaimana pemudi usia itu tetapi selalu kusempatkan diri membaca sebelum tidur. Tidak heran kacamata minus pun setia menemani.

Tapi dari semua itu karya-karya Karl Maylah yang kelak paling menginspirasiku untuk mulai menulis. Goresan penanya tajam dan deskripsi kata-katanya jelas mampu membawa kita total ke alam pikirnya. Seperti Herge, Karl May mampu menggambarkan kisah petualangan di tempat-tempat lain dengan rinci misalnya pada buku Kara Ben Nemsi yang menceritakan petualangan Old Shatterhand di Timur Tengah. Tak disangka ternyata semua itu berasal dari kegemarannya membaca buku geografi, bahkan saat di penjara. Konon Adolf Hitler dan Albert Einstein pun termasuk salah seorang penggemarnya (Wikipedia).

Gelora menulis dalam diri ini timbul tenggelam dan kerapkali baranya padam tapi entah mengapa rasanya selalu ada yang memangil dalam jiwa untuk kembali menulis. Entah tulisan yang aku tulis, aku nikmati dan kemudian aku kritik sendiri, ataukah tulisan yang kuberanikan diri untuk dibaca orang lain. Aku terus belajar dengan membaca tulisan-tulisan orang lain sambil terus berusaha memuaskan dahaga ini. Bagiku setiap tulisan memiliki ‘kisah’ dan kekuatannya sendiri-sendiri.

Mungkin bakat ini menurun setetes dua tetes dari darah ibu. Ibu dahulu kerap menulis cerita pendek di majalah Horison pada periode yang sama dengan penulis kawakan NH Dini. Lucunya, sampai saat ini aku belum punya keberanian untuk menunjukkan satupun dari tulisanku pada ibu tercinta. Aku ingin membuatnya bangga, itu sudah pasti, tapi kutak yakin dengan apa yang sudah aku tulis mampu membangkitkan kebanggaannya. Semoga ini jadi tulisan yang pertama untuknya, hadiah di hari ibu.

Untuk Ibu :

Ibu, kau sudah mengajariku membaca dan menumbuhkan minat bacaku. Minat yang terus tumbuh dan tak pernah mati. Kutiru habis caramu dulu perkenalkan dunia imajinasi kepada anak-anakku. Tahukah ibu, Nilai-nilai persahabatan Winnetou dan Old Shatterhand telah mewarnai hari-hariku dalam membina persahabatan tanpa memandang sekat-sekat. Aku telah mendapatkan sahabat-sahabat terbaik karenanya, juga disini dan itu berkat buku-buku yang kau berikan dulu.

Ibu … selamat hari ibu ... Tak pernah mampu terbayar semua yang telah kau lakukan kecuali ucapan terima kasih dan doa tulus di setiap sujud panjang di sepertiga malam. Tak mungkin pupus ingatan hangatnya rahim di sembilan bulan kehidupan awalku seperti tak pernah lupanya engkau sampai kini, di setiap tahun waktu kelahiranku, di bulan itu jam dua belas malam tepat lewat dua menit mengucapkan selamat ulang tahun dan tertawa lepas.

Terima kasih ibu …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun