Mohon tunggu...
Tantri Pranashinta
Tantri Pranashinta Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Hanya orang biasa yang masih terus belajar menyelami kehidupan ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gong Xi Fat Choi, Hitaci ! (secuil Pengalaman)

2 Februari 2011   03:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Pernak-pernik untuk menyambut perayaan Tahun Baru Imlek 2562 dijual di pusat perbelanjaan, Jalan Pancoran, Glodok, Jakarta Barat, Sabtu (8/1/2011)./Admin (KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES)

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi-Pernak-pernik untuk menyambut perayaan Tahun Baru Imlek 2562 dijual di pusat perbelanjaan, Jalan Pancoran, Glodok, Jakarta Barat, Sabtu (8/1/2011)./Admin (KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES)"][/caption] Hitaci, Hitam tapi Cina. Bukan hinaan berbau SARA, hanya sebentuk ekspresi kedekatan. Istilah itupun saya dengar pertama kali justru dari teman-temannya yang seetnis. Dia tak tersinggung malah tertawa lebar. Sejak itu di kalangan kawan dekat, kami biasa memanggilnya Hitaci .

Ya, Hitaci itu sahabat saya. Saudara sebangsa yang kebetulan berbeda etnis. Keluarganya keturunan Tionghoa yang hidup bersama komunitasnya di daerah Tangerang, Banten. Konon di Teluk Naga, leluhur Hitaci dari daratan Cina mendarat pertama kali. Selanjutnya mereka disebut kaum Cina Benteng karena bermukim di sekitar benteng Belanda yang ada kala itu. Dalam perjalanan waktu komunitas ini kemudian membaur dengan penduduk setempat.

Berbeda dengan kawan-kawan lain keturunan Cina dari Singkawang atau daerah lainnya yang kulitnya putih bersih, teman saya si pemuda Hitaci berkulit agak gelap seperti kebanyakan Cina benteng lainnya. Bahkan lebih gelap lagi. Saya curiga ini bukan hanya murni masalah genetis tetapi juga karena banyak berjemur.Maklum profesinya menuntut Hitaci banyak berada di luar ruangan. Meskipun keluarganya tetap berusaha memegang tradisi Cina, setahu saya mereka tak lagi bicara dialek Hokkian atau Mandarin. Bahasa di kampungnya itu campuran bahasa Betawi dan Sunda Tangerang. Ia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di tanah leluhurnya. Baginya Indonesialah negaranya, tanah kelahirannya.

Tawa Hitaci mudah menular seperti mudah menularnya antusiasme Hitaci menyambut Tahun Baru Imlek/Sincia. Hawa kegembiraan dan harapannya meletup-letup termasuk harapan peruntungan usahanya di tahun kelinci. Saya kagum dengan tekad dan ketekunannya membangun usaha dari nol. Siap prihatin sebelum sukses dan tak kenal kata gengsi itu kuncinya. Hitachi juga bergurau soal angpao dan siapa saja yang wajib memberi angpao di antara teman-temannya. Biasanya, mereka yang sudah menikah memberi pada anak-anak, yang masih bujangan dan orang yang dituakan. Kue keranjang dan jeruk lokam kuning segar termasuk yang ikut menyemarakkan, dan syukurlah saya selalu kebagian.

Dulu saya pernah bekerja di suatu perusahaan yang kebanyakan pegawainya adalah teman-teman keturunan Cina, selama kira-kira tujuh tahun (karena saya sudah tidak di situ sekarang maka tulisan ini tidak bisa dituduh mau cari muka atau naik gaji). Di tempat itu saya sama sekali tidak pernah merasa jadi minoritas. Kami bisa bekerja sama, bersosialisasi dengan baik dan saling menghargai. Perbedaan latar belakang dan agama tidak menjadi penghalang. Jika kebetulan saya makan siang bersama-sama, mereka akan memilih tempat makan yang netral. Begitu juga soal panganan yang mengandung bahan yang dilarang agama saya, mereka juga terus terang saja, “Maaf ya Mbak, ini enggak halal …”

Pemilik perusahaan tempat saya bekerja dan atasan saya langsung yang menantu perempuan si pemilik, juga orang-orang keturunan Tionghoa. Saya tidak ada masalah dengan hal itu karena diperlakukan dengan baik dan hubungan profesional antara atasan dan bawahan berjalan wajar. Kewajiban sholat lima waktu sesuai agama yang saya anut, mereka pahami dan hormati. Bahkan selama bulan Ramadhan perusahaan memberikan makanan kecil untuk berbuka puasa bagi pegawai muslim. Tentu ini bukan karena general manager saya adalah Tionghoa muslim, karena kebiasaan itu sudah ada bertahun-tahun sebelum ia menjabat posisi tersebut. Orang-orang yang tinggi hati tentu ada juga beberapa gelintir, tetapi prosentasenya kecil sekali dibandingkan yang baik dan normal. Saya pikir itu wajar, setiap suku bangsa memang ada saja yang off- type (meminjam istilah yang biasa digunakan untuk tanaman yang memiliki sifat menyimpang dari keluarganya).

Kembali ke si Hitaci sahabat saya. Dia seringkali lebih Indonesia dari saya. Itu yang bikin saya kadang-kadang heran ada saja orang-orang yang masih memandang keturunan Cina sebagai ‘kurang’ Indonesia. Meskipun tak separah jaman dulu tetapi beberapa komentar miring masih kerap terdengar. Ya, dari saudara saya sebangsa Indonesia ini. Mengapa mereka bisa menganggap saya saudara tapi sulit menerima saudara yang ‘lain’? Giliran berprestasi bagus di bidang tertentu misalnya bulutangkis atau olimpiade matematika baru dianggap layak jadi saudara, karena sudah mengangkat nama bangsa.

Mengapa? Ada yang bilang, “Orang Cina berbeda adat dan kebiasaannya!”

Mengapa tidak? Saya lebih melihat hal ini sebagai usaha melestarikan tradisi. Bukankah Indonesia adatnya beraneka ragam? Kalau sekatenan dan karapan sapi bisa diterima, mengapa yang lain tidak?

Ada lagi yang teriak, “Bahasanya berbeda! Coba saja pergi ke Glodok kita serasa ada di dunia lain.”

Bukankah Indonesia yang memiliki bahasa persatuan sesungguhnya memang terdiri dari berbagai bahasa daerah? Apa bedanya dengan bahasa Jawa yang sering terdengar di luar daerahnya? Tengok di pasar-pasar. Bahkan setahu saya di pasar-pasar tradisional di pulau Sumatra pun bahasa Jawa acap terdengar. Ini yang membuat ibu saya yang orang Jawa senang sekali, sebab bisa menawar bebas dengan bahasa daerahnya. Sampai-sampai sering kebablasan orang Batak pun diajak bahasa Jawa.

Ada yang belum puas, “Orang Cina banyak yang korupsi!”

Bukankah itu hanya oknum, biang kerok?!. Jangan lihat dia siapa, tapi lihat perbuatannya. Pasti masih ingat banyak juga koruptor yang orang Indonesia asli.

Kalau hal-hal seperti itu masih menjadi masalah, mengapa akulturasi budaya Cina dan Betawi tak ikut dipermasalahkan? Tengok pakaian pengantin betawi yang mirip pakaian pengantin Cina, kebaya encim yang sempat trendi di suatu masa, kebiasaan membakar petasan saat ada perayaan. Termasuk makanannya yang juga sudah menjadi makanan kita sehari-hari seperti mi, somay, kwetiau, bakpao, dan lainnya. Bahkan ada yang berpendapat beduk di masjid juga pengaruh kebudayaan Cina karena kebiasaan memukul beduk menjelang azan tak ditemukan di negeri asal agama Islam, tapi saya lupa sumbernya. Tak ada yang aneh dengan ini, seperti akulturasi budaya asli Indonesia dengan budaya asing lainnya misalnya budaya arab. Kadang tak disadari dan diterima sebagai murni budaya asli Indonesia.

Dari cerita tetua-tetua suku, konon ada pula setetes dua tetes darah keturunan Tionghoa mengalir pada keluarga ibu saya. Entah dari keturunan keberapa karena silsilahnya panjang sekali dan tak cukup jelas. Jejak pelestarian tradisi Cina dalam keluarga besar pun tak nampak, juga tak ada jejaknya sama sekali pada fisik saya. Ciri-ciri fisik saya khas orang Jawa. Lain benar dengan kecantikan oriental gadis-gadis keturunan sana.

Saya dapat terima fakta itu. Sama halnya seandainya ada beberapa tetes darah Arab mengalir dalam tubuh ini. Mungkin di kemudian hari ada tambahan sejarah ternyata ada beberapa tetes lagi darah India. Mungkin saja kan? Toh Bangsa Cina, Arab dan India dulu banyak berdagang ke nusantara. Terjadi akulturasi kebudayaan. Bukan tak mungkin terjadi perkawinan campuran dengan penduduk asli dan jadinya ya seperti kita-kita ini. Beberapa tetes darah dari bangsa lain tak menjadikan darah saya tercemar. Saya tetap bisa donor darah asalkan sehat dan berat badan cukup. Hitaci yang punya berliter-liter darah keturunan saja mengaku tetap Indonesia, apalagi saya!!

Saya jadi teringat lagi Hitaci si legam itu. Terakhir bertemudi salah satu keramaian kami sempat bertukar kabar sejenak. Tiga langkah sebelum pergi saya teringat sesuatu dan agak berteriak, “Kapan ya aku ajak anak-anak kerumahmu? Atau nanti saja waktu Imlek?!” Hitaci mengangguk sambil melambaikan tangan dan tersenyum lebar. Saya dan suami memang sudah lama tak menyambangi kediamannya. Di sebelah saya persis berdiri beberapa anak muda, mereka menengok mungkin kaget dengan teriakan saya. Salah satu dari mereka berkomentar, “Bu haji Imlekan juga?” Ah, saya tersenyum sambil mengaminkan dalam hati karena dipanggil bu haji. Semoga jadi tambahan doa agar bisa ke tanah suci kelak.

Selamat merayakan Tahun Baru Imlek, sahabatku Hitaci … Gong Xi Fat Choi (Selamat dan semoga banyak rejeki) ….

Teriring ucapan yang sama untuk kompasianers yang merayakan …

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun