[caption id="attachment_64324" align="alignleft" width="240" caption="from flickr"][/caption]
Saya pernah dibohongi orang yang sama sampai tiga kali. Kok bisa? Pertama kali kena dibohongi, saya kaget. "Dia…? Orang yang polos dan jujur itu? Ah, mungkin sedang khilaf." Kali kedua, "Hah? Kok bisa sih? Dia kan orang kepercayaan saya? Mungkin dia takut bicara jujur jadi terpaksa berbohong." Kali yang ketiga, "Yeeee … Benar-benar tega nih orang!!" Bapaknya anak-anak senyum-senyum saja lihat reaksi saya. Sebelum ia berkomentar tentang analogi yang sering dipakainya saya langsung menyiapkan alasan, “Ini jelas beda dengan keledai karena lubang yang bikin jatuh tidak sama. Dia itu sudah memanfaatkan KEPERCAYAAN saya.”
Jarang kan ada orang khilaf sampai tiga kali? Apalagi bohongnya itu sudah masuk kategori membahayakan nyawa orang dan juga mengkambinghitamkan kesalahan pada yang lainnya. Kalau begitu ini sudah bisa dibilang penipuan. Bohong adalah pernyataan yang salah dibuat oleh seseorang dengan tujuan pendengar percaya, sedangkan penipuan adalah kebohongan yang dibuat untuk keuntungan pribadi tetapi merugikan orang lain (Wikipedia). Jadi kalau begitu semua penipuan adalah kebohongan tetapi tidak semua kebohongan adalah penipuan.
Ada lho orang yang hobi berbohong, sudah seperti minum airlah. Kelihatannya bahkan saking banyaknya berbohong sampai-sampai lupa sejarahnya. Jadi kalau kita rajin bikin jurnal kebohongannya dalam otak kita (iseng banget sih!) kita bisa senyum-senyum sendiri karena akan kelihatan satu kebohongan tercipta untuk memperkuat kebohongan sebelumnya dan suatu rangkaian kebohongan bisa jadi kontradiksi dengan rangkaian kebohongan lain yang sudah ia rekayasa di waktu lalu. Sebenarnya selama bualannya itu tidak merugikan saya dan orang lain, anggap saja radio butut tapi kalau sudah merugikan masa iya sih kita tinggal diam juga.
Ada kisah waktu saya masih muda belia dulu. Ini gara-gara saya sering mengajak ngobrol para OB di kantor. Salah satu dari mereka ada yang pendiam sekali dan hanya berani senyum-senyum saja, sebut saja namanya Pak Inu. Melihat wajahnya pun sering terbersit rasa iba mungkin ini yang disebut wajah ‘memelas’. Suatu hari teman saya yang kebetulan atasan dari mereka itu bercerita bahwa Pak Inu rumahnya kebakaran kemarin. Habis ludes hartanya tinggal pakaian yang menempel di tubuh. Dia bilang mungkin saya bisa koordinasi santunan dari teman-teman lain. Hari itu tentu saja pak Inu tidak masuk kerja. Secara spontan saya langsung merogoh kocek dalam-dalam dan menitipkannya untuk pak Inu. Saya sarankan teman saya untuk bicara dengan bagian personalia karena biasanya bagian inilah yang mengurus.
Hari berganti hari, karena kesibukan saya tak pernah bertemu pak Inu lagi dan tak pernah menanyakan perihal peristiwa kebakaran itu. Pernah satu kali berpapasan di koridor, pak Inu menunduk terus. Saya pikir dia merasa tak enak hati dengan pemberian saya. Setahun kemudian saat saya pamitan untuk pindah ke kantor lain, saya berkesempatan bicara langsung dengan pak Inu. Saya menanyakan kondisi keluarganya dan lokasi tempat tinggalnya sekarang, apakah dekat dengan rumah yang terbakar dulu. Pak Inu cuma bengong dan menjawab lirih, “Rumah saya enggak pernah kebakaran kok, bu …” O la la tertipuuuuu …. Ternyata teman saya itu telah tega memanfaatkan RASA IBA saya.
Itu dulu waktu saya belum banyak tahu perihal tipu daya. Setelah saya agak pintar ternyata saya masih tertipu juga. Ceritanya, seorang kenalan lama pinjam tambahan modal untuk jualan kosmetika di kota asalnya. Dia lengkap sekali jelaskan sistemnya, sampai ke keuntungan bagi hasilnya. Dia bahkan ajak saya datang rumah seorang distributornya. Di perjalanan dia menelpon distributornya dan minta disiapkan barang sejumlah tambahan modal yang saya sepakati. Ternyata setelah sampai ke rumah tersebut, si distributor tidak ada di tempat. Pembantunya bilang juga tidak ada titipan apa-apa. Teman saya bilang daripada kita harus balik lagi ke situ mending nanti dia saja yang langsung ambil barangnya lain hari. Saya yang tidak curiga sedikitpun setuju saja dan kemudian mentransfer ke rekeningnya sejumlah uang yang pada saat itu lumayan jumlahnya bagi saya. Dia berjanji bagi hasil akan dimulai bulan depan.
Bulan depan ternyata tidak ada kiriman sama sekali bahkan pesan pun tak ada. Saya coba hubungi via telepon selalu tidak tersambung dan HP tidak diangkat. Bulan-bulan berikutnya tetap sepi-sepi saja. Barulah saya sadar sudah ditipu teman sendiri. Juga baru menyadari usaha mempertemukan saya dengan distributornya dulu itu hanyalah akal-akalan dia. Kenalan saya yang satu ini telah memanfaatkan KETIDAKTAHUAN saya.
Dibohongi itu memang tidak enak tapi percayalah, dibohongi teman lebih tidak enak lagi. Apakah saya kemudian jadi paranoid? Untungnya tidak karena saya memang memutuskan tidak mau memelihara energi negatif dalam tubuh. Saya tidak rela jadi sosok yang penuh dengan curiga bisa-bisa nanti teman yang baikpun jadi ikut pergi,karena saya manusia biasa yang masih butuh teman. Justru dari yang telah saya alami itu saya belajar mengenali empat kelemahan besar saya yang tiga diantaranya telah saya tulis dalam huruf kapital di atas yaitu, kepercayaan, rasa iba, ketidaktahuan dan satu lagi yaitu sifat tergesa-gesa. Saya berusaha menempatkan keempat hal tersebut sesuai porsinya karena tidak mungkin menghilangkan seluruhnya dari dalam diri. Tanpa kelemahan itu justru saya akan berubah menjadi manusia asing.
KEPERCAYAAN
Kepercayaan adalah modal membina suatu hubungan, baik hubungan pertemanan maupun hubungan bisnis. Sedapat mungkin kita menjaga kepercayaan orang lain terhadap kita tetapi jangan lupa, orang lain belum tentu bertindak sama untuk selalu bisa kita percaya. Karena itu selalu periksa kembali (check and recheck), sejauh mana kepercayaan itu masih bisa dipegang.
RASA IBA
Perempuan biasanya akrab dengan rasa iba tetapi jangan biarkan perasaan itu mendominasi sehingga mematikan logika. Tetap berpikir sehat dan kritis tanpa harus menghilangkan empati terhadap orang lain
KETIDAKTAHUAN
Jangan malu mengakui pada diri sendiri bahwa kita tidak tahu banyak mengenai suatu hal. Berusaha menggali informasi yang kita perlukan sebanyak-banyaknya. Jangan hanya percaya pada satu sumber, kalau perlu bertanyalah pada ahlinya.
TERGESA-GESA
Hindari bertindak tergesa-gesa. Segala sesuatu perlu diendapkan dahulu tetapi jangan berlama-lama karena pada beberapa hal memang diperlukan tindakan cepat. Berilah diri kita waktu untuk memeriksa kembali, mencari dan menggali informasi, menggunakan logika dan menjaga obyektifitas.
Terakhir yang perlu selalu diingat tetaplah waspada. Waspada tidak sama dengan curiga. Kita seringkali curiga terhadap orang yang tak kita kenal atau yang belum lama kita kenal tetapi justru terhadap teman bahkan kerabat kita percaya sekali. Di sinilah kadang-kadang kemudian muncul lubang menganga bernama kesempatan. Jadi hindari kesempatan yang bisa diselewengkan dan sedapat mungkin hindari urusan yang dari awal sudah terasa berpotensi untuk disalahgunakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H