(Ilustrasi gambar diambil dari blog Pipiet Senja) Judul Buku : Menoreh Janji di Tanah Suci
Penulis: Pipiet Senja
Cetakan: I, Agustus 2011
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tebal: 246 halaman
ISBN: 978-979-91-0374-1
Buku ini mengisahkan catatan perjalanan Pipiet Senja ke tanah suci sewaktu berumroh dan Haji. Banyak hikmah yang bisa diambil di dalamnya, bukan hanya pengalaman menjalankan rukun-rukun haji itu sendiri tetapi juga pengalaman rohani dari penulisnya. Perjalanan spiritual Pipiet Senja sebenarnya telah dimulai sejak ia meniatkan dirinya untuk pergi haji dengan membuka tabungan haji. Sejak saat itu jalan terbuka justru dari penjuru yang tak pernah dikira.
Sepulang dari Mesir, 2005, tabungan haji kuawali dengan nominal lima ratus ribu yang kusetorkan dengan malu-malu, di antara penabung calon jamaah yang kutahu turun dari mobil pribadi (hal. 79).
Siapa sangka pada April 2006 Pipiet Senja tiba-tiba diundang umroh oleh sebuah travel dan pada Desember 2006 ia mendapatkan kesempatan berhaji dari tempat yang sama. Bekal seadanya dan kondisi kesehatannya yang di bawah rata-rata tak menghalangi kebahagiaan mengunjungi rumah Allah tersebut.
Bagiku inilah detik-detik menyentuh perjalanan rohani yang sungguh luar biasa, aku takkan pernah sanggup mengggambarkannya dengan kata-kata. Meskipun pernah kutempuh lautan tinta, kurenangi samudera pena dan cakrawala dunia kata … (hal. 18).
Pipiet Senja menyentuh ruang-ruang kesadaran pembacanya dengan penyampaian yang segar dan kadang lucu. Bahasa yang digunakan tak selalu formal, ‘renyah’ dan banyak disisipi istilah gaul sehari-hari. Kejujurannya terasa sekali pada paparan kisah-kisah penulis di tanah suci. Bahkan juga kejadian-kejadian yang dimaknai penulis sebagai ‘teguran kasih sayang’ dari Sang Khalik atas khilaf yang tak sengaja dilakukannya.
Kepalaku, wajahku, hidungku, sungguh nyungsep tepat di kaki (menurutku, besar sekali, belum pernah kulihat kaki serupa itu!) salah seorang wanita berbusana hitam-hitam itu. Aku takkan melupakannya, bersamaan dengan itu tercium aroma yang sangat memabukkan!
Namun, ternyata, Saudara, justru berkat merekalah aku bisa memasuki areal Raudhah, mendirikan sholat dua rakaat. Begitu menyadari segalanya telah berlangsung amat mudah bagiku, otakku baru konek kembali; ceplas-ceplosku itu, ya Allahu Akbar! (hal.29).
Termasuk kejadian di luar logika yang terjadi di tanah suci, semuanya dapat dipahami sebagai bentuk kasih sayang dan rahmat Allah SWT yang menunjukkan kekuasaanNya.
Di batas menuju Hijr Ismail, tiba-tiba kulihat ada seorang perempuan kecil melambai, mengisyaratkan padaku agar mendekat. Aku merasa tak asing lagi, ya serasa aku telah mengenalnya lama … tapi dimana? Namun yang jelas, berkat anak ini aku mendapatkan tempat untuk sholat dengan tumaninah di antara ratusan manusia yang berjubalan.
Aku merasa anak kecil itu sengaja menjagaku selama aku sholat, dia berdiri tegak di sebelahku, acapkali kulihat sekelebatan kedua tangan mungilnya mengembang. Mungkin menghalangi desakan manusia-manusia di sekitarku, supaya tidak mengganggu posisiku (hal.45).
“Mungkin dia anakku yang dulu pernah digugurkan … saat aku pingsan, tahu-tahu formulirnya sudah ditandatangani!” ceracauku mendadak histeris (hal.46).
Selama berada di sana, Pipiet Senja pun tak lepas dari kegalauan sebagai bagian dari kontemplasinya dalam memaknai perjalanan haji,
Maka entah manusia macam apakah, dan begitu angkuhnya, apabila dia masih saja tidak sadar, setelah melakukan ibadah umroh atau haji. Di manakah gerangan nuraninya, mereka, para koruptor, penjilat duit rakyat kecil yang telah bolak-balik haji, kemudian pulang hanya untuk merampok kembali? (hal.58).
Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syariati, seorang cendekiawan muslim dari Iran.Haji bukanlah sekedar ritual wisata tanpa makna. Haji merupakan sebuah langkah maju menuju ‘pembebasan diri’ yaitu bebas dari penghambaan tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan yang sejati. Semua itu pada akhirnya mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan nilai kemanusiaan universal (Ali Syariati).
Sejatinya para tamu Allah ini kemudian menekan pada titik zero 'tuhan uang', 'tuhan kekuasaan', atau bahkan 'tuhan ego' dari diri mereka sepulang dari tanah suci, dan pada kehidupan mereka selanjutnya. Jika demikian bolehlah kita tersenyum bahagia melihat orang-orang berbondong-bondong pergi haji apalagi sampai bolak-balik beberapa kali, dan tak perlu lagilah sampai seeorang diragukan niatnya pergi haji itu untuk mencuci dosanya kepada publik yang belum terselesaikan di sini.
Haru, senyum, sampai tertawa lebar membaca keseluruhan buku ini. Banyak kisah inspiratif di dalamnya yang hadir tanpa kesan menggurui. Kehadiran buku ini menambah kerinduan untuk pergi ke tanah suci. Beruntunglah saudara seiman yang telah berkesempatan lebih dahulu untuk berangkat ke sana. Semoga suatu hari nanti saya pun diijinkan Allah untuk menapakkan kaki di sana.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H