Siang merangkak menuju senja. Setelah membuat tanda salib penutup doa untuk arwah ayah yang baru saja dimakamkan dua minggu lalu, aku melangkah meninggalkan pemakaman menuju mobilku. Kususuri jalanan menuju sebuah desa. Di jok kursi sebelahku tergeletak sebuah novel. Pada bagian sampulnya tertulis nama ayah sebagai penulisnya. Buku itu baru saja terbit satu bulan sebelum ayah meninggal. Dalam keadaan lemah ayah berpesan padaku untuk memberikan satu buku novel itu kepada seseorang.
Aku tak tahu banyak tentang masa lalu ayah dan ibu. Yang jelas selama ini keluarga kami baik-baik saja. Ayah dan ibu jarang bertengkar. Menurutku mereka adalah pasangan yang harmonis. Ayah tampan dan gagah, sementara ibu adalah perempuan lembut yang cantik. Aku bangga pada mereka.
Lalu siapakah seseorang yang menghiasi halaman persembahan novel ayah ini? Mengapa ia begitu istimewa bagi ayah? Seorang perempuan bernama Erika itu juga lah yang menjadi penyebab dinginnya hubungan ayah dan ibu dua tahun terakhir ini. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan bisa terjadi pada keluargaku yang semula baik-baik saja.
Semua berawal dari PHK besar-besaran yang dialami ayah di tempat kerjanya. Ayah putus asa karena kesulitan mencari pekerjaan baru. Meskipun bisnis katering yang dijalani ibu cukup untuk membiayai kebutuhan hidup kami bertiga, namun ayah tetap merasa bahwa semestinya tanggung jawab keluarga ada di pundaknya.
Malam itu entah setan dari mana yang membuat ayah pulang dalam keadaan mabuk. Saat dalam keadaan hilang kesadaraan itulah terungkap semua isi hati ayah. Tentang perasaannya yang lama tersimpan untuk seseorang. Dari ocehan ayah malam itu aku mulai mengerti bahwa ayah dan ibu menikah bukan dilandasi cinta. Meskipun dalam perjalanan perkawinan akhirnya ibu berhasil mencintai ayah, namun ternyata tidak demikian dengan ayah. Ayah masih tetap mencintai perempuan yang bernama Erika, nama yang disebutnya saat dalam keadaan tidak sadar.
Malam itu aku melihat ibu menangis di kamar. Kekecewaan menggores begitu dalam di hati perempuan itu. Pengabdiannya selama puluhan tahun kepada ayah ternyata tak membuat lelaki itu tulus mencintainya. Semua perhatian dan kebaikan yang ayah lakukan adalah karena tanggung jawabnya sebagai suami dan kepala keluarga. Cintanya hanya untuk seorang perempuan bernama Erika.
Lalu perkawinan ayah dan ibu semakin mendingin. Ibu hanya melakukan kewajibannya seperti robot. Sementara ayah yang merasa bersalah semakin canggung berhadapan dengan ibu. Mereka pun saling mendiamkan. Aku yang sedih tak mampu berbuat apa-apa.
Lalu ayah mengisi waktunya dengan menulis. Beberapa tulisannya menembus media lokal maupun nasional. Yang terakhir adalah sebuah novel yang diselesaikannya dalam waktu setahun. Saat penulisan novel ini, aku sering melihat ayah menangis. Belakangan aku tahu bahwa novel itu adalah kisah pribadi ayah sendiri.
Hingga suatu saat ayah jatuh sakit, ada secercah sinar di mata ayah saat novel pertamanya terbit.
“Berikan satu novel ini padanya.” Ayah menyerahkan sebuah buku novel karyanya. “Aku ingin dia tidak lagi terbebani dengan rasa bersalah. Katakan bahwa ayah tetap bangga padanya,” Selembar kertas kecil bertuliskan alamat di sebuah desa menjadi bekalku untuk mencari perempuan itu.
Dan senja ini aku memacu mobilku menyusuri jalan panjang di sebuah desa kecil tempat alamat itu berada. Kuharap sebelum malam aku sudah sampai kesana.