Kupacu motorku menembus hujan yang mengguyur jalanan. Untunglah hujan sore ini
tak terlalu lama. Sampai di sebuah kelokan jalan, curahan air dari langit itu tinggal menyisakan
titik-titik gerimis saja.
Di depan deretan toko-toko, kulihat seorang lelaki berjalan berlawanan arah denganku.
Ia mengenakan jaket warna coklat dan celana jins biru muda. Kerudung jaketnya menutupi
kepala dan sebagian wajahnya. Meskipun begitu aku tetap mengenalinya.
"Pa Jo! Badhe tindak pundi?" panggilku sambil melambatkan laju motorku. Pak Jo
menoleh ke arahku sambil tersenyum. Kulambaikan tanganku yang lalu dibalasnya dengan
lambaian yang sama. Ia lalu menunjuk ke arah depan. Ada pet shop kecil di sana. Kuduga ia
akan membeli makanan untuk kucing-kucing peliharaannya.
"Piyambakan, Pak?" Aku bertanya lagi dengan nada khawatir. Pak Jo mengangguk
sambil tetap tersenyum lalu melambaikan tangannya sekali lagi dan melanjutkan langkahnya.
"Ngatos-atos Pak Jo," ucapku lagi, entah ia mendengar atau tidak. Rasanya aku masih
ingin bertanya lagi tentang mengapa ia tidak ditemani siapa pun. Mengingat bagaimana kondisi
Pa Jo minggu lalu rasanya tidak percaya melihatnya sesehat ini. Ke mana istrinya? Anaknya?
Tanpa sadar aku melirik ke kaca spion, berharap sosok Pak Jo masih bisa kulihat. Namun
rupanya lelaki itu melangkah lebih cepat dari perkiraanku. Sosoknya telah menghilang di
belokan jalan.
Sepanjang perjalanan ke rumah, aku ingat pada pertemuanku dengan Pak Jo minggu lalu.
Hampir dua bulan Pak Jo sakit dan tidak bisa mengikuti misa ke gereja. Sebagai prodiakon
lingkungan, aku bertugas mengantarkan komuni ke rumahnya.
Dalam sakitnya, lelaki itu tampak lemah dan pucat. Namun raut wajahnya selalu berubah
bersemangat setiap ia melihatku datang. Iya, aku tahu bukan aku yang membuatnya
bersemangat, tapi Tubuh Kristus yang sedang kubawa dalam piksis yang kukalungkan di
leherku.
Sebelum sakit, Pak Jo selalu tekun mengikuti misa. Tak heran saat sakit pun ia tidak mau
ketinggalan menerima Tubuh Kristus. Terakhir, minggu lalu adalah ke tujuh kalinya aku
mengantar komuni ke kamar lelaki itu.
Masih sangat jelas kuingat bagaimana bibirnya yang bergetar dan suaranya yang lemah
menjawab "Amin" saat membalas ucapan "Tubuh Kristus" dariku. Seusai menerima komuni,
biasanya Pak Jo akan memejamkan matanya sebentar, berdoa dalam hati. Pada saat seperti itu
aku selalu menunggu hingga ia kembali membuka matanya lalu tersenyum.
"Terima kasih Pak Frans..." begitu selalu ucapnya seusai berdoa. Waktu itu aku
memegang tangannya yang pucat. Sepenuh hati aku berusaha menyemangati lelaki itu.
"Enggal dhangan Pak Jo. Tuhan Yesus berkati."
Ada rasa lega di hatiku setiap kali menyelesaikan tugasku. Tak bisa kugambarkan
dengan kata-kata mana pun saat melihat Pak Jo terlihat bahagia. Kelegaan Pak Jo tampak dari
napasnya yang naik turun dengan teratur, serta raut wajahnya yang damai. Ritual penerimaan
komuni selalu membahagiakan lelaki itu.
Biasanya setelah semuanya selesai, aku segera berpamitan agar Pak Jo bisa beristirahat.
Namun aku ingat, hari itu aku tidak ingin terburu-buru pergi. Ada sesuatu yang kurasakan
berbeda. Entah apa. Aku hanya tidak ingin segera meninggalkan Pak Jo. Itu saja. Aku belum bisa
menerjemahkan apa yang kurasakan sebenarnya hingga istri Pak Jo membuka pintu kamar.
"Sampun Pak?" tanyanya.
"Sudah Bu." Lalu kembali aku menoleh ke arah Pak Jo yang masih memejamkan
matanya. "Hari ini Pak Jo terlihat tenang sekali. Semoga bapak segera membaik, Bu,"
sambungku.
"Saya berharap begitu, Pak Frans. Terima kasih sudah rutin mengantarkan komuni untuk
suami saya."
"Sama-sama Bu. Itu kan sudah tugas saya. Semoga Tubuh Kristus semakin
menyemangati Pak Jo untuk sembuh ya, Bu."
"Amin Pak Frans. Oh iya, monggo tehnya diunjuk dulu Pak." Bu Jo mempersilakan aku
untuk duduk di kursi tamu, tepat di luar kamar Pak Jo. Entah kenapa aku kembali menoleh ke
arah Pak Jo berbaring. Ternyata Pak Jo sedang membuka matanya. Segera aku melangkah
mendekatinya.
"Pak Jo ngersakke menapa? Minum ya Pak?" Tanpa menunggu jawaban Pak Jo, aku
langsung mengambil gelas berisi air rebusan kacang ijo di atas meja. Kuarahkan sedotan dalam
gelas itu ke mulutnya.
"Oh sudahlah Pak. Biar saya saja." Bu Jo tergopoh-gopoh berusaha mengambil alih
gelas dari tanganku. Tapi aku tetap memegangnya erat karena mulut Pak Jo sudah membuka
untuk menerima ujung sedotan plastik itu.
"Tidak apa-apa Bu."
"Wah maaf lho, Pak. Malah merepotkan. Pak Frans malah belum minum tehnya, lho." Bu
Jo terlihat sungkan. Tapi aku berusaha menenangkan.
"Nanti saya minum Bu. Saya juga tidak sedang buru-buru kok."
Tak lama Pak Jo lalu memberi tanda bahwa ia sudah cukup minum. Aku menaruh gelas
itu lagi di atas meja. Bu Jo langsung mendekat dan membetulkan selimut suaminya.
"Pak Frans..." panggil Pak Jo dengan suara lirih.
"Gimana Pak Jo?"
"Terima kasih doa-doanya..." Suara Pak Jo terhenti. Aku mengangguk sambil tetap
menunggu. Sepertinya lelaki itu masih ingin mengucapkan sesuatu. Namun setelah beberapa
saat tak ada lagi kata-kata yang keluar. Akhirnya aku beringsut meninggalkannya. Apalagi Pak
Jo lalu memejamkan matanya lagi.
"Sugeng ngaso Pak Jo," ucapku pelan sebelum meninggalkan kamar. Bu Jo mengikutiku
di belakang.
Aku ingat saat meninggalkan kamar Pak Jo hari itu, rasanya seperti sedang kehilangan
sesuatu. Entah apa. Namun melihat bagaimana Pak Jo sudah bisa berjalan keluar rumah sore ini
cukup membuatku lega. Barangkali karena Pa Jo sudah sehat dan tidak membutuhkan aku lagi
untuk mengantarkan komuni, lalu membuatku kehilangan satu aktivitas? Ha ha mungkin saja.
Tapi bukankah itu kabar baik? Mestinya aku senang melihat salah satu umat di lingkunganku
tetap dapat menerima Tubuh Kristus pada saat sakit dan pada saat ia telah sehat kembali. Jadi
aku tak perlu merasa kehilangan apa pun, bukan?
Jalan menuju lorong rumah tempat tinggalku kurang bagus. Kalau musim hujan begini
selalu becek dan licin. Maka aku melambatkan motorku saat melewatinya. Sempat kutolehkan
kepalaku ke arah lorong yang menuju rumah Pak Jo. Rumah Pa Jo hanya selisih empat blok dari
rumahku. Bibirku mengulum senyum mengingat kondisi Pak Jo barusan. Ia terlihat sehat dan
tegap melangkahkan kakinya menembus gerimis.
Baru saja aku memarkir motorku saat kurasakan getaran di kantong celanaku. Gawaiku
berdering. Rupanya ada dua kali panggilan masuk tak terjawab karena aku sedang dalam
perjalanan. Kulihat dua panggilan itu berasal dari Pak Tobias, ketua lingkungan kami.
"Nggih Pak, maaf tadi lagi naik motor nggak bisa angkat telp..."
"Sore Pak Frans, tolong besok pagi mimpin upacara pemakaman ya, Pak. Biar Romo
yang memberkati jenazahnya, njenengan yang mimpin ibadat di pemakaman." Pak Tobias
memenggal kalimatku.
"Lho...siapa yang meninggal Pak?" tanyaku kaget.
"Wah, belum ada yang menginformasikan pada Pak Frans to? Ini ada warga kita yang
meninggal siang tadi. Rencana mau dimakamkan besok karena masih menunggu keluarga dari
luar kota. Pak Frans siap mimpin ibadat nguntapke layon ya?"
"Tapi siapa yang meninggal, Pak?" ulangku lagi tak sabar.
"Yang udah lama sakit itu lho. Pak Johanes Wiryadi. Beliau kan beberapa waktu lalu...."
Aku tak lagi mendengar kelanjutan kalimat Pak Tobias. Dadaku berdegup sangat
kencang. Lututku melemas. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku. Mulutku siap terbuka
untuk berteriak bahwa kabar itu bohong. Bukankah aku baru saja bertemu dengan Pak Jo
beberapa menit lalu? Tapi apakah mungkin Pak Tobias bohong? Lalu siapa tadi yang kulihat
berjalan di tengah gerimis? Apakah ini jawaban dari perasaan kehilangan yang muncul waktu
terakhir kali aku mengantar komuni ke kamar Pak Jo? Jadi minggu lalu itu adalah komuni
terakhir untuk Pak Jo?
"Ya Pak Frans? Pak? Pak Frans?" Pak Tobias mengeraskan volume suaranya. Mungkin
ia bingung karena aku tidak menjawab apa pun.
"Eh, iya Pak...Saya siap." Hanya itu yang keluar dari mulutku bersamaan dengan
terlepasnya gawaiku dari genggamanku.
Badhe tindak pundi? : Mau pergi ke mana?
Piyambakan? : Sendirian?
Ngatos-atos : Hati-hati
Enggal dhangan : Segera sembuh
Sampun : Sudah
Monggo tehnya diunjuk : Silakan tehnya diminum
Ngersakke napa? : ingin apa?
Sugeng ngaso : Silakan istirahat
Nggih : Iya
Njenengan : Anda
Nguntapke layon : memberangkatkan jenazah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI