Mohon tunggu...
Tantrini Andang
Tantrini Andang Mohon Tunggu... Penulis - penulis cerpen dan buku fiksi

menulis itu melepaskan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Komuni Terakhir

28 Januari 2025   20:26 Diperbarui: 28 Januari 2025   20:26 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kupacu motorku menembus hujan yang mengguyur jalanan. Untunglah hujan sore ini

tak terlalu lama. Sampai di sebuah kelokan jalan, curahan air dari langit itu tinggal menyisakan

titik-titik gerimis saja.


Di depan deretan toko-toko, kulihat seorang lelaki berjalan berlawanan arah denganku.

Ia mengenakan jaket warna coklat dan celana jins biru muda. Kerudung jaketnya menutupi

kepala dan sebagian wajahnya. Meskipun begitu aku tetap mengenalinya.


"Pa Jo! Badhe tindak pundi?" panggilku sambil melambatkan laju motorku. Pak Jo

menoleh ke arahku sambil tersenyum. Kulambaikan tanganku yang lalu dibalasnya dengan

lambaian yang sama. Ia lalu menunjuk ke arah depan. Ada pet shop kecil di sana. Kuduga ia

akan membeli makanan untuk kucing-kucing peliharaannya.


"Piyambakan, Pak?" Aku bertanya lagi dengan nada khawatir. Pak Jo mengangguk

sambil tetap tersenyum lalu melambaikan tangannya sekali lagi dan melanjutkan langkahnya.


"Ngatos-atos Pak Jo," ucapku lagi, entah ia mendengar atau tidak. Rasanya aku masih

ingin bertanya lagi tentang mengapa ia tidak ditemani siapa pun. Mengingat bagaimana kondisi

Pa Jo minggu lalu rasanya tidak percaya melihatnya sesehat ini. Ke mana istrinya? Anaknya?

Tanpa sadar aku melirik ke kaca spion, berharap sosok Pak Jo masih bisa kulihat. Namun

rupanya lelaki itu melangkah lebih cepat dari perkiraanku. Sosoknya telah menghilang di

belokan jalan.


Sepanjang perjalanan ke rumah, aku ingat pada pertemuanku dengan Pak Jo minggu lalu.

Hampir dua bulan Pak Jo sakit dan tidak bisa mengikuti misa ke gereja. Sebagai prodiakon

lingkungan, aku bertugas mengantarkan komuni ke rumahnya.


Dalam sakitnya, lelaki itu tampak lemah dan pucat. Namun raut wajahnya selalu berubah

bersemangat setiap ia melihatku datang. Iya, aku tahu bukan aku yang membuatnya

bersemangat, tapi Tubuh Kristus yang sedang kubawa dalam piksis yang kukalungkan di

leherku.


Sebelum sakit, Pak Jo selalu tekun mengikuti misa. Tak heran saat sakit pun ia tidak mau

ketinggalan menerima Tubuh Kristus. Terakhir, minggu lalu adalah ke tujuh kalinya aku

mengantar komuni ke kamar lelaki itu.


Masih sangat jelas kuingat bagaimana bibirnya yang bergetar dan suaranya yang lemah

menjawab "Amin" saat membalas ucapan "Tubuh Kristus" dariku. Seusai menerima komuni,

biasanya Pak Jo akan memejamkan matanya sebentar, berdoa dalam hati. Pada saat seperti itu

aku selalu menunggu hingga ia kembali membuka matanya lalu tersenyum.


"Terima kasih Pak Frans..." begitu selalu ucapnya seusai berdoa. Waktu itu aku

memegang tangannya yang pucat. Sepenuh hati aku berusaha menyemangati lelaki itu.


"Enggal dhangan Pak Jo. Tuhan Yesus berkati."

Ada rasa lega di hatiku setiap kali menyelesaikan tugasku. Tak bisa kugambarkan

dengan kata-kata mana pun saat melihat Pak Jo terlihat bahagia. Kelegaan Pak Jo tampak dari

napasnya yang naik turun dengan teratur, serta raut wajahnya yang damai. Ritual penerimaan

komuni selalu membahagiakan lelaki itu.


Biasanya setelah semuanya selesai, aku segera berpamitan agar Pak Jo bisa beristirahat.

Namun aku ingat, hari itu aku tidak ingin terburu-buru pergi. Ada sesuatu yang kurasakan

berbeda. Entah apa. Aku hanya tidak ingin segera meninggalkan Pak Jo. Itu saja. Aku belum bisa

menerjemahkan apa yang kurasakan sebenarnya hingga istri Pak Jo membuka pintu kamar.


"Sampun Pak?" tanyanya.


"Sudah Bu." Lalu kembali aku menoleh ke arah Pak Jo yang masih memejamkan

matanya. "Hari ini Pak Jo terlihat tenang sekali. Semoga bapak segera membaik, Bu,"

sambungku.


"Saya berharap begitu, Pak Frans. Terima kasih sudah rutin mengantarkan komuni untuk

suami saya."


"Sama-sama Bu. Itu kan sudah tugas saya. Semoga Tubuh Kristus semakin

menyemangati Pak Jo untuk sembuh ya, Bu."


"Amin Pak Frans. Oh iya, monggo tehnya diunjuk dulu Pak." Bu Jo mempersilakan aku

untuk duduk di kursi tamu, tepat di luar kamar Pak Jo. Entah kenapa aku kembali menoleh ke

arah Pak Jo berbaring. Ternyata Pak Jo sedang membuka matanya. Segera aku melangkah

mendekatinya.


"Pak Jo ngersakke menapa? Minum ya Pak?" Tanpa menunggu jawaban Pak Jo, aku

langsung mengambil gelas berisi air rebusan kacang ijo di atas meja. Kuarahkan sedotan dalam

gelas itu ke mulutnya.


"Oh sudahlah Pak. Biar saya saja." Bu Jo tergopoh-gopoh berusaha mengambil alih

gelas dari tanganku. Tapi aku tetap memegangnya erat karena mulut Pak Jo sudah membuka

untuk menerima ujung sedotan plastik itu.


"Tidak apa-apa Bu."


"Wah maaf lho, Pak. Malah merepotkan. Pak Frans malah belum minum tehnya, lho." Bu

Jo terlihat sungkan. Tapi aku berusaha menenangkan.


"Nanti saya minum Bu. Saya juga tidak sedang buru-buru kok."


Tak lama Pak Jo lalu memberi tanda bahwa ia sudah cukup minum. Aku menaruh gelas

itu lagi di atas meja. Bu Jo langsung mendekat dan membetulkan selimut suaminya.


"Pak Frans..." panggil Pak Jo dengan suara lirih.


"Gimana Pak Jo?"


"Terima kasih doa-doanya..." Suara Pak Jo terhenti. Aku mengangguk sambil tetap

menunggu. Sepertinya lelaki itu masih ingin mengucapkan sesuatu. Namun setelah beberapa

saat tak ada lagi kata-kata yang keluar. Akhirnya aku beringsut meninggalkannya. Apalagi Pak

Jo lalu memejamkan matanya lagi.


"Sugeng ngaso Pak Jo," ucapku pelan sebelum meninggalkan kamar. Bu Jo mengikutiku

di belakang.


Aku ingat saat meninggalkan kamar Pak Jo hari itu, rasanya seperti sedang kehilangan

sesuatu. Entah apa. Namun melihat bagaimana Pak Jo sudah bisa berjalan keluar rumah sore ini

cukup membuatku lega. Barangkali karena Pa Jo sudah sehat dan tidak membutuhkan aku lagi

untuk mengantarkan komuni, lalu membuatku kehilangan satu aktivitas? Ha ha mungkin saja.

Tapi bukankah itu kabar baik? Mestinya aku senang melihat salah satu umat di lingkunganku

tetap dapat menerima Tubuh Kristus pada saat sakit dan pada saat ia telah sehat kembali. Jadi

aku tak perlu merasa kehilangan apa pun, bukan?


Jalan menuju lorong rumah tempat tinggalku kurang bagus. Kalau musim hujan begini

selalu becek dan licin. Maka aku melambatkan motorku saat melewatinya. Sempat kutolehkan

kepalaku ke arah lorong yang menuju rumah Pak Jo. Rumah Pa Jo hanya selisih empat blok dari

rumahku. Bibirku mengulum senyum mengingat kondisi Pak Jo barusan. Ia terlihat sehat dan

tegap melangkahkan kakinya menembus gerimis.


Baru saja aku memarkir motorku saat kurasakan getaran di kantong celanaku. Gawaiku

berdering. Rupanya ada dua kali panggilan masuk tak terjawab karena aku sedang dalam

perjalanan. Kulihat dua panggilan itu berasal dari Pak Tobias, ketua lingkungan kami.


"Nggih Pak, maaf tadi lagi naik motor nggak bisa angkat telp..."


"Sore Pak Frans, tolong besok pagi mimpin upacara pemakaman ya, Pak. Biar Romo

yang memberkati jenazahnya, njenengan yang mimpin ibadat di pemakaman." Pak Tobias

memenggal kalimatku.


"Lho...siapa yang meninggal Pak?" tanyaku kaget.


"Wah, belum ada yang menginformasikan pada Pak Frans to? Ini ada warga kita yang

meninggal siang tadi. Rencana mau dimakamkan besok karena masih menunggu keluarga dari

luar kota. Pak Frans siap mimpin ibadat nguntapke layon ya?"


"Tapi siapa yang meninggal, Pak?" ulangku lagi tak sabar.


"Yang udah lama sakit itu lho. Pak Johanes Wiryadi. Beliau kan beberapa waktu lalu...."


Aku tak lagi mendengar kelanjutan kalimat Pak Tobias. Dadaku berdegup sangat

kencang. Lututku melemas. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku. Mulutku siap terbuka

untuk berteriak bahwa kabar itu bohong. Bukankah aku baru saja bertemu dengan Pak Jo

beberapa menit lalu? Tapi apakah mungkin Pak Tobias bohong? Lalu siapa tadi yang kulihat

berjalan di tengah gerimis? Apakah ini jawaban dari perasaan kehilangan yang muncul waktu

terakhir kali aku mengantar komuni ke kamar Pak Jo? Jadi minggu lalu itu adalah komuni

terakhir untuk Pak Jo?


"Ya Pak Frans? Pak? Pak Frans?" Pak Tobias mengeraskan volume suaranya. Mungkin

ia bingung karena aku tidak menjawab apa pun.


"Eh, iya Pak...Saya siap." Hanya itu yang keluar dari mulutku bersamaan dengan

terlepasnya gawaiku dari genggamanku.



Badhe tindak pundi? : Mau pergi ke mana?

Piyambakan? : Sendirian?

Ngatos-atos : Hati-hati

Enggal dhangan : Segera sembuh

Sampun : Sudah

Monggo tehnya diunjuk : Silakan tehnya diminum

Ngersakke napa? : ingin apa?

Sugeng ngaso : Silakan istirahat

Nggih : Iya

Njenengan : Anda

Nguntapke layon : memberangkatkan jenazah

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun