Malam itu bulan tampak bundar bak telur dadar. Seorang lelaki tua yang duduk di kursi roda memandanginya dengan wajah muram. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Bukankah ini purnama yang ke delapan belas? Masa yang telah ia habiskan sejak ketiga anaknya mengantarnya ke panti ini.Â
Ia tak mungkin salah menghitung. Coretan garis-garis yang dikelompokkan tiap hitungan ke lima pada ambang jendela itu menjadi buktinya. Telah tercatat tiga ikatan dan tiga garis lepas. Ia yang mencatatnya. Satu garis untuk satu purnama.
Sementara  lelaki muda yang tampan dan berwajah bersih itu masih di sana, berdiri di sudut kamar sambil berkali-kali melihat ke arah arlojinya. Lelaki itu  muncul sejak dua hari lalu. Kini ia  berjalan mengitari kamar dengan wajah tak sabar, membuat lelaki tua itu merasa terganggu.
"Bisakah kau berhenti mondar-mandir seperti itu? Aku risih!" keluhnya.
"Bagaimana aku tak resah? Kau bersikeras menghalangi tugasku," jawab lelaki muda itu.
"Aku masih butuh sedikit waktu lagi. Kurasa kau sudah memahaminya."
"Sampai kapan? Aku sudah cukup bersabar."
"Aku mohon beri aku tiga hari lagi!"
"Aku sudah memberimu  waktu. Kau  sudah terlambat dua hari," sambungnya kesal.
"Tapi aku masih menunggu mereka datang. Mungkin besok pagi," jawab lelaki tua.
"Kau terlalu berharap Pak Tua. Menurutku kau  ini lelaki bodoh yang keras kepala! Mereka bahkan tak ingat masih memilikimu di sini. Aku sudah katakan itu berkali-kali!"
"Aku tak pernah menanyakan pendapatmu!"
"Kebebalanmu itu merepotkanku Pak Tua." Lelaki muda itu mengeluh.
 "Aku hanya minta tiga hari. Aku janji setelah itu kau boleh lakukan  apa saja padaku. Tapi tolong jangan ganggu aku sekarang ini!" Lelaki tua itu mulai meninggikan nada suaranya. Ia menatap tajam pada lelaki muda itu, memohon pengertian.
Lalu pintu kamar terbuka. Seorang gadis memasuki kamar. Wajahnya gelisah.
"Ada apa Pak Hans? Kenapa bapak berteriak-teriak?" Gadis  itu tampak cemas. Ia melihat ke sekeliling kamar. Tak ada siapa pun. Lelaki tua yang dipanggil Hans itu menggelengkan kepalanya.
"Aku baik-baik saja Asri." Gadis bernama Asri itu menghela nafas. Akhir-akhir ini ia memang sering mendengar Hans bicara sendiri. Ia hanya berpikir bahwa Hans mulai pikun,
"Baiklah. Tapi sekarang sudah waktunya istirahat Pak. Mari kubantu naik ranjang." Asri lalu mendorong kursi roda. Dipapahnya tubuh Hans hingga duduk  di ranjangnya.
"Aku mau berdoa dulu," kata Hans. Asri pun sigap membantu Hans melakukan rutinitasnya itu. Disangganya punggung Hans dengan setumpuk bantal agar ia mendapat posisi yang nyaman. Lalu selama beberapa menit ditungguinya lelaki itu berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Selesai membuat tanda salib, Asri membantu membaringkan tubuh lelaki itu ke ranjang. Lalu diselimutinya perlahan dengan selimut tebal..
 "Asri bagaimana dengan anak-anakku? Adakah kabar dari mereka kapan mereka bisa mengunjungiku?" tanya Hans. Sebuah pertanyaan yang entah sudah yang keberapa kali dilontarkannya pada perawat setianya itu.
"Belum ada Pak Hans, kita tunggu saja ya.." jawab Asri sambil tersenyum.
"Menurutmu apakah mereka baru akan datang kalau aku sudah mati?" tanya Hans lagi.
"Saya yakin mereka akan datang Pak. Dan tolong jangan bicara tentang  kematian.  Selamat istirahat Pak Hans." Asri menepuk tangan lelaki tua itu dengan sabar. Sebelum keluar kamar, gadis itu menarik korden hingga menutup bulan bundar di luar jendela. Hans melemparkan pandangannya ke sudut kamar. Lelaki muda yang menjengkelkan itu sudah menghilang.  Lalu perlahan ia mengatupkan matanya.
Pagi berikutnya, Hans kembali memandang keluar jendela. Ia berharap ketiga anaknya  yang lama dirindukannya itu muncul dari jalan depan gedung panti ini.  Lalu ia akan mendengarkan mereka bercerita tentang keseharian masing-masing, tentang karir yang bagus, kehidupan yang layak, dan hal-hal lain yang menyenangkan. Ia tahu mereka telah bahagia dan sukses. Seulas senyum pun mengembang di bibir lelaki tua itu.
Semasa mudanya,  uang menjadi hal yang mudah ia berikan pada ketiga anaknya. Bahkan ia juga mengira uang bisa membeli kebersamaan mereka. Ia  sangat sibuk mengumpulkan uang hingga lupa bahwa ketiga anaknya membutuhkan keberadaannya. Ia terlambat menyadari itu saat  ketiga anaknya mulai menjauh. Tembok tinggi pun terbangun menjadi sekat yang sulit ditembus. Ketiga buah hatinya kehilangan rasa rindu padanya. Saat tiba mereka dewasa dan sukses, mereka mulai asyik dengan dunia mereka masing-masing. Sama persis seperti yang ia lakukan di masa muda dulu.
Ada rasa perih yang menyayat saat mengingat  kesendiriannya kini. Istrinya  telah lebih dulu berpamit untuk pulang kepada Penciptanya. Sementara ia masih harus menjalani sisa waktunya untuk mengenang segalanya sendirian. Saat ini ia hanya bisa  berharap  ketiga anaknya datang menjenguknya. Delapan belas purnama telah berlalu sejak mereka mengantarnya ke panti ini. Tak ada satu pun dari ketiga anaknya mengunjunginya kembali.
"Waktumu dua hari lagi." Tiba-tiba lelaki muda tampan itu muncul. Wajah tampannya jadi terlihat menyebalkan.
"Aku tahu," sahut Hans dengan kesal.
"Kamu masih belum percaya dengan ucapanku? Jangan terlalu tolol. Mereka sudah tak punya waktu mengurusi lelaki jompo sepertimu."
"Pergilah! Biarkan kuhabiskan waktuku sendirian!" teriak Hans lagi. Lelaki muda berwajah bersih itu mencibir.
"Perawatmu itu justru lebih setia padamu daripada anak-anakmu sendiri", katanya.
 "Pergilah! Kalau kau tak segera pergi, aku akan minta perpanjangan waktu lagi. Dan kau tak akan segera menyelesaikan tugasmu." Hans berseru lagi.
"Kau mengancamku Pak Tua? Kau pikir kau ini siapa?. Tidakkah kau paham bahwa selama ini aku hanya kasihan padamu?" Lelaki muda itu meninggikan nada suaranya lagi.
"Kau menyebalkan sekali!" umpat Hans.
"Bapak bicara dengan siapa?" tanya Asri yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Gadis itu membawa semangkok bubur ayam..
"Tak ada Sri. Aku hanya...lapar," sambung Hans setelah melihat bubur ayam yang masih mengepul itu. Asri pun tersenyum. Lalu gadis itu  mulai menyuapinya dengan sabar. Sesendok demi sesendok bubur ayam itu pun berpindah ke perut Hans. Saat tiba suapan yang terakhir Hans baru sadar bahwa lelaki muda berwajah bersih itu telah menghilang lagi.
Hingga hari terakhir yang dijanjikannya dengan lelaki muda itu, tak ada satu pun anaknya yang  datang mengunjunginya. Hans pun menelan kekecewaannya sendirian.  Ia berjuang keras untuk bisa  menerima kenyataan bahwa mereka telah melupakannya. Mereka sengaja meninggalkannya di panti ini. Dipandangnya salib yang tergantung di atas ranjangnya. Seperti inikah rasanya saat Yesus merasa ditinggalkan Bapanya? Pahit sekali. Hans pun mendesah pasrah, membiarkan genangan air di sudut matanya turun perlahan membasahi pipi keriputnya.
"Kau tak punya waktu lagi Pak Tua. Anak-anakmu tak mempedulikanmu lagi. Kini biarkan aku menyelesaikan tugasku." Lelaki muda itu tiba-tiba telah berdiri di hadapannya.
"Sebentar.." Hans mencegah lelaki muda berwajah bersih itu menjamahnya.
"Apa lagi?" Lelaki muda itu semakin tak sabar.
Hans  tak menjawab. Ia  mengayuh kursi rodanya menuju lemari kecil. Ditariknya sebuah laci, lalu dikeluarkannya sebuah map berisi dokumen yang selama ini disimpannya rapat. Diraihnya handphone dan mulai memanggil seseorang.
Satu jam kemudian, Asri mengantarkan seorang lelaki berjas hitam masuk ke dalam kamar Hans.
"Selamat siang Pak Hans. Sudah siap dengan dokumennya?" sapa lelaki necis itu ramah. Hans  mengangguk lalu dipanggilnya Asri yang berniat  meninggalkan kamar.
"Asri,  duduklah di sini bersama kami." Meskipun sedikit heran,  Asri  menuruti kata-kata lelaki tua itu.. Gadis itu mengambil tempat duduk di sebelah kursi roda.
"Aku sudah tahu kepada siapa warisanku akan kuserahkan." Hans menoleh pada Asri sambil tersenyum. "Asri yang akan menerimanya," lanjutnya. Asri terperanjat. Lelaki berjas hitam itu pun terbelalak heran.
 "Apakah Anda sudah memikirkannya baik-baik? Ingat, Anda punya tiga orang putra yang lebih berhak atas warisan Anda Pak." Lelaki berjas hitam itu mengingatkan.
"Aku tahu  siapa yang lebih pantas," jawab Hans mantap.  Akhirnya lelaki berjas hitam itu pun menuruti seluruh permintaan lelaki tua itu. Seluruh harta milik Hans  akan menjadi milik Asri, perawat setia yang peduli pada lelaki itu.
Lalu setelah semua dokumen selesai ditandatangani, Hans menoleh pada lelaki muda yang berdiri di sebelahnya, sosok lelaki muda berwajah bersih yang tak terlihat siapapun selain dirinya.
"Lakukan sekarang," kata Hans pasrah.
"Baik Pak Tua. Kita pergi sekarang." Lelaki muda tampan itu mengulurkan tangannya. Hans menyambutnya. Lalu mereka pun berjalan beriringan meninggalkan kamar itu.
Beberapa menit kemudian Asri  terisak sedih. Hans terkulai  di atas kursi rodanya. Matanya tertutup, dadanya berhenti berdetak, namun wajahnya terlihat bahagia.  Tiga hari setelah purnama ke delapan belas, lelaki muda berwajah bersih, sang malaikat penjemput nyawa itu  akhirnya selesai menjalankan tugasnya.
*dimuat dalam Antologi Cerpen Dari Mijil ke Kali Progo, Digna Pustaka Jogya, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H