"Kau menyebalkan sekali!" umpat Hans.
"Bapak bicara dengan siapa?" tanya Asri yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Gadis itu membawa semangkok bubur ayam..
"Tak ada Sri. Aku hanya...lapar," sambung Hans setelah melihat bubur ayam yang masih mengepul itu. Asri pun tersenyum. Lalu gadis itu  mulai menyuapinya dengan sabar. Sesendok demi sesendok bubur ayam itu pun berpindah ke perut Hans. Saat tiba suapan yang terakhir Hans baru sadar bahwa lelaki muda berwajah bersih itu telah menghilang lagi.
Hingga hari terakhir yang dijanjikannya dengan lelaki muda itu, tak ada satu pun anaknya yang  datang mengunjunginya. Hans pun menelan kekecewaannya sendirian.  Ia berjuang keras untuk bisa  menerima kenyataan bahwa mereka telah melupakannya. Mereka sengaja meninggalkannya di panti ini. Dipandangnya salib yang tergantung di atas ranjangnya. Seperti inikah rasanya saat Yesus merasa ditinggalkan Bapanya? Pahit sekali. Hans pun mendesah pasrah, membiarkan genangan air di sudut matanya turun perlahan membasahi pipi keriputnya.
"Kau tak punya waktu lagi Pak Tua. Anak-anakmu tak mempedulikanmu lagi. Kini biarkan aku menyelesaikan tugasku." Lelaki muda itu tiba-tiba telah berdiri di hadapannya.
"Sebentar.." Hans mencegah lelaki muda berwajah bersih itu menjamahnya.
"Apa lagi?" Lelaki muda itu semakin tak sabar.
Hans  tak menjawab. Ia  mengayuh kursi rodanya menuju lemari kecil. Ditariknya sebuah laci, lalu dikeluarkannya sebuah map berisi dokumen yang selama ini disimpannya rapat. Diraihnya handphone dan mulai memanggil seseorang.
Satu jam kemudian, Asri mengantarkan seorang lelaki berjas hitam masuk ke dalam kamar Hans.
"Selamat siang Pak Hans. Sudah siap dengan dokumennya?" sapa lelaki necis itu ramah. Hans  mengangguk lalu dipanggilnya Asri yang berniat  meninggalkan kamar.
"Asri,  duduklah di sini bersama kami." Meskipun sedikit heran,  Asri  menuruti kata-kata lelaki tua itu.. Gadis itu mengambil tempat duduk di sebelah kursi roda.