Mohon tunggu...
Tan Triesia
Tan Triesia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Hobi membaca buku dan menonton film

Selanjutnya

Tutup

Politik

Media Sosial sebagai Wahana Pencitraan Politik

26 Desember 2024   12:00 Diperbarui: 26 Desember 2024   12:13 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkembangan teknologi terutama dalam bidang informasi telah semakin maju. Dunia memasuki era dimana segala aspek kehidupan tidak terlepas dan tergantung pada digitalisasi. Kemajuan teknologi dan digitalisasi ini berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang politik. Teknologi, terutama internet dan media sosial, telah mengubah cara-cara dalam politik dari konvensional menjadi modern. Informasi mengenai isu-isu politik dapat tersebar dengan cepat ke masyarakat luas. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses politik dan diskusi publik pun meningkat. Tak hanya perubahan yang terjadi dari sisi masyarakat, namun juga terjadi transformasi pada politisi dan partai politik. Di bawah pengaruh internet, media sosial telah menjadi salah satu alat yang digunakan dalam politik Indonesia. Mereka tidak lagi harus bergantung sepenuhnya pada penggunaan media tradisional agar audiens menerima pesan mereka. Media sosial telah muncul sebagai komponen penting dalam strategi pemasaran politik karena cakupannya yang luas dan potensi untuk interaksi langsung dengan pemilih. Pada awalnya, tujuan citra politik di media sosial terutama untuk mempromosikan citra yang baik, kini telah berkembang menjadi sarana yang lebih canggih untuk menargetkan opini publik. Namun, pencitraan politik juga menciptakan tantangan, terutama terkait dengan polarisasi politik dan tingkat demokrasi.

Media sosial politik lebih dari sekadar menampilkan seorang politisi atau partai dalam cahaya terbaik mereka, tetapi ini tentang sesuatu yang lebih termasuk dalam pengelolaan narasi, pengaturan isu, dan penerapan algoritma digital dalam mencari pemilih yang ditargetkan. Salah satu cara umum yang digunakan adalah penyampaian pesan melalui iklan berbayar. Politisi dan partai politik menggunakan media sosial seperti Tiktok, Facebook, Instagram, dan X untuk menempatkan iklan yang dirancang secara kreatif untuk menarik pemilih. Dengan menggunakan data demografis dan preferensi, iklan dapat diarahkan pada kelompok pemilih tertentu sesuai dengan usia, lokasi, dan minat. Iklan politisi atau partai politik seringkali memiliki tujuan yang diinginkan untuk memperkuat beberapa citra positif dari para politisi atau partai-partai tersebut serta menjual ide-ide persuasif atau program unggulan yang mereka tawarkan.

Konten-konten seperti gambar, meme, dan video khusus telah mendapatkan banyak perhatian di media sosial. Untuk menampilkan karya mereka dalam bentuk yang lebih menarik, politisi dan partai politik sering membuat video pendek yang menunjukkan kegiatan mereka seperti mengadakan pertemuan dengan warga, perjalanan kerja, dan bahkan tujuan yang ingin mereka capai. Konten visual berupa video semacam itu dibuat dengan tujuan untuk mempermudah penyebaran dan memperluas jangkauan pesan mereka. Video yang disebut sebagai "behind the scene" atau video motivasional menampilkan keseharian politisi dalam kegiatan mereka untuk membentuk ikatan yang dekat dengan rakyat. Di Indonesia, politisi cenderung menyewa influencer juga untuk mempromosikan diri mereka kepada publik. Influencer yang berpengaruh di media sosial sangat penting dalam komunikasi politik untuk meningkatkan citra politisi kepada para pengikut mereka. Jaringan influencer atau bahkan seorang selebriti dapat dimanfaatkan sebagai pengikut potensial bagi seorang politisi melalui promosi atau endorsement karena banyak advokat yang mendukung mereka.

Di media sosial, tagar yang populer terbukti efektif dalam menyebarluaskan informasi dan meningkatkan keterlibatan dalam diskusi publik. Tagar sering digunakan oleh politisi dan partai politik untuk mengarahkan diskusi pada topik yang mereka anggap relevan secara politik. Selain itu, mereka juga membentuk gerakan sosial online seperti petisi atau kampanye digital yang memerlukan keterlibatan masyarakat. Melalui ini, para politisi dan partai politik seolah-olah mencoba menciptakan kesan bahwa mereka "mendengar suara rakyat" dan mendukung isu-isu relevan dan terkini. Sehingga, masyarakat memberikan pandangan positif terhadap politisi dan partai politik tersebut. Popularitas dan citra positif dari masyarakat terhadap politisi dan partai politik tersebut pun meningkat. Hal ini juga dilakukan untuk menciptakan persepsi bahwa politisi dan partai politik tersebut berkomitmen menciptakan perubahan dan mengedepankan kepentingan rakyat. Cara ini juga diterapkan sebagai alat untuk mendapat dukungan publik. Apabila gerakan sosial seperti petisi dan kampanye digital ini banyak diikuti oleh orang, maka politisi dan partai politik dapat memperkuat klaim bahwa mereka mendapat dukungan dari masyarakat luas. 

Framing atau membingkai suatu isu muncul pula salah satu cara yang paling ampuh dalam pembentukan citra politik di media sosial. Seorang politisi dan partai politik memiliki kekuatan untuk memengaruhi persepsi publik tentang suatu isu, misalnya menyoroti narasi tertentu dari suatu kebijakan atau peristiwa yang menguntungkan mereka. Perubahan narasi ini memungkinkan politisi untuk mengatur bagaimana isu tertentu dipersepsikan oleh publik sesuai keinginan mereka, dengan tujuan untuk selalu mengendalikan narasi dalam istilah yang menguntungkan mereka. Dengan perubahan narasi ini akan memengaruhi pandangan masyarakat terhadap mereka atau menghindari kontroversi yang tidak diinginkan. Hal ini sejalan dengan Teori Framing yang menjelaskan bagaimana pencitraan politisi dan partai politik dapat mengatur cara pandang masyarakat mengenai isu tertentu. Dengan menggunakan cara tertentu untuk mengemas suatu isu, politisi dan partai politik dapat menggiring opini publik, baik itu positif, negatif, atau netral. Cara ini juga digunakan sebagai alat dalam menanggapi serangan atau kritik dari lawan atau oposisi politik. Politisi dan partai politik dapat melemahkan atau mengalihkan isu yang kontroversial tentang diri mereka, menjadi sebuah hal yang menguntungkan. 

Berbagai dampak muncul dari pencitraan politik di media sosial terhadap masyarakat, baik itu  dampak positif maupun negatif.  Dari sudut pandang tertentu, pencitraan politik menawarkan keuntungan untuk masyarakat dengan meningkatkan keikutsertaan dalam urusan politik serta mempermudah mendapatkan informasi. Tetapi di sisi yang berlawanan, hal ini bisa juga membawa akibat buruk termasuk perpecahan dan rasa tidak percaya pada dunia politik.  Peningkatan keterlibatan dalam politik adalah salah satu hasil baik yang datang dari penggunaan media sosial untuk membangun citra politik. Dengan menggunakan media sosial orang-orang dapat dengan mudah menemukan info tentang politik dan berpartisipasi dalam pembicaraan.  Ketika politisi dan  partai politik menggunakan media sosial, mereka bisa berkomunikasi dengan lebih banyak pemilih termasuk mereka yang sebelumnya tidak pernah atau sulit dijangkau. Ini membuka pintu bagi orang-orang untuk turun tangan langsung dalam dunia politik sehingga mereka bisa membuat pilihan yang lebih bijak ketika waktu pemilihan tiba.

Media sosial memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi politik dengan cepat dan mudah, termasuk berita terbaru serta apa yang dijanjikan oleh partai atau politisi.  Karena bisa mengakses informasi ini dengan lebih mudah, masyarakat menjadi lebih  mengerti apa saja kebijakan dan pendirian politik dari politisi yang ingin menjadi pemimpin, serta dapat memutuskan apakah mereka sesuai dengan apa yang masyarakat percayai dan butuhkan. Platform di web juga berperan besar dalam membuat lebih banyak orang sadar akan politik.  Dengan membicarakannya di situs sosial, orang-orang bisa benar-benar memahami apa yang terjadi dengan politik dan isu-isu sosial yang sedang terjadi. Para politisi bersama dengan partai mereka seringkali memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk memberitahu masyarakat tentang kebijakan yang mereka rencanakan. Hal ini berkontribusi pada peningkatan pemahaman masyarakat terhadap dunia politik.

Tetapi penting juga untuk memperhatikan beberapa akibat buruk yang muncul.  Polarisasi politik menjadi salah satu akibat buruk dari pencitraan politik di media sosial. Ketika orang-orang menggunakan media sosial untuk menunjukkan dukungan politik mereka secara berlebihan, seringkali membuat pendirian mereka terhadap ide-ide tertentu menjadi lebih keras dan mendorong terjadinya fenomena echo chamber. Echo chamber merupakan sebuah fenomena ketika seseorang bersikap defensif terhadap pendapatnya sendiri. Mereka hanya mendengar pendapat yang sejalan dengan pandangan mereka. Ini berakibat pada terbaginya masyarakat menjadi berbagai kelompok yang sulit untuk berkomunikasi dengan kelompok lain dan berpotensi terjadinya perdebatan.. Seperti halnya dalam Teori Identitas Sosial, dimana pencitraan politik seringkali dilakukan untuk menciptakan citra yang selaras dengan kelompok tertentu. Hubungan emosional antara politisi atau partai politik dengan kelompok masyarakat tertentu dapat terbentuk dengan mudah, dan citra mereka menjadi positif di mata kelompok tersebut. Identitas politik dan hubungan tersebut berpengaruh pada dukungan dan pemilihan politisi atau kandidat dan partai politik dari seorang individu. Selain itu, media sosial seringkali dijadikan alat untuk menyebarkan kabar bohong dan misinformasi. Upaya menciptakan citra politik melalui tindakan memelintir fakta atau menyebarluaskan kabar yang salah dapat berdampak buruk pada pandangan masyarakat. Kesalahan dalam informasi dapat tersebar dengan cepat ke masyarakat luas, melebihi upaya usaha menyebarkan informasi yang sebenarnya. Hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat pada demokrasi dan membuat perbedaan pendapat menjadi lebih tajam.

Demokrasi Indonesia sangat dipengaruhi oleh pencitraan politik di sosial media. Pencitraan politik yang positif dan berdasarkan fakta dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas politisi dan memperkuat demokrasi. Tetapi pencitraan politik yang berlebihan, manipulatif, dan tidak konsisten dengan tindakan nyata dapat merusak kualitas demokrasi dan memperburuk polarisasi politik. Akses informasi yang mudah dan tidak terbatas membuat masyarakat menjadi lebih leluasa dalam mengamati dan mengevaluasi kinerja politisi dan partai politik. Karena rakyat dapat memberi tekanan kepada pejabat yang tidak bertanggung jawab atau melanggar janji, demokrasi menjadi lebih baik.

Namun, pencitraan politik dapat merusak kualitas demokrasi jika dilakukan dengan cara manipulatif dan hanya berfokus pada citra tanpa substansi yang jelas. Demokrasi yang sehat seharusnya bergantung pada keputusan yang cerdas dan informasi yang akurat, bukan hanya gambar atau pencitraan yang sempurna. Jika pemilih hanya memilih politisi berdasarkan citra mereka di sosial media tanpa mempertimbangkan rekam jejak atau kebijakan yang nyata, keputusan politik yang dibuat akan kurang berkualitas. Pencitraan politik di sosial media dapat memperburuk polarisasi politik, terutama jika politisi atau partai politik membuat cerita yang memperkuat perbedaan antara kelompok sosial atau politik. Ini dapat menyebabkan ketegangan sosial dan menghambat percakapan antar kelompok. Pencitraan politik, di sisi lain, dapat mendekatkan politisi dengan rakyat, meningkatkan komunikasi, dan memperkuat persatuan masyarakat jika digunakan dengan bijak. 

Lanskap politik Indonesia telah diubah secara signifikan oleh citra politik yang muncul di sosial media. Strategi politik yang menggunakan teknik seperti iklan berbayar, konten visual, penggunaan influencer, dan framing isu ini dapat meningkatkan partisipasi politik dan kesadaran masyarakat, memperkuat demokrasi. Namun, efek buruk seperti polarisasi politik, misinformasi, dan manipulasi narasi berpotensi besar untuk terjadi. Seiring dengan maraknya pencitraan politik di Indonesia, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan edukasi politik dan literasi digital, agar dapat memilah informasi dan politisi yang tepat untuk membawa perubahan bagi politik di Indonesia. Diharapkan pencitraan politik oleh politisi dan partai politik ini tidak mengaburkan fokus terhadap isu atau masalah konkret yang dihadapi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, untuk mewujudkan politik Indonesia yang tetap sehat dan mengedepankan kepentingan masyarakat, politisi dan partai politik harus menggunakan media sosial dengan bijak, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, dan menjaga integritas demokrasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun