Baru-baru ini, 4 Desember 2021 terjadi bencana alam yakni Erupsi Gunung Semeru, dimana hingga tanggal 11 Desember 2021 tercatat 46 orang meninggal dunia akibat erupsi Gunung Semeru ini, 9 orang menghilang, 18 orang luka berat, dan 11 orang luka ringan. Data tersebut bersumber dari nasional kompas per 11 Desember 2021.
Apabila dilihat dari berbagai ulasan dan berita yang ada saat ini, memang banyak yang mengatakan bahwa warga Indonesia yang tinggal di dekat kawasan Gunung Semeru itu kurang aware atas erupsi ini, seolah-olah mereka menganggap bahwa erupsi ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Sungguh ironis bukan, bila tinggal di daerah yang beresiko terjadi bencana alam seperti itu harusnya mereka aware dan memiliki budaya risiko catastrophic akan hal ini, sehingga punya pengetahuan yang cukup untung mengantisipasinya.
Bila diamati lebih intens, kurangnya sosialiasi dan edukasi dari pihak pemerintah juga turut menyebabkan hal ini terjadi, mereka kurang aktif dalam mengkampanyekan budaya risiko catastrophic ini menyangkut bencana alam ke daerah-daerah yang punya risiko ini, seperti di desa-desa kawasan gunung, kaki gunung, bukit, pinggir pantai, dan semacamnya. Untungnya kesigapan pemerintah untuk mengatasi bencana kali ini dapat terbilang cukup cepat pelaksanaannya, walaupun masih terdapat korban jiwa yang tidak sedikit.
Budaya Risiko & Manajemen Risiko Atas Risiko Catastrophic
Erupsi Gunung Semeru kali ini termasuk sebagai salah satu kategori risiko, yakni Risiko Dasar yang sifatnya Catastrophic (berskala besar). Pada dasarnya ada 3 jenis kategori risiko utama, yaitu :
- Risiko Dasar, yakni risiko yang berkaitan dengan bencana alam dengan skala besar (Catastrophic), namun jarang terjadi tetapi kerugian yang ditimbulkannya sangat besar. Contohnya tsunami, gempa bumi, erupsi, dan lain-lain.
- Risiko Murni, yakni suatu peristiwa yang terjadi menimbulkan kerugian dan risiko tersebut dapat dialihkan / transfer. Contohnya kebakaran, huru-hara, dan kecelakaan.
- Risiko Spekulatif, yakni suatu peristiwa yang terjadi dapat menimbulkan kerugian dan risiko tersebut tidak dapat dialihkan ke pihak lain, dengan kata lain risiko itu ditanggung sendiri. Contohnya investasi di saham, pemasaran produk baru, dan lain-lain.
Tentu saja Erupsi Gunung Semeru ini sangat merugikan bagi warga yang terdampak dan pemerintah, total warga yang harus diungsikan dan diberikan bantuan hingga mencapai 9.118 orang per 11 Desember 2021. Memang sifat dasar risiko ini tidak bisa dihilangkan karena menyangkut dengan peristiwa alam, maka kita sebagai manusia yang notabenenya "Makhluk Sosial" harus saling membantu sesama yang kesulitan seperti pada Erupsi kali ini, dengan melakukan donasi untuk warga yang terdampak tersebut.
Sementara dari sisi Manajemen Risiko, warga sekitaran wilayah Gunung Semeru ini menurut beberapa sumber dikatakan kurang aware dan sigap dalam bencana kali ini, minimnya pengetahuan dan kewaspadaan mereka juga menjadi hal yang tidak bisa diabaikan bagi masyarakat dan Pemerintah. Mereka bahkan ada yang menganggap hal ini sepenuhnya tanggung jawab pemerintah, sungguh ironis sekali bukan. Bahkan ada juga yang tidak tau indikator terjadinya suatu bencana tertentu.
Seharusnya kita sebagai masyarakat yang tinggal dekat dengan kawasan beresiko bencana alam, harus mulai menanamkan budaya risiko mulai dari diri kita sendiri, lalu kepada teman-teman kita, orang tua kita, anak cucu kita, dan orang lain. Banyak sekali informasi tentang bagaimana menanggulangi bencana alam tertentu, termasuk bagaimana harus bertindak saat bencana itu terjadi. Namun sayangnya masyarakat kita masih terbilang menyepelekan persoalan ini. Maka mulai dari sekarang kita harus menumbuhkan dan mengencangkan budaya risiko kita akan Risiko Catastrophic ini.
Risk Treatment Untuk Erupsi Gunung Semeru
Berdasarkan kutipan hasil wawancara dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, tahapan-tahapan tanggap darurat bencana dapat diuraikan sebagai berikut :
- Pra Bencana
Dalam tahap pra bencana, penanggulangan bencana dibagi menjadi situasi saat tidak terjadi bencana dan situasi potensi terjadinya bencana. Dalam situasi tidak terjadi bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari perencanaan penanggulangan bencana; pengurangan risiko bencana; pencegahan; pemanduan perencanaan pembangunan; pelaksanaan serta penegakan rencana tata ruang; pendidikan dan pelatihan; persyaratan analisis risiko bencana; dan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. Sedangkan dalam situasi potensi terjadinya bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana. Hal ini sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. - Tanggap Darurat
Berdasarkan hasil wawancara dengan BPBD Kabupaten Lumajang, pada saat terjadinya erupsi Gunung Semeru, BPBD langsung menerapkan Standard Operating Procedure (SOP). BPBD sudah mempunyai catatan Gunung Semeru, sehingga ketika terjadi erupsi berubah menjadi rencana operasi. Hal tersebut yang digunakan sebagai dasar menangani masalah Gunung Semeru untuk manajemen bencana Gunung Semeru dengan melihat record injeksi. Langkah-langkah yang dilakukan oleh BPBD Kabupaten Lumajang dalam menangani masalah meletusnya Gunung Semeru yaitu :Â- Pertama, Membuat Posko untuk tempat evakuasi bagi para pengungsi yang terdampak erupsi guguran awan panas Gunung Semeru. Salah satunya berada di lapangan yang berada di Dusun KamarKajang, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro.Â
- Kedua, BPBD Bagian Administrasi secara otomatis membuat surat darurat bencana yang harus ditandatangani oleh Bupati Kabupaten Lumajang.Â
- Ketiga, membuat Surat Komando Tanggap Darurat (SKTT). Bupati Kabupaten Lumajang menunjuk Dandim (Komandan komando Distrik Militer) sebagai komandan, Kapolres (Kepala Kepolisian Resor) sebagai Wakil, dan BPBD sebagai sekretaris. Keempat, Dengan adanya SKTT, lintas sektoral baik vertikal dan horizontal sesuai dengan 3 pilar yaitu pemerintah, dunia usaha atau swasta, dan masyarakat yang saling bahu membahu, contohnya seperti Dinas Kesehatan membuat posko, Dinas Sosial dan PMI membuat dapur umum, relawan bergeser membantu penanganan erupsi yang terpusat di posko utama yaitu di Dusun Kamar Kajang sesuai dengan record injeksi. Kemudian akan dilakukan pembagian tugas kepada pihak-pihak yang bersangkutan seperti menggeser tempat sampah dan toilet portable, sedangkan TNI dan Polri bergerak untuk evakuasi korban bencana.
BPBD juga memberikan bantuan kepada korban bencana, seperti tanda pengungsian, beras, mie instan, minyak goreng, lauk pauk, selimut, matras, dan lain-lain. Pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang, ditambahkan bantuan berupa masker, handsanitizer, dan disinfektan. Tidak hanya BPBD, tetapi berbagai institusi pemerintah, dan swasta, bahkan perseorangan juga memberikan bantuan berupa makanan, masker, air putih dan lain-lain.
Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, tanggap darurat bencana merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan pada saat terjadi bencana untuk menangani dampak yang ditimbulkan dari adanya bencana tersebut. Dalam tahap saat tanggap darurat, penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, sumber daya, perlindungan terhadap kelompok rentan, penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, penentuan status keadaan darurat bencana, pemenuhan kebutuhan dasar, dan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
- Pasca Bencana
Pada tahap ini, penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan dengan cara rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, Rehabilitasi merupakan upaya perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Sedangkan, Rekonstruksi merupakan pembangunan kembali seluruh sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik yang terdapat pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama yaitu tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, tegaknya hukum dan ketertiban, sosial dan budaya, serta bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Saat ini pelaksanaan relokasi untuk mengungsikan warga meliputi 3 desa berikut :- Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang
- Desa Curah Kobokan, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang
- Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang
Masyarakat, terutama yang tinggal di daerah yang beresiko terkena bencana alam harus ditanamkan budaya risiko atas risiko yang bersifat catastrophic ini, karena kerugiannya sangat besar baik dari segi korban jiwa, maupun finansial. Maka dari itu perlu peran pemerintah yang lebih aktif untuk mewujudkan hal ini, serta edukasi terutama kepada generasi muda untuk mendapatkannya di bangku sekolah. Mari bangun dan kencangkan budaya risiko mulai dari diri kita sendiri, teman-teman kita, orang tua kita, anak cucu kita, dan orang lain supaya dapat menekan dampak yang muncul dari risiko ini !