Plek! Mati listrik. Sekejap tak ada yang bisa dilihat. Bahkan jemari pun tak terjangkau oleh indera mata. Di antara kita, seringkali ada yang menanggapinya dengan panik. Segera mencari sumber cahaya yang tersimpan entah di mana. Di laci, atas lemari, atau tak tahu berada di sebelah mana. Lilin, korek api, handphone, senter atau yang lainnya. Segera beranjak hingga terantuk meja, tersandung kursi. Tak ada yang salah melakukannya, tapi untuk sesaat saja, coba menenangkan diri dan hati. Gelap. Ya, memang gelap. Tapi yakinlah, gelap yang di awal kita merasakannya teramat gulita, ternyata tak sekelam kita rasa. Tatkala kita mengizinkan mata kita berangsur mengadaptasi, walau teramat minim ternyata masih ada cahaya. Namun cukuplah untuk sekedar mencari jalan di mana sumber cahaya yang lebih nyata berada.
Menghadapi masalah atau musibah seringkali sangat tepat jika ditamsilkan seperti kita dilingkupi gelapnya gulita yang tiba-tiba. Seakan tak ada pegangan, entah apa yang mesti dilakukan. Yang penting bereaksi walau boleh sangat jadi reaksi kita hanya merugikan. Seperti tiba-tibanya mati listrik di badan malam, begitu pula musibah atau masalah yang datang bagai gelombang pada kita. Begitu terasa mendadak, walau kita sudah mengantisipasi dan menginsafinya sejak lama. Tapi ketika ia telah sampai menyapa, hati mendefinisikannya dengan kata ‘semerta-merta’ atau ‘tiba-tiba’. Tentunya ini karena betapa sangat tidak inginnya kita mengalami. Lemas, tak berdaya, marah, sedih, penyesalan, semua terkombinasi dalam hati yang sedang mengiba. Berat. Ya, memang berat. Tapi cobalah menenangkan diri sejenak. Biarkan hati mengadaptasi kondisi yang telah dicipta Sang Ilahi. Hingga beradaptasi, untuk kemudian mampu melihat cahaya walau sekedar secercah saja. Tapi sudah teramat cukup untuk sekedar mengundang akal lebih menjernih dan hati yang berangsur membersih.
Pernah suatu ketika Saya akan melakukan perjalanan malam melintasi lebatnya rimba di sebuah punggung gunung.
“Kita akan melewati lembahan itu dan mendaki gunung sampai ke puncakannya.”, kata sang kawan.
Menatap arah yang ditunjuknya, tergumam dalam hati, “Serius nih?” Karena yang dihadapi di depan sana hanyalah gelap, gulita dan kelam. Bahkan Saya tidak bisa mendefinisikan lekuk apa saja yang ada di lembahan gunung yang terselimuti malam. Siluet pepohonannya pun tak nampak lagi. Menyatu dengan gulitanya malam. Langkah pertama diayun, disusul oleh langkah lainnya. Makin panjang kaki melangkah, gulita memang tetap ada. Tapi tak segulita seperti yang terdefinisi di awal sebelum melangkah. Dalam gelapnya malam, ada cercah-cercah cahaya yang terpantulkan oleh gemintang di atas sana. Sorot-sorot kecil cahaya dari corong senter ternyata teramat cukup untuk menentukan langkah dan tapak untuk menjejak.
Begitu pun dalam hidup kita. Seringkali kita memandang masalah sebagai sesuatu yang berat. Memang berat, tapi yakinlah tak akan seberat seperti yang terpikirkan. Sebuah masalah jika hanya dipikirkan memang akan teramat berat. Ia akan teramat membebani hati dan juga pikiran. Makanya, mulai kikislah beban masalah itu dengan bertindak. Mulailah melangkah menyusuri jalan keluar yang pasti telah disediakan-Nya. Dan boleh sangat jadi, yang kita anggap masalah bukanlah masalah. Bisa jadi ia sekedar fatamorgana yang hendak menguji kita, apakah kita berani melangkah atau sekedar bisa terduduk meratapi. Tertinggal dari laju yang menghendaki kita beranjak.
“Seandainya kesulitan masuk ke dalam suatu lubang, maka kemudahan pun akan mengikutinya karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Karena sesungguhnya dalam kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya dalam kesulitan itu ada kemudahan.” (Dikeluarkan oleh Ath Thobari dalam tafsirnya, 24/496)
*****
Solok, ketika listrik tiba-tiba sirna di tengah malam yang gulita
#nasihatdiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H