Mohon tunggu...
Tanto Dikdik Arisandi
Tanto Dikdik Arisandi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang Muslim. Seorang Suami. Seorang Ayah. Seorang Pencari Jati Diri

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pagi Kota Lebih Pagi Lagi

6 April 2014   23:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:59 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja beberapa saat berjalan meninggalkan masjid, hujan mengguyur tanpa aba-aba. Sekejap, langkah jalan pun berganti jadi berlari. Hari masih teramat dini, bahkan masih ada terdengar suara imam shalat shubuh yang melantunkan ayat suci dari masjid di seberang lembah sana. Berteduh sejenak di selasar kampus, untuk kemudian menengok HP. Belum ada kabar SMS dari sang kawan.


Hari masih teramat dini memang. Tapi nampaknya tidak bagi mereka yang sebagiannya berteduh bersama. Berkemeja rapi berdasi, sepatu kulit mengkilapnya nampak basah terciprati air hujan. Tas ransel menggembung nampak didekapnya erat. Mungkin di dalamnya ada kertas kerja, bahan rapat atau presentasi bisnis, notebook, gadget atau yang sejenis lainnya yang teramat penting jika terkena basahan hujan. Satu, dua, tiga sampai berdelapan orang. Di tempat berteduh lain pun terlihat pemandangan yang tak jauh berbeda. Para peneduh yang sedang mengejar waktu menuju ibukota negara.


Sebuah bus besar berlogokan sebuah Kementerian berhenti di depan kami. Lampu depannya menyorot terang menerangi garis air yang tengah turun menghantam hitamnya aspal jalanan. Beberapa orang nampak bergegas berlari sembari melindungi kepalanya dengan jaket atau tas menyambut pintu bus yang membuka. Tak lama setelah bus berlalu, sebuah mobil minibus membunyikan klakson dan berhenti. Seorang perempuan berblazer terlihat bersusah payah berlari memakai sepatu hak tinggi. Untuk kemudian tenggelam di balik pintu mobil berklakson tadi. Beberapa yang lain nampak sesekali menengok jam di pergelangan tangannya. Wajahnya nampak berharap ada seseorang yang segera menjemputnya. Tak sabar. Merogoh smartphone dari saku celananya, beberapa saat menunggu jawaban, dan kemudian "Dah di mana Lu? Gue dah jamuran nih nunggu Elu di sini. Mana hujan pula!" Klik. Bukannya makin mereda, hujan malah semakin menjadi.


*****


Bogor, di awal tahun yang lampau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun