"Generasi Rebahan" itulah saya menyebutnya, generasi yang masa remajanya dihabiskan dengan mengurung diri di rumah karena pandemik COVID-19. Tidak hanya itu, memasuki masa SMA yang seharusnya mereka menikmati masa putih abu selama tiga tahun bersama teman-temannya di sekolah secara tatap muka, namun dengan adanya pandemic COVID-19 mereka hanya sekitar satu tahun merasakannya, di akhir masa SMA kelas 12.
"Generasi Rebahan" ini memang pada umumnya mereka belajar sambil rebahan di atas kasur, Â di temani gadget atau laptopnya sambil melihat atau mendengarkan gurunya yang cuap-cuap berbusa menerangkan materi mata pelajaran.
Mau bagaimana lagi, demi kesehatan semua terpaksa harus mengkondisikan aktivitas untuk tidak bertemu banyak orang, kalaupun keluar rumah dengan terpaksa juga harus memakai masker yang pada waktu agak sulit untuk didapatkannya.
Saat itu, sekolah agak sulit mengkondisikan pembelajaran jarak jauh yang ideal, apalagi keterbatasan kompetensi guru yang baru menggunakan teknologi pembelajaran jarak jauh, seperti video conference sejenis zoom meeting, google meet, skype dan lain sebagainya, serta fasilitas yang kurang memungkinkan untuk berjalannya pembelajaran daring tersebut secara ideal.
Bisa terbayangkan, untuk pelajaran olah raga saja yang harusnya siswa di lapangan, ini dilakukan di tengah rumah atau garasi mobil masing-masing, difoto atau dibuatkan videonya dan diupload ke Google Class Room (GCR) untuk dinilai oleh gurunya.
Hal yang paling pokok saat itu adalah internet, pembelajaran waktu itu memerlukan internet yang tak terbatas. Baik untuk gurunya atupun untuk siswanya, guru yang menyampaikan materi tentunya harus dibekali dengan internet yang tak terbatas, begitupun dengan siswanya.
Bisa terbayangkan kalau kuota internet mereka terbatas, banyak diantara mereka yang tidak bisa mengikuti pembelajaran, mengerjakan tugas atau hanya untuk mengabsen saja mereka merasa kesulitan. Itu diperkotaan lho! bagaimana jika di pedesaan yang walaupun mereka punya kuota namun signal HP aja kadang-kadang hilang?
Berdasarkan survei yang saya lakukam sendiri, kebutuhan kuota internet untuk mengikuti pembelajaran dengan video conference melalui google meet/zoom meeting atau sejenisnya dalam waktu 1,5 jam (2 Jam pelajaran) dibutuhkan kuota sekitar 1 GB, berarti jika dalam satu hari ada tiga mata pelajaran yang diikuti oleh siswa maka dibutuhkan kuota internet sekitar 3 GB.
Maka sangat wajar kalau banyak siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran daring, atau mengikutinya tidak penuh. Â Guru kesulitan dalam menentukan kebenaran kondisi yang terjadi, jika siswa tidak ikut KBM, tidak mengerjakan tugas, dan tidak melakukan absensi. Jika demikian adanya besar kemungkinan mereka akan memiliki nilai yang lebih rendah di rapornya dibanding siswa yang selalu mengikuti dan mengerjakan tugas yang diberikan.
Oleh karena itu, tidak mungkin bagi seorang guru memberikan nilai yang jelek bagi mereka yang selalu hadir, mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar secara penuh, mengerjakan tugas dan mengikuti penilaian harian dari gurunya. Maka sangat wajar jika nilai rapor bisa gede-gede dibanding yang lainnya.
"Generasi Rebahan" ini adalah generasi yang perlu dimaklum, mereka diperkosa hak remajanya oleh sang COVID-19, pengembalian psikologis supaya normal kembali dalam waktu satu tahun di SMA dirasakan masih kurang.