Kembali pada mitigasi yang sering sahabat saya katakan, mitigasi yang dilakukan atas kejadian di dunia ini adalah sebagai upaya ikhtiar, sebagaimana manusia yang beriman, manusia yang berakal dan manusia yang memiliki cita-cita hidup kedepan untuk lebih baik lagi.
Sudah jelas Tuhan mengatakan bahwa “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mau mengubah dirinya sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Firman Allah ini berlaku bukan untuk kaum Muslimin saja, ini berlaku untuk semua manusia. Upaya sebisa mungkin meraih sesuatu kebaikan serta upaya sebisa mungkin menghindar dari sebuah musibah itu adalah sebuah kewajiban kita. Namun, kalau Allah menetapkan taqdirnya, siapapun kita tidak akan ada yang bisa terhindar dari taqdir Allah. Ini adalah sebuah keimanan yang tidak bisa semua orang mendapatkannya bahkan yang mengaku muslim sekalipun.
Bagi manusia beriman, mitigasi adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana dalam ibadah keseharian kita, orang muslim diwajibkan untuk shalat lima waktu. Itu adalah sebuah mitigasi hidup kita, siapa tahu dalam hitungan menit kedepan nyawa kita diambil oleh Allah SWT.
Dalam shalat sejenak kita kembali menghadap sang kholik, lapor diri terhadap apa yang dilakukan oleh kita dari subuh ke dzuhur, dari dzuhur ke ashar, dari ashar ke maghrib, dari magjrib ke isya dan dari isya ke subuh lagi, sebelum kita kembali selamanya untuk melaporkan semua aktivitas kita selama berada di dunia.
Akhir hidup manusia di dunia adalah kematian, semua orang pasti akan mati, tidak ada seorang pun yang mampu untuk menghindari kematian ini. Bencana gempa besar seperti yang ditakutkan oleh semua orang di Pulau Jawa tentang megatrust sampai sekarang masih misterius. Mungkin itu terjadi pada masa kita, atau masa anak-anak kita atau masa cucu kita, yang jelas misteri itu akan terjadi hanya pada kehidupan pada masa itu saja.
Berbeda dengan kematian, semua orang pasti akan mengalaminya, apakah ia terkena musibah gempa, sakit, meninggal mendadak, atau keadaan apapun yang sudah menjadi takdir Allah SWT.
Gempa saja ada mitigasinya, mengapa kematian kita tidak memiliki mitigasi? Tentunya mitigasi yang tepat adalah mempersiapkan bekal untuk akhirat kelak. Tidak menunda-nunda berbuat kebaikan, karena kematian sangat misterius, kita tidak tahu kapan kematian itu akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H