Orang mungkin memicingkan mata ketika Presiden Jokowi memutuskan untuk menggandeng KH. Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden pada Pemilu Presiden 2019 mendatang. Sinisme dan kekecewaan, sekaligus pandangan sebelah mata, memang tidak bisa dihindari ketika Jokowi memutuskan menggandeng KH. Ma'ruf Amin, ulama keren yang pengetahuan agamanya tidak diragukan lagi.
Beberapa orang yang kecewa tadinya berharap Jokowi memilih Mahfud MD, meski akhirnya bukan itu yang terjadi. Sementara itu ada juga suara yang tidak meragukan kapasitas KH. Ma'ruf Amin sebagai seorang ulama, namun di sisi lain keraguan muncul ketika pembahasan beralih ke usia dan kapabilitas Ma'ruf Amin dalam tata kelola pemerintahan.
Meski ada banyak suara kecewa yang senada, namun Indonesia sebetulnya sudah akrab dengan sepak terjang ulama, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Peran ulama tidak bisa ditepikan begitu saja dalam sejarah Indonesia, dan Ma'ruf Amin bukan orang pertama yang mengemban tugas besar menjaga tata kelola pemerintahan.
Nah, siapa saja sih ulama Indonesia yang pernah berjasa besar dalam sejarah Indonesia? Setidaknya ada empat ulama keren yang berperan besar dalam sejarah bangsa Indonesia, tentu dengan porsinya masing-masing. Tiga dari mereka tercatat tidak pernah terlibat dalam tata kelola pemerintahan, namun jasa-jasanya untuk Indonesia tidak diragukan lagi.
1. Â Â KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Satu yang paling terkenal adalah perhatiannya kepada kaum minoritas Indonesia. Pernah suatu kali Gus Dur menetapkan hari libur di Tahun Baru Imlek, dan juga menetapkan Kong Hu Cu sebagai salah satu agama yang diakui negara. Keduanya adalah bentuk kebijakan Gus Dur yang berjasa menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009.
2. KH. Hasyim Asy'ari
Semasa hidupnya, KH. Hasyim Asy'ari tak pernah tunduk pada penjajah. Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaan 17 Agustus 1945, dia adalah tokoh Islam pertama yang menyatakan bahwa negara Indonesia sudah sah secara Islam. Mengingat Hasyim Asy'ari juga berarti mengingat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, di mana para pejuang Indonesia mati-matian mempertahankan kemerdekaan.