Osamu Dazai adalah sastrawan asal Jepang yang namanya tidak diragukan lagi. Karyanya dikenal seluruh dunia dan saat ini masih dibaca, diulas, dan dibicarakan bahkan jauh setelah kematiannya. Banyak cerita pendek Osamu Dazai yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Salah satunya berjudul "Kisah Anjing Peliharaan" yang terdapat dalam buku "Hidup yang Memalukan" oleh Penerbit Odise.Â
Dalam kisah ini diceritakan seorang pemuda yang menyatakan kebenciannya terhadap anjing. Kebenciannya terhadap hewan ini bermula dari rasa khawatir jika suatu hari salah satu dari anjing-anjing itu akan menyerangnya. Bagi pemuda itu anjing adalah makhluk yang mengerikan sekaligus menjijikan. Ia juga merasa ganjil dengan orang-orang yang memperlakukan anjing seperti keluarganya sendiri dan berkata "Saatnya makan malam," kepada hewan itu.
Osamu Dazai menggambarkan kebencian dan rasa jijik pemuda itu terhadap anjing dengan kata-kata yang sungguh hina. Meski semua itu dapat dipahami sebab alasan kebenciannya masuk akal walau berlebihan. Saat membaca tulisan yang berisi kebencian ataupun rasa jijik dari Osamu Dazai saya merasakan perasaan yang memikat. Seekor anjing bernama Pochi yang dinamai oleh pemuda tersebut adalah seekor anak anjing hitam jelek yang tidak simetris. Bagi pemuda itu Pochi adalah makhluk aneh yang salah paham dengan sikap ramah sang pemuda. Â Akibatnya, Pochi tinggal di pekarangan rumah pemuda itu bersama istrinya selama berbulan-bulan, sedangkan sang pemuda dan istrinya tidak bisa berbuat apa-apa selain memberinya makanan dan atap di bawah lantai rumahnya.
Pochi adalah anjing yang dibuang karena bentuknya yang aneh. Ketika melihat seorang pemuda yang melewati dirinya dengan ramah, anjing ini salah paham mengartikan maksudnya dan malah mengikuti pemuda itu sampai ke rumah. Sikap ramah tersebut padahal sengaja dibuat-buat pemuda itu agar dirinya tidak diserang seekor anjing. Pochi sungguh anak anjing yang kasihan karena tidak mengetahui bahwa dirinya sebenarnya sangat dibenci. Bagaimanapun juga Pochi bertingkah seperti anjing peliharaan. Ia mengikuti pemuda itu ketika pergi keluar. Membuntutinya dari belakang, tanpa tahu bahwa pemuda yang berada di depannya menahan malu dengan anak-anak yang mengejek kondisi hina anjing itu bersama orang tuanya.
Rasa muak datang ketika Pochi diserang penyakit kulit gatal yang menular. Anjing itu semakin hina sampai sang istri tidak tahan dan meminta Pochi untuk dibunuh. Selain itu kedua pasangan iblis ini berencana untuk pindah ke Tokyo. Sang pemuda merasa malu jika teman-temannya di Tokyo melihat anjing aneh seperti Pochi. Pada titik ini saya pikir pemuda itu mulai lunak dan kata-kata penghinaan yang dilontarkan untuk Pochi hanyalah bentuk keangkuhan yang malu-malu dari dirinya. Bagaimanapun Pochi terlalu hina untuk terus hidup dan terlalu menyedihkan untuk mati.
Saya meneteskan beberapa air mata ketika membaca kisah ini. Pemuda itu sangat membenci anjing. Tetapi merawat Pochi meski ia adalah anjing yang jelek. Ketika pemuda itu memutuskan untuk membunuh anjing itu pun saya merasa tidak ada keberatan dengan keputusannya, sebab Pochi sedang menderita. Namun, di akhir cerita saya lebih senang lagi mendapati keputusannya yang tidak jadi meneruskan untuk membunuh Pochi. Meskipun Pochi memang sudah dibunuh tetapi ia tidak mati. Racun yang dimakan Pochi tidak bekerja padanya. Pochi adalah anjing kuat yang bisa mengalahkan anjing lain yang lebih besar darinya, dan juga tidak mati meski sudah memakan racun. Maka penyakit jenis apapun yang menimpa Pochi pasti akan segera hilang. Pochi juga bukanlah anjing yang memalukan. Ia akan dibawa ikut untuk pindah ke Tokyo. Jika teman-temannya mengejek Pochi, mereka akan ditembak. Begitulah keputusan pemuda tersebut.
Saya bisa membaca cerita ini hingga ribuan kali tanpa merasa bosan. Saya suka dengan penulisan kalimat demi kalimat yang menyatakan segala bentuk pencelaan dari cerpen ini. Saya juga suka dengan karakter pemuda itu dan istrinya, juga Pochi. Meski kita membenci suatu hal, tetapi pada akhirnya kepedulian mengalahkan kebencian dan rasa jijik. Saya harap mereka bertiga bisa hidup bahagia di Tokyo tanpa mempedulikan hinaan-hinaan yang akan datang. Atau setidaknya mereka bertiga punya tempat, dan akan hidup di dalam ingatan dan hati saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H