Mohon tunggu...
tanralam
tanralam Mohon Tunggu... -

bukan sesiapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Belum Indonesia

27 Juni 2014   14:22 Diperbarui: 12 Agustus 2015   07:15 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lihat ke dalam hati kita masing-masing  di saat ini, adakah di antara kita yang benar-benar Indonesia?   Masa-masa kampanye pemilihan presiden sekarang ini  merupakan kesempatan baik  bagi  kita untuk menjawab pertanyaan itu.

Mari  mencermati  berita-berita di media massa, tayangan-tayangan tivi, debat di dunia maya, semua  itu bisa dijadikan cermin besar  yang memantulkan bayangan laku kita dalam bernegara. Sayangnya, pantulan dalam cermin besar itu memperlihatkan, kita belum Indonesia. Kita  masih Solo, Makassar, Palembang,  Aceh, atau Papua saja.  Lihatlah alasan dukungan kita atas calon presiden yang kita pilih. Hampir semua karena  alasan kedekatan pribadi atau kesamaan asal daerah.  Hanya segelintir lainnya yang benar- benar memilih karena  sosok presiden itu sendiri,  juga harapan pada program yang ditawarkan untuk membawa negara ini melangkah lebih maju.

Tidak, apapun yang dilakukan oleh calon yang tidak kita dukung,  tolaklah,  meski  itu memberi harapan Indonesia  bisa bergerak maju.  Mari telisik kekurangannya  biar kita  punya alasan untuk menjatuhkannya  hingga  terjerembab tanpa ampun dan kehilangan  harga diri.

Maka mari mencari jejak  Jokowi  hingga ke bantaran sungai  tempat yang diakuinya sebagai  tempat bermukim masa kecil, lalu kita bersorak ketika didapati ternyata itu tak benar.  Jokowi kata pencari jejak itu  berasal dari keluarga mampu,  pengrajin mebel dan selalu hidup berkecukupan. Baiklah, sekarang kita punya alasan untuk mencibir kebohongannya.

Mari  pula mempertanyakan  dosa  masa lalu Prabowo, karena itulah satu-satunya  yang  kita miliki untuk menghancurkannya.  Kita teriakkan nama-nama orang  yang  hilang, tak pernah kita sadari kita sedang membangkitkan kembali  perih rasa sakit kehilangan yang dialami oleh keluarga mereka yang hilang.  Di saat bukan sekarang,  perih itu mereka tanggungkan sendiri. Tak ada yang  sungguh-sungguh  perduli  bahwa  keluarga yang ditinggal itu telah menanggungkan rasa  sedih selama bertahun-tahun.

Kita terus saja memilih fakta terburuk, kalimat terjelek untuk mengejek kedua calon presiden itu. Kita lupa bahwa salah satu dari keduanya sebentar lagi akan memimpin negeri ini. Wajah mereka, adalah wajah Indonesia di masa pemerintahan mereka.

Tetapi ya, kita belum benar-benar Indonesia.  Karena jika iya, hitungannya tak lagi menjadi, kalau bukan JK  tak ada ruas jalan baru yang dibangun di sepanjang  daratan Pulau Sulawesi. Kita orang Solo, apapun yagn terjadi,  kita harus memilih Jokowi.  Kita Islam, maka harus memilih Hatta Rajasa. Itu harga mati. Seperti itulah kita kini.

Kata Anies Baswedan, jumlah orang  pintar di negeri  ini sama dengan jumlah penduduk negeri Malaysia. Tapi ke mana gerangan perginya  orang-orang  itu? Karena yang kulihat sepanjang pekan-pekan ini adalah kita-kita yang selalu bersikukuh membela calon presiden pilihan masing-masing dengan sangat sengit.  Bagi pendukung Prabowo, pendukung Jokowi terkadang kehilangan akal sehat. Sebaliknya bagi pendukung Jokowi, pendukung Prabowo lah yang kehilangan akal sehat.

Maka seusai debat calon presiden, kitalah yang berdebat.  Pendukung Jokowi  akan memperlihatkan semua hal  yang bisa diperlihatkan untuk menyatakan betapa  mengagumkannya Jokowi  dan menelisik semua hal  yang  keliru dari Prabowo agar ia terlihat begitu tak bermartabat melakukan debat.  Sebaliknya juga begitu.  Tetapi  tidakkah sebaiknya memang kita akui saja bahwa kita semua dalam beberapa pekan ini bahkan sekali pernah membiarkan diri kehilangan akal sehat itu?

Tetapi sudahlah, mari tengok ke depan. Ramadhan di ambang  pintu.  Ayo menyambutnya dengan hati bening.   Seperti  anda, saya pun ingin negeri  ini menjadi lebih maju.  Seperti anda, saya juga tak hendak menyiakan hak suara  untuk memilih presiden bagi negeri ini. Pilihan kita mungkin berbeda,  dan saya sungguh bisa khilaf dengan menulis sesuatu yang mungkin menyakiti hati anda. Mohon, maafkan saya atas segala salah dan khilaf.

Meski kita berbeda, negeri kita tetap satu.  Semoga kesadaran kesatuan itu tetap merekatkan hati kita dalam berbangsa.  Mari memilih presiden untuk Indonesia.

Selamat datang Ramadhan. Selamat datang Presiden baru Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun