Mohon tunggu...
W Adelia
W Adelia Mohon Tunggu... -

Seorang pengembara ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Majalah Isteri (1): Rekatan pada Retakan

18 November 2013   19:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:59 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1384778258755897471

[caption id="attachment_278812" align="aligncenter" width="300" caption="Logo Isteri Maret 1930"] [/caption] Dengan masker biru menutupi hidung dan mulutku, ku buka dengan hati-hati lembaran-lembaran surat kabar ‘isteri’ yang lapuk menguning. Lembaran pertama menunjukan tanggalan Mei 1929. Kutelusuri cetakan tulisan lebih lanjut. Nama-nama perempuan yang tak begitu asing mengemuka. Nyi Hajar Dewantoro, Nyi Ali Sastroamidjojo, dan Soenarjati Soekemi. Lalu perlahan tatapanku mengarah pada barisan tulisan yang tercetak berkolom-kolom dengan rapi. Tulisannya begitu sederhana, khas surat kabar-surat kabar perempuan pada tahun 1920-an. Jika umumnya sebuah surat kabar memiliki satu suara dalam satu diskursus, ‘isteri’ lain sendiri. Ia saling berbantahan. Ia seperti ruang debat, ruang argumentasi yang sesekali diinterupsi oleh redaksi agar tak lewat batas. Mungkin inilah yang membuatnya menarik, ia adalah ruang, ia adalah media, ia adalah rekatan pada retakan. Melihat kembali kebelakang, ia sesungguhnya lahir dari rahim Kongres Perempuan Pertama Indonesia pada 22 Desember 1928 yang diselenggarakan di Yogyakarta. Pada waktu itu, semangat persatuan kaum perempuan melewati titik kulminasinya yang pertama. Sekat-sekat ideologi sejenak terbuka. Poetri Indonesia yang nasionalis-sekuler, Aisijah yang Islam, Wanito Katholieke yang Kristen, Margining Kaoetamaan yang Sosial, dan ke-16 organisai perempuan lainnya yang masing-masing berbeda haluan, memulai sebuah babak baru: kesadaran berbangsa. Dan “Isteri” didapuk sebagai majalah federasi yang bertindak sebagai ‘pemersatu’ sekaligus ‘hakim pemisah’. Berdiri diantara kuda-kuda yang berpacu bukanlah hal mudah. “isteri” dituntut untuk bersikap adil meski ia tak diharapkan menjadi pengadil. Dan perkawinan adalah problema pelik yg menjadi sumber retakan gerakan perempuan yang bernaung di bawah Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII). Organisasi perempuan berhaluan nasionalis-sekuler dan Kristen saling bersefaham menentang praktik poligami dan kuasa thalak pada laki-laki. Dewi Sekartadji, seorang simpatisan PPII dari Isteri Sedar dengan tajam mengkritik Islam sebagai faham internasionalistis alat imperialis bangsa Arab. Sementara Siti Zahra Goenawan dari Roekoen Wanoedijo tak kalah mengkritik Barat yang menolak poligami tetapi membiarkan pergundikan merajalela. Arah perdebatan yang semakin keras memaksa ‘isteri’ mengeluarkan maklumat redaksi pada tahun 1931 yang menyatakan ‘isteri’ menolak segala bentuk tulisan yang berkaitan dengan agama. -selanjutnya: ‘isteri’ terkoyak

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun