Mohon tunggu...
Nico
Nico Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hi aku mahasiswa Psikologi

Mahasiswa psikologi

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Ketidaksopanan Masyarakat Indonesia dalam Menggunakan Media Sosial

30 Juni 2021   18:27 Diperbarui: 1 Juli 2021   23:20 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Penulis : Andika R. Fauzan, Vania Salsabila K., Apsari Kirana F., Nico               

Masyarakat Indonesia dikenal dengan kesopanan dan juga keramahan yang kental dengan adat ketimuran. Citra keramahan inimenjadi magnet para wisatawan asing untuk berwisata ke Indonesia. Namun, akhir - akhir ini citra sopan santun yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sedikit terusik. Hal ini disebabkan oleh hasil survei yang dilakukan oleh perusahaan software raksasa Microsoft. Dalam survei Digital Civility Index (DCI) untuk mengukur tingkat kesopanan digital global, masyarakat Indonesia menduduki peringkat ke-29 dari total 32 negara yang berpartisipasi di kawasan Asia Tenggara.

Pakar media sosial, Ismail Fahmi yang juga merupakan pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Microsoft menggambarkan kondisi pengguna media sosial di Indonesia saat ini. Menurut survei Microsoft, beberapa faktor yang memengaruhi tingkat kesopanan masyarakat Indonesia adalah hoaks dan penipuan dengan persentase 47 persen, ujaran kebencian dengan persentase 27 persentase, serta diskriminasi dengan persentase 13 persen. Ismail juga mengatakan bahwa banyak dari warganet Indonesia yang menyerang suatu kiriman secara beramai - ramai. Belakangan ini diketahui bahwa akun Instagram perusahaan Microsoft menutup komentar pada unggahan, hal ini diduga akibat dari banyaknya komentar negatif yang membanjiri unggahan akun Instagram milik Microsoft.

Ismail juga menjelaskan mengapa warganet Indonesia lebih berani di media sosial yaitu dikarenakan dunia maya dan nyata merupakan dua hal yang berbeda. Sebagian besar masyarakat Indonesia merasa sungkan saat bertemu secara langsung untuk menyampaikan pendapat mereka, dan rasa tidak suka pada orang lain. Inilah alasan mengapa saat bertemu secara langsung mereka cenderung akan diam. Berbeda dengan yang terjadi di media sosial, mereka merasa lebih bebas untuk menyampaikan pendapat saat mereka tidak suka atau tidak setuju akan suatu hal karena mereka hanya berhadapan dengan ponsel, tidak dengan orang yang bersangkutan secara langsung. Mereka masih kurang memiliki kesadaran bahwa orang dibalik akun tersebut mungkin saja merasa tersinggung atau bahkan tersakiti karena membaca ujaran kebencian yang ditujukan kepadanya. Menurut Ismail, hal ini dapat diatasi apabila pengguna media sosial lebih menggunakan logika, tidak hanya melontarkan komentar negatif begitu saja.

Sependapat dengan Ismail, pengamat psikososial dan budaya Endang Mariani juga mengatakan hal yang sama. Di dunia maya orang - orang lebih merasa berani untuk menyampaikan semua pendapat karena mereka bisa menyembunyikan identitas mereka di media sosial. Endang Mariani mengatakan "Tanpa adanya tekanan, baik moral maupun material tentunya orang-orang lebih berani untuk menyampaikan semua yang terlintas di pikiran tanpa memikirkan akibatnya". Hening Widyastuti sebagai praktisi psikologi juga memiliki pendapat yang sama, menurutnya orang-orang merasa aman untuk berpendapat semaunya termasuk kata - kata yang kasar, kejam, dan menyakiti perasaan seseorang. 

Menurut laporan DCI Microsoft, turunnya tingkat kesopanan digital di Indonesia paling banyak dilakukan oleh usia dewasa dengan persentase 68 persen. Sedangkan usia remaja tidak memberi kontribusi apapun baik komentar positif maupun negatif. Sedangkan menurut laporan terbaru dari We are Social dan HootSuite menyatakan bahwa pengguna media sosial di Indonesia sebagian besar adalah remaja dengan rentang umur 18 hingga 34 tahun. Dari uraian data tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia dikenal sebagai netizen yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Oleh karena itu, kami akan menganalisis ketidaksopanan masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial menggunakan teori -- teori psikologi perkotaan.

Cyberbullying atau kekerasan dunia maya terjadi karena adanya kemajuan teknologi informasi. Cyberbullying sama halnya dengan bullying yang sering ditemui biasanya, namun dampak dari cyberbullying lebih parah dibandingkan dengan bullying biasa yang kita ketahui. Pada umumnya dampak bullying biasa hanya berdampak pada fisik dan mental korban yang mengalami bullying pada masa itu saja, tetapi dampak cyberbullying dapat terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan berkelanjutan. 

Cyberbullying biasa terjadi disebabkan adanya perbedaan yang dialami oleh pihak yang melakukan bullying dan korban bullying. Perbedaan yang terjadi biasanya merupakan perbedaan kepercayaan, pendapat, selera dan hal lainnya yang dapat memicu adanya komentar dari pengguna media sosial lainnya. Seperti halnya pada kasus pasangan gay Thailand dan kasus Kekeyi. Warga Indonesia melakukan cyberbullying kepada pasangan gay Thailand yang mengunggah foto pernikahannya ke media sosial Facebook. Mereka melontarkan komentar - komentar negatif hingga ancaman pembunuhan karena memiliki perbedaan kepercayaan dan pendapat terhadap pernikahan sesama jenis yang didapat dalam berita Kompas "Pasangan Pengantin Gay Thailand Dihujat Netizen Indonesia, Psikolog Sebut Ada Faktor Stres". Lain halnya dengan kasus Rahmawati Kekeyi Putri Cantika atau dikenal juga dengan panggilan Kekeyi, ia dijadikan bahan cyberbullying yang disebabkan ia memiliki paras dan tubuh yang "tidak ideal" bagi kalangan masyarakat Indonesia yang didapat dari artikel online Kompasiana "Kekeyi Kerap Jadi Sasaran Cyberbullying oleh Netizen."

Tnnies (1887/1988) mengembangkan perbedaan antara hubungan Gemeinschaft dan Gesellschaft. Namun, dalam analisis kali ini lebih didasarkan pada Gemeinschaft, di mana Gemeinschaft sering diartikan sebagai komunitas yang mengacu pada ketika individu berinteraksi dengan orang lain dikarenakan mereka menghargai orang tersebut, tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi komunitas dalam sosiologi dan psikologi komunitas sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu komunitas berbasis lokalitas dan komunitas sebagai kelompok relasional. Komunitas berbasis lokalitas merupakan konsep tradisional dari komunitas, seperti blok -- blok kota, lingkungan masyarakat, kota -- kota kecil, kota besar, dan daerah pedesaan. Terdapat ikatan interpersonal antar anggota masyarakat yang didasarkan pada kedekatan geografis. 

Sedangkan, komunitas relasional merupakan komunitas yang ditentukan oleh hubungan interpersonal dan rasa komunitas, tetapi tidak dibatasi dengan kedekatan geografis. Misalnya seperti, kelompok diskusi yang berada di internet, klub siswa, dan kelompok keagamaan. Masyarakat Indonesia sendiri termasuk ke dalam dua definisi komunitas, di mana masyarakat Indonesia sebagai komunitas berbasis lokalitas dapat dilihat dari bagaimana mereka memiliki ikatan interpersonal yang didasarkan pada kedekatan geografis yangmana semua merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Sedangkan, komunitas relasional dapat dilihat dari bagaimana mereka menggunakan internet sebagai wadah berinteraksi dan perantara melakukan diskusi.

Seseorang yang berada di internet dan memiliki kemungkinan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan siapapun yang memiliki ketertarikan yang sama merupakan definisi dari sense of online community. Sedangkan, online community sendiri merupakan sekelompok orang yang melakukan diskusi dalam waktu lama dengan rasa kemanusiaan yang dapat membentuk jaringan hubungan interpersonal di dunia maya (Kloos et al., 2012). Diskusi yang dimaksud dapat berupa komunikasi antar pribadi maupun berkomentar dalam unggahan orang lain. Seperti yang dapat dilihat dari kasus, para pengguna Facebook tersebut merasa memiliki pendapat dan ketertarikan yang  sama dengan para pengguna Facebook lain yang melontarkan komentar - komentar negatif pada unggahan foto pasangan gay Thailand tersebut sehingga muncul sense of community. Para pengguna Facebook yang mengirim komentar negatif tersebut termasuk dalam online community karena mereka saling berkomunikasi dan berinteraksi pada kasus unggahan foto pasangan gay Thailand tersebut di Facebook.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun