Tesis Menuju Harlah.
Oleh: Sayuti Melik Sahmal | Sekretaris Umum PC PMII Halmahera Selatan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah organisasi terbesar di indobesia yang lahir tahun 60an dari rahim kaum muda NU untuk menjawab problem bangsa kala itu. Tokoh seperti Mahbub Djunaidi yang oleh Bung Karno adalah dewa pena merupakan kader emas yang dimiliki PMII, selanjutnya Mohammad Zamroni tokoh aktivis pergerakan dan angkatan 66 melalui KAMI (kesatuan aksi mahasiswa indonesia) memberinya predikat sebagai konsolidator ulung kemudian Muhammad Iqbal Assegaf.
Sayangnya kini mereka raib, padahal kondisi bangsa yang serba krisis ini membutuhkan tokoh seperti mereka, kami yakin mereka mampu memberikan solusi untuk pemulihan segala macam masalah bangsa dan disorientasi PMII dewasa ini.
Mereka hidup diperbadapkan dengan kekuatan masif neo-kolim, rezim orde baru dan era reformasi saat itu membuat indonesia harus bersyukur karena lahir tokoh yang sesuai dengan kebutuhan zaman meskipun Mahbub Djunaidi pernah menjadi korban pengasingan, Zamroni di intimidasi. Muhammad Iqbal Assegaf keburu dijemput maut sebelum menyelesaikan masa periodenya sebagai ketua umum GP Anshor.
Sikap, mental dan karakter kepemimpinan mereka yang dikenal pemberani, pemikir serta memilik jiwa kepeloporan dan watak visioner yang dimiliki PMII masa itu, jika diteladani maka akan menjadi representasi perjuangan aktivis PMII untuk mencapai cita-cita didirikannya PMII hingga saat ini.
Akan tetapi ciri yang lekat pada mereka itu sangat jarang ditemui pada diri dan karakter kader PMII dewasa ini.
Lalu apa persoalannya, mengutip teori kesadaran Paulo Freire, mungkin saja kader PMII sekarang ini sedang pada fase Kesadaran Magis atau Kesadaran Naif, atau seperti apa yang dimaksudkan Sayyid Husen Alatas tentang bukunya The Cast of Mile persoalan budaya yang terpenjara oleh budaya lain,--terperangkap tidak mencari jati diri. Atau seperti kata Michel Faucault dalam teorinya tentang kekuasaan: "pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan",--kekuasaan (rezim) yang barbar. Ya mungkin juga terjebak dalam ketidak aturan yang abstrak.
Olehnya ini tidak bisa dianggap enteng, dan PMII secara nasional hingga daerah mesti mereformulasi sistem kaderisasinya hingga dapat terpaut dengan masalah yang berkembang. Tapi mana yang harus didahulukan? Mereformulasi sistem kaderisasi agar melahirkan kader pergerakan yang ideologis dan reformis ataukah merubah tatanan sosial yang mengidap penyakit ketimpangan yang akut ini.
Saya rasa mereformulasi sistem kaderisasinya lebih dulu. Seperti adagiumnya Pramoedya Ananta Toer: "mendidik rakyat dengan pergerakan mendidik penguasa dengan perlawan". Sedangkal yang saya maknai, Pram mengisyarakan agar kaderisasi harus diutamakan. Ini senada pula dengan kata Lenin pemimpin partai bolshevik: "tidak mungkin ada revolusi kalau tidak ada filsafat revolusioner",--sebelum melakukan perubahan mesti pendidikan politik (kaderisasi) itu dilakukan.