Mohon tunggu...
Egi  Adrian
Egi Adrian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Distraksi Fokus Manusia-Revised

1 November 2016   01:35 Diperbarui: 1 November 2016   01:55 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.psychologicalscience.org

“Distraksi fokus manusia, mampu membuat 2 tetap menjadi 2, 10 bisa menjadi 0. Distraksi fokus manusia, yang mampu membuat sedikit akan tetap pada jumlahnya dan bahkan lebih, atau kuantitas banyak yang akan berubah menjadi hal yang hampa, bahkan sia-sia.”

Usia muda menjadi bahasan unik bagi para pengkaji atau orator untuk dibahas. Dinamika kehidupan yang tengah memuncak-muncaknya akibat kompleksitas dan randomisasi lingkungan yang mereka hadapi, menjadi pusat pengalaman atau bisa dikatakan bank kegagalan dan keberhasilan tanpa ada konsekuensi jelas atau terikat. Berbeda dengan seorang pegawai yang tengah diikat kontrak, kesalahan merupakan harga mati. Satu kesalahan mampu memotong gajinya atau konsekuensi lain yang secara langsung memberi efek negatif. Sehingga dalam hal ini saya juga sedikit mau nimbrung membicarakannya. Berangkat dari pengalaman diri sendiri serta orang sekitar dan beberapa bacaan yang telah saya baca. Dalam hal ini saya mengambil sampel kecil kehidupan manusia muda di lingkungan pendidikan tinggi, sebut saja mahasiswa.

Manusia muda dalam jangka hidup dewasa awal, untuk di Indonesia, mayoritas masih bingung akan kehadiran mereka di dunia ini untuk apa (baca: peran). Dengan kata lain, tahap paling menentukan arah ideal masa depan seseorang kedepannya yaitu masa pendidikan tinggi, rata-rata mereka hilang arah. Isu passion yang dibawa motivator-motivator ulung, malah menjadi masalah besar yang dihadapi sosok muda kini. Mereka tidak pernah benar-benar dibawa oleh sistem untuk menemui bakatnya. Sehingga survey terkait salah jurusan ada dan terbukti benar.

Terdata sekitar 87% Mahasiswa salah jurusan. Statement ini dikeluarkan oleh Educational Psychologistdari Integrity Development Flexibility (IDF), Irene Guntur, M.psi., Psi., CGA.

Terlepas dari bagaimana parameter dan variable yang digunakan, kita hanya perlu berkaca terhadap diri kita dan mungkin orang sekitar kita. Banyak yang bekerja diluar konsentrasi pendidikan tingginya. Padahal, biaya pendidikan tinggi begitu mahal jikalau hanya digunakan sebagai pelengkap Curiculum Vitae seseorang.

Terlepas lagi dari hal itu, ada hadist yang ingin saya sampaikan:

“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau saw. menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.”(H. R. Bukhari no. 1777)

Nah, ini menjadi sedikit tamparan bagi kita pemuda Indonesia, yang menghadapi hilang arah tadi. Pada dasarnya fungsi kita di dunia telah jelas “menurut apa yang  (kita ) dimudahkan kepadanya”. Ini yang menjadi dasar kata barangkali yang para motivator sebut passionuntuk menumbuhkan kembali semangat berpendidikan dan mancari passion tersebut. Bahkan ada yang merasakan tidak benar-benar tahu dengan apa sih bakat alaminya. Bekerja dengan bakat,berarti bekerja dengan landasan kesenangan dan bukan menjadi beban hidup. Hilang arah ini juga rata-rata yang menjadi faktor keberadaan mahasiswa-mahasiswa abadi di tiap-tiap kampus. Mereka menyibukkan dirinya dengan kegiatan yang mereka agung-agungkan dengan sebutan softskill. Ini menjadi dinamika menarik tersendiri yang memang panas untuk diperbincangkan.

Kesibukan seseorang di dunia kampusnya seperti kurva normal secara relatif, puncaknya di tengah-tengah masa pendidikan mereka. Amanah (tanggung jawab) yang mereka emban dipastikan lebih dari satu (terutama mahasiswa abadi tadi). Satu amanah terbesar yang pada dasarnya diemban mahasiswa adalah akademik, disamping amanah-amanah lain organisasi yang mereka ikuti. Dalam keberjalanan waktu, sugesti terhadap “begitu dewanya softskill” yang akan menjadi senjata berkelanjutan yang nantinya akan digunakan di dunia kerja. Sebuah penelitian terkait hal ini juga telah dilakukan denga menaruh akademik (IP/GPA) di urutan ke 17 dari sekian banyak kriteria yang dibutuhkan oleh sebuah perusahaan. Secara mutlak disampaikan bahwa akademik hanya berguna hingga pintu pendaftaran kerja. Saya juga bingung apa jadinya seseorang tanpa akademik.

Adanya ilmu manajemen, pastinya akibat adanya ketidakteraturan yang dihasilkan oleh manusia sebagai pembuat sistem. Disisi lain, selain ketidakteraturan, waktu yang dimiliki oleh mereka tidak cukup untuk memenuhi tuntutan waktu yang dibutuhkan oleh urusan-urusan yang mereka hadapi dan harus diselesaikan. sehingga banyak teori-teori bermunculan terkait manajemen waktu ini agar bagaimana menjadi pribadi yang teratur. Juga sudah banyak seorang pemegang kebijakan strategis di kampus (ITB) yang menggunakannya sebagai metoda agar tidak terjadi kekacauan (baca: chaos) dalam keberjalanan amanahnya.

Saya juga menemukan bahwa beberapa mahasiswa menjadi multi-stakeholder. Dimana mereka memegang minimal 1 tanggung jawab besar dan beberap tanggung jawab minor. Tetap intinya masing-masing itu adalah tanggung jawab. Kita sebenarnya juga butuh mendefinisikan dengan baik bagaimana sebenarnya posisi amanah (tanggung jawab) dengan tugas. Banyak yang salah kaprah terkait amanah dengan menyikapinya sebagai tugas. Padahal secara mendasar itu adalah sesuatu yang sangat berbeda. Dengan analogi sederhana, seorang ibu, dia memegang amanah mengambil peran ibu di dunia ini. Amanahnya adalah berperan sebagai “ibu” tersebut, tanggung jawab sebagai ibu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun