“Distraksi fokus manusia, mampu membuat 2 tetap menjadi 2, 10 bisa menjadi 0. Distraksi fokus manusia, yang mampu membuat sedikit akan tetap pada jumlahnya dan bahkan lebih, atau kuantitas banyak yang akan berubah menjadi hal yang hampa, bahkan sia-sia.”
Usia muda menjadi bahasan unik bagi para pengkaji atau orator untuk dibahas. Dinamika kehidupan yang tengah memuncak-muncak nya akibat kompleksitas dan randomisasi lingkungan yang mereka hadapi, menjadi pusat pengalaman atau bisa dikatakan bank kegagalan dan keberhasilan tanpa ada konsekuensi jelas atau terikat.
Berbeda dengan seorang pegawai yang tengah diikat kontrak, kesalahan merupakan harga mati. Sehingga dalam hal ini saya juga sedikit mau nimbrung membicarakannya. Berangkat dari pengalaman diri sendiri serta orang sekitar dan beberapa bacaan yang telah saya baca. Dalam hal ini saya mengambil sampel kehidupan manusia muda di lingkungan pendidikan tinggi, sebut saja mahasiswa.
Manusia muda dalam jangka hidup dewasa awal, untuk di Indonesia, mayoritas masih bingung akan kehadiran mereka di dunia ini untuk apa (baca: peran). Dengan kata lain, tahap paling menentukan arah ideal masa depan seseorang kedepannya yaitu masa pendidikan tinggi, rata-rata hilang arah. Isu passion yang dibawa motivator-motivator ulung, malah menjadi masalah besar yang dihadapi sosok muda ini.
Mereka tidak pernah benar-benar dibawa oleh sistem untuk menemui bakatnya. Sehingga survey terkait salah jurusan menjadi ada dan terbukti benar, terdata sekitar 80% Mahasiswa salah jurusan. Terlepas dari bagaimana parameter dan variable yang digunakan, kita hanya perlu berkaca terhadap diri kita dan mungkin orang sekitar kita. Banyak yang kerja keluar dari konsentrasi pendidikan tingginya. Padahal, biaya pendidikan tinggi begitu mahal jikalau hanya digunakan sebagai pelengkap Curiculum Vitae seseorang.
Terlepas lagi dari hal itu, ada hadist yang ingin saya sampaikan:
“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau saw. menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.”(H. R. Bukhari no. 1777)
Nah, ini menjadi sedikit tamparan bagi kita pemuda Indonesia, yang menghadapi hilang arah tadi. Pada dasarnya fungsi kita di dunia telah jelas “menurut apa yang (kita) dimudahkan kepadanya”. Ini yang menjadi dasar kata barangkali yang para motivator sebut passion untuk menumbuhkan kembali semangat berpendidikan dan mancari passion tersebut. Hilang arah ini juga rata-rata menghasilkan para mahasiswa-mahasiswa abadi di tiap-tiap kampus. Mereka menyibukkan dirinya dengan kegiatan yang mereka agung-agungkan dengan sebutan softskill. Ini menjadi dinamika menarik tersendiri yang memang panas untuk diperbincangkan.
Kesibukan seseorang di dunia kampusnya seperti kurva normal secara relatif, puncaknya di tengah-tengah masa pendidikan mereka. Amanah (tanggung jawab) yang mereka emban dipastikan lebih dari satu (terutama mahasiswa abadi tadi). Satu amanah terbesar yang pada dasarnya diemban mahasiswa adalah akademik, disamping amanah-amanah lain organisasi yang mereka ikuti. Dalam keberjalanan waktu, sugesti terhadap begitu dewanya softskill yang akan menjadi senjata berkelanjutan yang nantinya akan digunakan di dunia kerja. Sebuah penelitian terkait hal in juga telah dilakukan denga menaruh akademik (IP/GPA) di urutan ke 17 dari sekian banyak kriteria yang dibutuhkan oleh sebuah perusahaan. Secara mutlak disampaikan bahwa akademik hanya berguna hingga pintu pendaftaran kerja. Saya juga bingung apa jadinya seseorang tanpa akademik.
Adanya ilmu manajemen, pastinya akibat adanya ketidakteraturan yang dihasilkan oleh manusia sebagai pembuat sistem. Disisi lain, selain ketidakteraturan, waktu yang dimiliki oleh mereka tidak cukup untuk memenuhi waktu yang dituntut oleh urusan-urusan yang mereka hadapi untuk diselesaikan. sehingga banyak teori-teori bermunculan terkait manajemen waktu ini untuk bagaimana menjadi pribadi yang teratur. Juga sudah banyak seorang pemegang kebijakan strategis di kampus (ITB) yang menggunakannya sebagai metoda agar tidak terjadi kekacauan (baca: chaos) dalam keberjalanan amanahnya.
Saya juga menemukan bahwa beberapa mahasiswa menjadi multi stake holder. Dimana mereka memegang minimal 1 tanggung jawab besar dan beberap tanggung jawab minor. Tetap intinya masing-masing itu adalah tanggung jawab. Kita sebenarnya juga butuh mendefinisikan dengan baik bagaimana sebenarnya posisi amanah (tanggung jawab) dengan tugas. Banyak yang salah kaprah terkait amanah dengan menyikapinya sebagai tugas. Padahal secara mendasar itu adalah sesuatu yang sangat berbeda. Dengan analogi sederhana, seorang ibu, dia memegang amanah mengambil peran ibu didunia ini. Amanahnya adalah peran “ibu” tersebut, tanggung jawab sebagai ibu. Dengan tugas menjaga, mendidik dan banyak “me-“ lainnya yang harus dikerjakan. Tugas pada dasarnya bukanlah mutlak harus sosok tersebut yang mengerjakannya dalam artian kontekstual. Tugas bisa kita delegasikan sebagaimana seorang ibu mendelegasikan tugasnya kepada guru untuk mendidik danmencerdaskan anaknya. Namun peran ibu tetap dipegangnya meskipun tugas tersebut dijalankan oleh seorang guru. Amanah tidak bisa didelegasikan, walalu apapun yang terjadi, anak yang lahir dari Rahim seorang wanita, wanita tersebut secara mutlak adalah ibunya, meskipun ada istilah-istilah ibu yang lain di Indonesia ini. Begitu perbedaan mendasarnya. Sehingga perlu kita sadari begitu besarnya kelas tanggung jawab tersebut.