Di mana aku, kami, kita dan mereka, mungkinkah pengakuan.
Agama, telah menjadi alat kekuasaan dan keuangan.
Tuhan menjadi alat menggolkan kepentingan, dengan berlagak bijak dan arif, bahkan dengan alat laber gelar hajipun untuk alat. Dengan mengucap bismillah, dan dua kalimah syahadat untuk melakukan penindasan dan mengisap.
Rakyat menjadi aset komoditi menghitung angka-angkat keuntungan. Berarti peluang “proyek semakin besar”
Demokrasi menjadi alat saling mambantai, saling olok, saling menggunjing, indahnya dapat memperolok orang lain yang sebangsa dan sesama rakyat.
Demontrasi marak menjadi alat rakyat kecil dan yang merasa tertindas melawan kebijakan pemerintahan, dengan teriak “AllahuAkbar” lampar batu, lampar bata.. AllahuAkbar bergeser menjadi bagian dari kata umpatan.
Pemerintahan saat ini seandainya diumpamakan permainansepakbola. Telah terjadi perkelahian, saling jegal, saling tendang, saling jotos. Berebut bola sesama satu tim, sehingga lawan tinggal nonton, menunggu bola masuk, tidak perlu bekerja untuk mencapai kemenangan. Bahkan mendapat hiburan gratis. Wasitnya yang bingung, karena belaum pernah ada kejadian wasit mengelurkan kartu kuning ataupun kartu merah akibat pelanggaran oleh sesama tim. Akhirnya si wasitpun hanya nonton. Sudah menjadi kelaziman bahwa, sepak bola indonesia prestasi belum diprioritaskan, sebab melerai tawuran antar suporter saja kebingungan, bagaimana caranya. Lhaah kalau kondisi bangsa ini disamakan dengan permainan sepak bola, maka penontonnyapun sekarang menjadi penonton dan menjadi komentator. Maka sayapun teringat kaum muslimin adalah musuh satu dengan kaum muslimin lainnya dalam mekanisme ekonomi, dan apalagi politik. Penindas dan yang tertindas sama-sama beragama islam. Yang ngolok dan yang diperolok sama-sama muslim. saling adu jotos. Rentenir mengimami shalat para korbannya. Para bos-bos, juragan, partaian yang saling memperolok, menyalahkan, menjatuhkan, mereka berjamaah dan beritikaf satu shaff pada barisan shalat yang sama sambil menyimpan konteks perhubungan “politisasi ekonomis” mereka sebagai sesuatu yang seolah-olah tidak ada kaitannya dengan kepemelukan beragama mereka yakni islam mereka.
Pada skala makro, sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa strata terisap maupun pengisap sama-sama mengucapkan doa “tanpa dosa” dalam shalat-shalat yang mereka lakukan. Seakan-akan agama hanyalah pasal jungkir balik, sedang permasalahan-permasalahan berdunia adalah pasal-pasal yang lain sama sekali, dan tidak memiliki kaitan dan tidak berhubungan sama sekali.
Dengan kata lain, jamaah dan umat islam tidak memiliki –karena tidak perlu –adanya jama’ah yang berjam’iyyah fi-addunya yang memiliki nilai, value yang mengalir ke gawang yang sama pada niat dan tujuan dengan motif yang jelas dan sama. Mereka berjamaah hanya dalam “ritus tanpa dosa, tanpa (merasa) bersalah”, tapi tidak dalam realitas nyata karena (merasa) cukup dan merasa yakin akan sampai pada (nama) Tuhan, tanpa esensi Dzat. Sesuatu yang mestinya mendesak untuk di tafakuri, di telaah, dianalisa yang dimulai dari dalam diri, kemudian memancar ke kanan, ke kiri dan ke sekitarnya serta kepada orang lain yang terwujud pada kebersamaan dalam jamaah, yang terikat pada mahabbah birouhillah. kehidupan hanya dengan menyatakan dzikrullah sebagai realitas kehidupan, maka indahlah kehidupan tersebut.
Pada proses masa kesejarahan saat ini, ukhuwah Islamiyah sekedar berarti kirim-kiriman kartu, kirim-kiriman sms, kirim-kiriman e-mail, facebook-an. Dalam skala “besar”, mekanisme perniagaan bersifat steril –cuci-cucian –laundry dari negosiasi akidah keyakinan bahkan keimanan. Dalam skala “sedang dan kecil”, di pinggiran dan pedesaan misalnya, kalau seseorang harus merumahsakitkan keluarganya dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, kaum (yang mengaku) muslimin di sekitarnya segera mengerumuninya untuk siap-siap berkenduri; maksudnya mendorong supaya orang tersebut atau keluarga si sakit tersebut segera menyerahkan tanah atau sawah atau ternak karbaunya kepada yang berhak memilikinya –karena punya uang pengganti –menjualnya. Kalau kepepet kan harganya merosot jauh.
Jadi seperti itulah kondisi masyarakat Indonesia saat ini, yang diwakili oleh petinggi-petinggi tersebut, suatu kondisi yang memerlukan format ulang, memerlukan peng-instalan ulang, namun demikian softwerenya sendiri juga masih semrawut dan berserakan entah diketemukan apa belum oleh mereka-mereka yang memposisikan sebagai “ahli-ahli” yang (kata KTP) tersebut adalah muslim.
Maka apakah kamu telah melihat orang yang menjadikan tuhannya (adalah) hawa nafsunyadan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu (yang dimiliki) dan Allah mengunci mati pendengaranya dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (al-Jatsiyah, 23).
Kami akan mencuplik suatu dialog dari buku diolog Sunnah Syiah, yakni ketika Ky Bisri al-Maliki, bertutur perihal madzab atau aliran pegangan keyakinan ubudiyah kepada sang jumhur sunnah, jumhur sunni bertutur,”……berikanlah kepadaku tambahan kata-kata mutiara serta hasil pemikiran yang sangat bermutu, sebab aku telah menemukan kebijakan dan kearifan di antara uraian-uraian anda…..setelah selesai mengikuti dan menekuni uraian-uraian yang anda sajikan, dan mendalami dalil-dalil yang anda kemukakan, benar-benar aku diliputi kebingungan, aku melihat argumen-argumen Anda mengikat, dalil-dalil yang anda kemukakan tidak bisa dibantah….sebagai akibat kenyataan ini, jauh dari dalam lubuk hati, saya mendengar dua bisikan yang saling berlawanan….”
Kutipan diatas saya maksudkan untuk melihat bersama fungsi lain yang mungkin tersamar di antara informasi-informasi formal dan informasi-informasi yang berbentuk legislasi dan yudikasi dan aksekusi yang salama ini telah tersajikan “professional”. Polemik-polemik di masyarakat pada semua lapisan, yang sesungguhnya adanya polemik didalam diri kita masing-masing ini, karena keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada diri kita masing-masing, telah membudaya dan mengkultur pola pemikiran “kulit” yang bersifat lapisan superficial dan populis belaka sehingga cenderung “anti eufimisme” yang berkarakter saklek, efektif yang dipaksakan misalnya, seseorang dengan wirid 1000 kali akan dijamin menjadi wali Allah dan menjadi ahli surga, bersilaturahmi akan memperpanjang umur dan disiapkan surga yang mengalir dibawahnya madu dan susu, tanpa melibatkan kondisi dan strata diri yang lain. sebab itu saya beranggapan bahwa fungsi tersembunyi dan samar tersebut insyaallah memliki makna dan bermanfaat untuk dipetik. Yakni watak “saling”: didalam kehidupan tatapraja kehidupan berjamaah yang berjam’iyyah pada semua tingkatan dan posisi pada level dimanapun saling mengisi, saling memberi, saling menolong, saling mengingatkan bahkan kesukaan saya pepisahan didalam kedurhakaannya.
Sebab didalam percaturan pemikiran moden dewasa ini kita sering terlibat dalam berbagai hal pada semua elemen yang selalu diusahakan “ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan”, yang biasanya juga cenderung terkonsentrasi ke satu sudut yang “intelektual” belaka yang seakan-akan kita hanyalah se-onggok kumpulan dari segumpal gumpalan otak belaka yang berkumpul dan berembuk ditambah sejenis etos sikap yang mati hidup mempetahankan setiap argument tentang kebenaran ilmiah yang kita pegang. Etos sepeti ini tidak jarang membentuk dan membangun terbentuknya defensive buta, diongkosi harga diri yang membatu, dan membawa kita kepada ketertutupanyang justru membendung alternative kebenaran baru yang mungkin kita peroleh dari kesiapan kita untuk tidak saja benar, tapi mungkin juga kurang tepat, bahkan mungkin salah dan yang sesungguhnya saling ketergantungan. Dengan pemahaman bahwa dunia ini sesungguhnya tidak lebih sebagai ujian dan proses menuju kepada Diri Dzatullah, harus di proses yang keberadaannya dapat menjadi batu penghalang untuk menyatu dengan Diri Dzatullah jika tida dinafikan
Yang terjadi kemudian adalah suatu ironi; di satu pihak kita ngotot harus kreatif, dinamis, inovatif, di lain sisi kita jumud dan tertutup. Di satu pihak kita meyakini relatifitas pengetahuan kita (sebagai isyarat adanya yang Maha Mutlak dan ke-tak-terbatasan pengetahuan ke-Ilahiahan), dilain pihak dalam waktu yang bersamaan atau jeda di lain waktu kita bersikap lemah, dengan bersikap mutlak-mutlakan menggenggam kebenaran diri.
Tidak jarang ada pengalaman bahwa kelangsungan komunikasi, musyawarah, dialog yang terlalu mengkotakkan diri pada garis batas ilmiah menjadi amat muluk tetapi kabur dan keruh serta tidak jelas arah dan sasaran finishingnya dan kebingungan sendiri saat keluar dari wilayah musayawarah tersebut, kemudian menjadi jernih dan tampak (ternyata) bersahaja dan sederhana saat kita “oper persneling” perwatakan dengan cara yang lebih personal-utuh, atau lazim disebut dengan dialog dari hati ke hati, pelibatan semua fungsi organ secara kaafah.
Didalam proses memahami ilmu-ilmu –wawasan, ataupun didalam pelaksanaan consensus-konsensus yang telah disepakai untuk kita aplikasikan pada praktek “laga” yang secara dialektik harus dilangsungkan sekaligus dengan proses memahami kenyataan, saya secara pribadi sering mengalami hambatan dan kesulitan akibat parsialisasi “ilmiah”. Sepertinya memberikan informasi bahwa intelektualisme dan spiritualisme merupakan dimensi kejiwaan yang berdiri sendiri-sendiri. Padahal menurut ajaran yang saya terima dan kemudia saya memahaminya dan akhirnya saya yakini bahwa intelektualitas merupakan wujud otak kemakhlukan yang sempit dan nisbi yang sesungguhnya merupakan lapisan paling permukaan belaka dari ketotalitasan kaafatul Islam yang daya dorong spiritnya sebagai spiritualitas ke ilahiahan yang tak terbatas, yang diujung-ujungnya (mestinya) memancarkan kebenaran Haq-haq Junjungan Nabi SAW dan kebenaran Mutlak al-Haq-Nya Diri Dzatullah.
Pemikiran mujahid dan mujtahid yang mengatasnamakan pemikiran pembaharu Islam sekalipun, kalau tidak salah persepsi juga sering (kalau tidak dikatakan selalu) terjebak oleh kecenderungan parsialitas mengkotak-kotak semacam ini. Rasanya belum pernah kita mendengar atau membaca suatu tulisan tokoh nasional ataupun tokoh agama yang menghadirkan diri ditengah percaturan pemikiran dengan penuh arif dan memancarkan tidak saja kepintaran, tetapi juga kematangan, kedewasaan, terbuka dan kuat, sarat dengan penyerahan totalitas pada Keberanan Ber-Tuhan, shabar dan tawadhu’, utuh dan bulat kemudian pada pertengahan dioalog atau di penghujung pembicaraan bertutur, “mendengar kata-kata Tuan, saya jadi diliputi rasa bingung, dan jauh dalam diriku di lubuk hati yang terdalam ada dua bisikan yang berlawanan, yang satu mempertahankan atas apa yang telah saya yakini dan yang kedua membenarkan apa yang telah Anda Tuan sampaikan sebagai hal informasi baru yang kebenaran tidak diragukan” –setidaknya memancarkan keinsafan akan kelemahan manusia dihadapan Tuhan, yang Ke-Mutlakan MengadaNya tidak sedetikpun pernah absen dari dalam diri manusia.
Nganjuk, 8 Mei 2010
Hasan husain
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H