Desember 30 Hari
Andai saja aku percaya tahayul. Mungkin semesta dan seisinya akan terlihat lebih nyata. Segala yang nampak dan tak nampak. Segala semilir metafisika, termasuk dirimu yang kini tiada. Menadah rintih hujan di pekarangan, berharap tetesan air mata kebebasanmu kutangkap di bumi sini. Kutampung hingga rampung di sudut memoar istimewa milikmu, saudariku.Â
Desember kala itu kehilangan satu hari, kau bawa pergi. Bintang jatuh nampaknya gagal mengamini sembuh. Hanya berhasil membunuh waktu yang terlalu lama kau tempuh setengah hidup. Di bawah nisan berukir namamu, ada senyum yang tak lagi pilu. Ku yakin akan itu. Tanpa infus, tanpa aroma karbol membius, tanpa berjejal obat terus menerus, tanpa lupus.Â
Tenanglah di sana, di antara awan dan sekawanan dara. Melambai damai pada tanah, pada lara. Pergimu adalah sembuh. Sembuhmu, sembuh ku, sembuh kita. Pergimu adalah utuh, dari segala isak sesak dunia.Â
Sambut aku dari pintu istana atas sana. Dari nirwana yang ku yakin kau ada. Sapa aku dari surgamu. Akan ku kirim senyum dari bilik di balik punggung malaikat Malik.
- Saudarimu -
[Jakarta, 03/09/24] [Revisi]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H