Tidak sulit untuk mengambil pilihan ketika kita mempunyai pilihan Prabowo dan Jokowi. Tidak sedikit pun punya beban moral untuk bilang "Saya pilih Jokowi." Pak Jokowi is a clear choice. Dia datang membawa kebaruan. Di sisi lain, ada Pak Prabowo, ya baru, bagian dari Orde Baru. Jadi di saat kita membutuhkan kebaruan, this is Orde Baru. (Anies Baswedan, 2014)
Bahwa Anies Baswedan bercita-cita menjadi presiden sama sekali bukan rahasia. Dia sudah pernah ikut konvensi Partai Demokrat pada tahun 2014. Ketika itu, konvensi dimenangkan Dahlan Iskan, walau akhirnya Demokrat memutuskan netral dalam Pilpres.
Di sisi lain, Anies yang hanya mendapat ranking 4, menuai hasil lain yang tak kalah positif, yaitu dukungan anak-anak muda perkotaan macam Rene Suhardono, Ligwina Hananto, Pandji Pragiwakson, dan lain-lain. Sejak menginisiasi gerakan Indonesia Mengajar, Anies memang menjadi idola baru kelas menengah perkotaan. Hebatnya, Anies berhasil menyulap rasa kagum itu menjadi dukungan politik dengan narasi "Turun tangan."
Puncak dari narasi ini adalah saat Anies berpidato di depan ratusan kelas menengah di Soehanna Hall - Energy Buiding - SCBD Jakarta, 18 Juni 2014. Dia memaparkan alasan mengapa harus mendukung Jokowi dalam Pilpres 2014.
Anies menjelaskan, sosok Jokowi adalah sosok yang orang baik yang ketika terjun ke dunia politik akan menghadapi banyak masalah salah satunya adalah kurangnya dukungan. Ini serupa dengan yang dia alami sendiri ketika ikut konvensi Partai Demokrat.
Dalam kesempatan itulah, Anies menembakkan mantra "orang baik mendukung orang baik lainnya terjun ke dunia politik". Dia dengan gamblang memaparkan keunggulan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai sosok baru dibanding Prabowo Subianto yang merupakan bagian dari Orde Baru (seperti kutipan di atas). Prabowo juga memiliki rekam jejak yang tidak baik jika dikaitkan dengan kerusuhan Mei 1998.
Namun, dalam perjalanannya kita tahu bahwa realitas politik berubah. Jokowi mencopot Anies dari jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kemudian, Anies bertarung dan menang dalam Pilkada DKI Jakarta dengan bersekutu dengan Prabowo.
Sudah pasti banyak yang patah hati melihat Anies dalam Pilkada DKI Jakarta yang menjadi simbol bagaimana Politik identitas agama dieksploitasi ke tingkat tertinggi, dan banyak ditiru di Pilkada 2018 lalu. Padahal, Anies kerap berpidato ihwal tenun kebangsaan yang terdiri-dari bermacam etnis, suku, agama.
Ternyata, Anies adalah "politikus kebanyakan" juga. Politikus yang menganut prinsip "Tak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi".
Kualitasnya sebagai "politikus kebanyakan" ini akan kian cetho welo welo jika akhirnya memutuskan maju dalam Pilpres 2019 dan berpasangan dengan Prabowo Subianto. Jika saya jadi teman atau timses Anies, saya pasti akan meminta dia bersabar dan menyelesaikan tugas di Jakarta sembari membuktikan bahwa dia mampu dan sukses menjadi gubernur. Cita-cita menjadi presiden atau wakil presiden lebih baik disimpan hingga 2024. Di tahun itu, Insyaallah, Prabowo sudah akan benar-benar pensiun dari Pilpres, sehingga Anies tak bisa dipermalukan dengan pidatonya di atas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H