Lalu bagaimana jika Anda melakukan Toxic Positivity terhadap diri sendiri, beberapa tanda yang dapat diamati, yaitu Anda kerap menyembunyikan perasaan asli dan mengatakan hal yang diinginkan orang lain; Put on a fake smile, dimana hal tersebut dapat terlihat jelas oleh orang lain, apalagi mengetahui Anda baru saja mengalami hal yang tidak menyenangkan. Tidak menjadi diri sendiri dan melakukan hal-hal yang tidak biasa, bahkan membuat orang lain tidak nyaman.
Lalu bagaimana dengan orang orang yang kerap mengatakan hal itu? Apakah mereka merupakan orang orang yang cukup mudah menyelesaikan masalah dengan perkataan mereka sendiri? Belum tentu. Bisa jadi mereka pun sedang berjuang dengan perasaan mereka sendiri. Hanya saja untuk tetap tampil baik dan pandai mengatasi masalah, ekspresi emosinya ditekan.
Manusia pada hakikatnya memiliki dua jenis emosi, emosi positif dan negatif. Emosi positif berupa senang, bahagia, ceria dengan ekspresi tertawa, lompat-lompat, senyum bahkan berteriak. Emosi Negatif pun dibagi menjadi Healthy negative emotion dan Unhealthy negative emotion. Menurut Albert Ellis, dalam Ellis & Dryden (1997) bahwa setiap orang akan mengalami Healthy negative emotion (misalnya: kesedihan, penyesalan, kekecewaan dan merasa terganggu) ketika keinginannya tidak terpenuhi. Jenis emosi tersebut dapat mengarahkan individu secara konstruktif membantu dirinya dalam melepaskan/ menyingkirkan hambatan dalam diri untuk mencapai tujuan dan juga membantu mereka secara konstruktif menyesuaikan diri terhadap keinginan yang belum tercapai.
Lalu bagaimanakah Unhealthy negative emotion itu? Menurut Albert Ellis (dalam Ellis&Dryde, 1997), jika dibandingkan dengan Healthy negative emotion, maka dapat diungkapkan sebagai berikut
- Khawatir vs cemas. Khawatir merupakan bentuk emosi yang diasosiasikan dengan suatu keyakinan seperti “Saya harap bahwa ancaman ini tidak terjadi, akan tetapi kalaupun terjadi akan sangat disayangkan”. Sedangkan kecemasan terjadi ketika seseorang meyakini sesuatu yang dicerminkan dengan pernyataan seperti ini, “Ancaman ini seharusnya tidak boleh terjadi, dan kalaupun ini terjadi akan sangat buruk nantinya”
- Kesedihan vs depresi. Ketika kesedihan yang terjadi pada seseorang kemudian dinyatakan dengan kalimat seperti, “Sungguh malang diri saya telah mengalami kehilangan ini, tetapi tidak ada alasan mengapa hal ini harus terjadi kepada saya. Terjadi begitu saja”. Lain halnya dengan depresi, ketika seseorang memiliki keyakinan yang dinyatakan dengan kalimat “Rasa kehilangan ini, seharusnya tidak boleh terjadi, sungguh menderita rasanya terjadi pada diri saya”. Dalam hal ini, seseorang yang merasa bertanggung jawab akan kehilangan akan mengutuk dirinya sendiri: “saya jelek”; “saya tidak mampu”. Jika kehilangan diluar kendali dirinya, maka ia akan mengutuk dunia luar di sekitarnya: “ ini buruk sekali”.
- Menyesal vs rasa bersalah. Perasaan menyesal biasanya muncul pada seseorang setelah ia sadar bahwa ia telah melakukan hal yang tidak baik dihadapan orang lain, kemudian menerima bahwa adalah wajar manusia melakukan kesalahan. Biasanya individu yang berpikir seperti ini, menyesali perbuatannya bukan dirinya sendiri. Perasaan bersalah, muncul ketika seseorang mengutuk dirinya sendiri sebagai seseorang yang buruk, terkutuk, jelek, tidak terpuji. Pada hal ini, individu ini merasa buruk akan perbuatan maupun dirinya sendiri karena ia memiliki keyakinan yang dicerminkan dengan pernyataan, “Saya semestinya tidak berperilaku buruk seperti itu, dan saya adalah orang yang buruk tidak baik dan mengerikan”
- Kekecewaan vs malu/ merasa dipermalukan. Perasaan kecewa terjadi pada seseorang yang telah berperilaku konyol di hadapan publik dan mengetahui bahkan menerima perilaku konyol tersebut seiring berjalannya waktu. Individu ini merasa kecewa akan perilakunya, tetapi bukan kepada dirinya sendiri, karena ia memang memilih begitu. Ia tidak memaksa dirinya sendiri harus selalu berperilaku baik dan manis. Bagaimana dengan perasaan malu/ merasa dipermalukan? Biasanya individu ini akan berpikir bahwa seharusnya saya tidak melakukan hal itu. Orang yang mengalami perasaan malu dan merasa dipermalukan biasanya akan berpikir dan memprediksi bahwa ada orang lain yang menyaksikan dan menilai buruk. Sehingga secara tidak langsung, seolah menyetujui anggapan orang lain tersebut, padahal belum tentu terjadi. Tidak jarang orang-orang yang merasa malu atau dipermalukan, membutuhkan pengakuan dari orang orang di sekitarnya.
- Merasa terganggu/ jengkel vs kemarahan/ murka. Kejengkelan terjadi ketika orang lain tidak menghargai standar/ aturan atau keberadaan diri atau dengan kata lain terdapat perbedaan dengan kita sehingga merasa terganggu/ jengkel. Seseorang yang merasa jengkel, tidak menyukai apa yang orang lain lakukan tetapi tidak semerta-merta mengutuk atau menghina orang lain tersebut. Pernyataan yang mencerminkan pemikiran seseorang yang jengkel seperti, “saya harap orang itu tidak melakukan hal tersebut, saya jengkel dibuatnya. Saya tidak suka dengan caranya, walaupun begitu saya sadar bahwa dia bisa saja melanggar aturan atau standar saya sih”. Bagaimana dengan orang yang marah atau murka? Seseorang yang marah atau murka, memiliki keyakinan yang absolut bahwa memang seharusnya orang lain tidak boleh melanggar aturan atau standar dirinya dan bahkan mengutuk orang lain karena telah melakukan kesalahan tersebut.
Healthy negative emotion walaupun terasa tidak nyaman pun tetap perlu diakui dan diungkapkan. Terimalah bahwa perasaan sedih, kecewa, khawatir pun merupakan hal yang wajar terjadi pada seseorang. Walaupun Anda secara spontan menangis, itu adalah hal yang alami terjadi. Tidak dapat dicegah maupun dihalang-halangi untuk tidak bersedih dan mengungkapkannya kepada orang lain atau mengekspresikannya secara terbuka.
Apa hubungannya dengan Toxic Positivity?
Ketika kita mencoba mengungkapkan perasaan sedih kita namun kita mendapat respons positif namun terasa tidak nyaman, justru akan membuat kita merasa tidak didukung, merasa tidak ada tangan yang mau merangkul atau mewadahi keluh kesah kita. Terlebih lagi, kata-kata tersebut menjadi keyakinan yang ditanamkan dalam diri, bahwa misalnya kesedihan itu membuang buang waktu. Marah adalah tidak wajar karena kita perlu bersyukur. Ada pengabaian perasaan dalam hal ini. Hak untuk merasakan genuine feeling, tersingkirkan oleh anggapan terus menjadi baik dan merasa baik adalah kunci dari segala penyelesaian masalah.
Berdasarkan penelitian Levenson (1997) yang melakukan penelitian terhadap sekelompok orang, mengenai efek akut yang diperoleh dari menahan untuk mengekspresikan emosi positif maupun negatif. Pada salah satu kelompok Supression (yang menahan emosi) diminta untuk menonton film dan tidak diperbolehkan untuk menunjukkan ekspresi apa pun selama menonton. Film yang ditonton merupakan film sedih, senang dan Partisipan melaporkan pada sesi evaluasi bahwa ia pun tidak merasakan senang walau menonton film yang lucu.
Dari sisi mana pun Anda berada, Anda pun akan merasa tidak nyaman karena mengetahui ada yang tidak selesai. Semakin lama Anda menahan perasaan negatif Anda, maka akan berbahaya bagi diri Anda sendiri. Bayangkanlah setiap Anda mencoba untuk mengekspresikan diri, kemudian Anda menahan ekspresi emosi Anda atau perkataan orang lain yang mengandung Toxic Positivity diucapkan pada saat Anda sedang sedih. Emosi negatif Anda tertumpuk dalam suatu toples yang semakin lama semakin penuh, hingga pecah dan tumpah ruah tak terkendali. Apakah Anda ingin hal tersebut terjadi pada Anda? Sama halnya dengan toksin tubuh, yang tidak dikeluarkan dari tubuh maka akan merusak tubuh secara perlahan lahan.
Tips untuk menghadapi Toxic Positivity kepada orang lain maupun diri sendiri:
Secara tidak sadar kita pun dapat menjadi seseorang yang mengucapkan kalimat-kalimat yang mengandung Toxic Positivity. Dengan mekasud memberi semangat atau sekedar mempercepat respons kepada orang lain yang barangkali kita anggap permasalahan yang ia ungkapkan adalah masalah sepele. Hati-hati ya teman-teman, perkataan kita tanpa diimbangi empati, berlanjut kepada berubahnya muatan positif hubungan baik Anda menjadi negatif alias tidak nyaman atau menjadi ada jarak. Berikut, beberapa tips yang dapat Anda cermati dalam menghadapi Toxic Positivity terhadap orang lain dan juga kepada diri sendiri.
Kepada orang lain
- Kenali orang yang cemas, pemalu dan kurang terbuka akan hal baru. Dengan identifikasi sederhana melalui pengamatan kita, maka akan lebih memahami keadaan orang lain yang mungkin membutuhkan bantuan dan kita pun dapat mengidentifikasi bantuan seperti apa yang mampu kita berikan.
- Ganti frasa kata. Misalnya ketika Toxic Positivity berbentuk kata-kata seperti, “semua akan baik-baik saja”; “kamu harusnya lebih sering tersenyum”; “kamu kan psikolog, harusnya lebih paham perasaan orang lain”; “lihat sisi baiknya”.
- Dapat diganti dengan “apa yang dapat saya bantu?”; “apakah semua baik-baik saja?”; “kamu merasa berat ya, ada yang bisa saya lakukan?”; “maukah kamu membicarakannya?”; “ aku tahu beberapa hal dapat menjadi sangat berat atau sulit untuk dihadapi. Saya di sini untuk mendampingi/ membantumu”.
- Apa pun kalimat yang dapat Anda gunakan kepada orang lain sekiranya yang juga ingin kita dengar dari orang lain kepada kita, ketika sedang menghadapi permasalahan.
- Pahami mengapa orang lain berbicara seperti itu. Sama halnya dengan poin pertama, terkadang dengan mengetahui apa yang sedang ia alami, atau pengalaman yang kita ketahui mengenai orang yang ada di hadapan kita ini, akan membantu kita lebih memahami dan menerima kondisi mereka.
- Welas asih. Berbaik sangka, berbagi kasih sayang dan bukalah tangan Anda untuk membantu mereka, walau dengan hanya hadir disampinginya dengan tidak melakukan apa pun. Barangkali mereka hanya butuh ditemani atau pendengar tanpa banyak komentar dan saran solusi
Kepada diri sendiri
- Jadi diri sendiri yang mengakui butuh akan bantuan. Terima apa yang Anda alami dan terbuka untuk meminta pertolongan kepada pihak yang dapat dipercaya.
- Belajar rehat sejenak untuk memperhatikan. Tarik nafas sebentar, mengambil langkah mundur untuk melihat keadaan sekitar dalam rangka memberi ruang dan waktu bagi sendiri merupakan hal yang sederhana namun menenangkan. Anda juga dapat mencoba teknik Mindfullness untuk kembali membawa diri Anda kepada keadaan sadar terkini. Berlatih untuk tidak selalu menetap di keadaan masa lalu, dan memikirkan jauh ke masa depan.
- Bicarakan emosi Anda. Membahas emosi dapat membantu Anda melepaskan beban berat dan tak jarang membantu Anda mencapai hidup yang bermanfaat. Bicarakan emosi Anda, jangan ditutup-tutupi. Cari orang yang Anda rasa nyaman dan dapat dipercaya untuk mengungkapkan perasaan Anda dan berbagi kisah dengannya. Namun, bagaimana jika Anda tersinggung dengan ucapan mereka? Berlatih untuk mengkomunikasikan perasaan dan pendapat Anda secara asertif. Tidak mudah, tapi patut dicoba. Selama kita mengungkapkan apa yang kita rasakan dan pikirkan, perlahan-lahan rasa tidak nyaman memudar dan keberanian mulai tumbuh. Lalu, bagaimana kalau kita masih sering bertemu dengan orang yang kerap menggaungkan Toxic Positivity? Maka, batasi.
- Batasi pertemuan dengan orang orang/ lingkungan yang membuat Anda sakit. Jika dirasa pertemuan dengan mereka merupakan sesuatu yang membangkitkan rasa sakit Anda, tidak perlu dipaksa untuk bertemu maupun mencari atau dengan sengaja mengenai kabar-kabar orang yang membuat Anda kurang nyaman. Hanya saja, jika mau tidak mau bertemu karena 1 tempat kerja atau masih berkegiatan bersama, coba untuk kuasai diri Anda. Tetapkan tujuan Anda masih tetap berada di tempat tersebut dan coba selesaikan bertahap dan konstruktif, mengenai apa yang perlu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab Anda terhadap diri dan urusan profesional.
- Batasi sosial media. Mulai kurangi waktu Anda melihat-lihat akun sosial media Anda, terutama melihat kabar terbaru dari orang-orang yang Anda ikuti. Buat jadwal dalam 1 hari, dibatasi waktunya untuk seperlunya saja. Matikan gawai Anda jika diperlukan.
- Dalami "makna". Amati dan pelajari hal apa yang Anda peroleh dari yang sudah dialami. Apa yang berubah dari diri Anda, yang kemudian membuat Anda melakukan hal-hal yang tidak biasa? Perhatikan, apakah itu membuat Anda semakin baik atau buruk?
- Buat jurnal yang realistis apa yang mau Anda tuangkan kesana. Tuangkan dan lepaskan. Apa pun bentuk jurnal Anda, apakah itu tulis tangan maupun digital, tumpahkan semua uneg-uneg Anda dengan bebas. Setelah Anda merasa lega, walaupun baru sedikit, tetap disyukuri bahwa Anda memiliki kebebasan sendiri tanpa halangan. Setelah itu, mulai perlahan-lahan buatlah tulisan yang menjadi harapan baik Anda dan mampu Anda wujudkan walau hanya sederhana. Tulis progres nya di jurnal Anda. Bagaimana jika tidak ada? Tidak apa, tulis saja apa yang ada di pikiran Anda. Dengan begitu, Anda tetap dapat mengungkapkan emosi Anda tanpa perlu mengkhawatirkan bagaimana pendapat orang lain.
Positif yang sesungguhnya adalah menerima emosi yang ada dalam diri kita. Makna kebahagiaan itu adalah hal yang mutlak, apakah Anda sedang merasa sedih maupun bahagia. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang kita rasakan dan kita ciptakan sendiri. Lingkungan membantu kita untuk memantapkan diri mencapai kebahagiaan. Percaya kepada kemampuan diri dalam keadaan apa pun, disitulah letak makna positif terhadap diri kita dan kepada orang lain.
Referensi:
Ellis, Albert & Dryden, Windy. 1997. The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy: Second Edition. New York : Springer Publishing Company