Kupaksa diriku untuk membuka kedua mataku dengan jari jempol dan telunjuk tangan kiri dan tangan kananku. Hasrat ingin tidur menguasaiku, namun aku harus bangun dan melakukan aktivitasku setiap hari yang memang menjadi kewajibanku jika ingin bertahan hidup di kota besar, jauh dari tempat kelahiranku, di desa kecil di pulau seberang.
           "Desaku yang kucinta
            Pujaan hatiku
            Tempat ayah dan bunda
            Dan handai tolanku
Â
            Tak mudah kulupakan
            Tak mudah bercerai
            Selalu kurindukan
            Desaku yang permai"
Â
   Terngiang kembali lagu masa kecilku yang paling kusukai. Setiap kali guru seni suara menyuruh kami untuk bernyanyi di depan kelas, maka tiada lagu lain yang terlintas dalam benakku kecuali lagu tentang desaku ini. Teman-temanku sudah pada tahu lagu apa yang akan kunyanyikan, namun aku tak peduli. Yang penting hatiku senang menyanyikannya walaupun yang lain tak suka, hahaha....
   Pengalaman masa kecilku di desa dengan sungai kecil yang airnya berwarna cokelat seperti the, tetapi jernih, terbayang di mataku.
   Terlahir sebagai putra ketiga dari sepuluh bersaudara, empat laki-laki dan enam perempuan, membuat masa kecilku berwarna-warni, penuh dengan kenangan berharga yang tak bisa kubeli kembali.
   Bermain air di sungai, saling memercikkan air hingga basah kuyup, berenang dengan gaya "batu", yang penting bisa mengapung di sungai, sudah membuat hati kami senang walaupun kondisi keuangan orang tua kami pas-pasan saja.
   Masih melekat dalam ingatanku perbuatan-perbuatan jahil yang pernah kulakukan bersama teman-teman sekampungku. Hanya ada empat deret jalan kecil di desaku, tapi karena belum ada program keluarga berencana pada masa itu, maka teman-teman bermain yang usianya tidak terpaut jauh dariku cukup banyak di kampungku.
   Pada suatu senja, aku dan beberapa teman karibku menyelinap ke satu-satunya wihara yang ada di desa kami. Hari itu adalah hari suci Uposatha Sila sehingga banyak orang yang bersembahyang di wihara dengan mempersembahkan kue dan buah-buahan di altar sembahyang.
   Melihat banyaknya kue dan buah-buahan, apalagi jeruk manis kesukaanku, membuat air liurku menetes dan menimbulkan niat buruk untuk mengambilnya.
   Kuraih sebuah jeruk yang terbesar di dekatku dan memakannya dengan kecepatan tinggi karena takut ketahuan. Dalam sekejap jeruk manis tersebut sudah berpindah ke perutku.
   Teman-temanku yang lain juga berbuat hal yang sama rupanya. Mereka juga mengambil kue atau buah-buahan persembahan dari umat yang bersembahyang tadi pagi.
   Tiba-tiba, "Daaarrr!!!"
   Suara guntur mengejutkan kami yang baru saja melakukan kesalahan, sepertinya alam pun memberikan peringatan kepada kami agar tidak berbuat kesalahan.
   Tanpa aba-aba, kami langsung berlari keluar dari wihara tersebut dengan kecepatan tinggi seolah-olah dikejar oleh hantu.
   "Haaa...," lega rasanya setelah berhasil keluar dari wihara tersebut, namun aku baru menyadari bahwa aku bukannya berlari ke arah perkampungan, tetapi malah masuk ke dalam hutan yang ada di dekat wihara tersebut.
   Malam tiba dengan segenap pengaruhnya yang mencekam, membuat aku segera tersadar dengan kegelapan yang mengepung diriku. Aku harus segera keluar dari hutan ini sebelum terlambat.
   Hanya dibantu oleh sinar sang rembulan, aku pun berusaha berjalan kembali ke arah desa.
   Kuyakin dengan arah yang kutuju, namun anehnya aku hanya berputar-putar di sekitar situ saja. Kuyakinkan diriku dengan berpedoman kepada sebuah pohon tua yang agak aneh bentuknya, dahan-dahannya menjuntai ke bawah bak rambut seorang wanita yang menambah keseraman hutan tersebut.
   "Baiklah, sekarang aku akan mulai berjalan dari pohon tua ini ke arah utara yang menurutku arah yang benar untuk kembali ke desaku," kataku lantang seolah-olah ingin didengarkan oleh seisi hutan tersebut.
   Kuayunkan langkahku dengan pasti. Namun apa yang terjadi.
   Setelah berjalan selama beberapa saat, aku kembali ke tempat di mana tempat pohon tua tersebut menyambutku dengan dahannya yang menjuntai seperti rambut seorang wanita.
   "Iiihhh! Seram!"
   "Lo, mengapa aku kembali ke tempat yang sama?" Rasa takut mulai menguasaiku. "Bagaimana ini?" pikirku cemas. Orang tuaku pasti akan memarahiku jika aku belum tiba di rumah untuk makan malam bersama.
   Kucoba lagi dengan mengambil arah yang berbeda dari yang tadi kujalani. Sekali lagi aku kembali ke tempat semula. Hal tersebut kuulangi beberapa kali, namun sia-sia. Aku hanya berputar-putar di situ saja.Â
   "Aneh ya?'' pikirku dalam hati, "Apakah ini yang dinamakan dengan hukum sebab dan akibat?"
   Rasa lelah membuatku terduduk lemas di bawah pohon tua tersebut. Kupikirkan cara untuk keluar dari hutan ini.
   "Ya!" aku menjentikkan jariku dengan senang. Terpikir olehku cara terakhir yang pernah kudengar dari Ayahku.
   Semoga kali ini aku berhasil keluar dari hutan ini. Doaku dalam hati.  Selanjutnya aku juga memohon maaf atas kesalahan yang telah kuperbuat tadi dengan tulus dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
   Dengan segera kutanggalkan semua pakaian yang kukenakan pada saat itu. Lalu aku buang air kecil.
   Semua itu kulakukan sebagai jurus terakhir untuk bisa keluar dari hutan ini sesuai dengan pesan Ayah kepada kami sebelumnya.
   Kuyakinkan diriku bahwa kali ini aku akan berhasil. Kulangkahkan kakiku dengan pasti ke arah utara yang menurutku adalah arah yang benar. Tentu saja tidak lupa kubawa semua pakaianku.
   Setelah berjalan selama beberapa saat, tiba-tiba aku melihat cahaya lampu remang-remang di kejauhan sana. Perasaan lega membuatku tertawa lepas  tanpa terkendali. Cepat-cepat kukenakan kembali pakaianku dan segera berlari pulang.
   "Aduh, sudah jam berapa ini? Sempat-sempatnya pula aku melamun," bergegas aku berlari terbirit-birit ke kamar mandi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H