Mohon tunggu...
Wimbo B Wibowo
Wimbo B Wibowo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Anggota HMI

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sosialisasi UU KAMNAS

6 Februari 2012   12:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:59 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RUU KAMNAS

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan sebagai penjuru telah mengajukan RUU Kamnas kepada DPR untuk dibahas dan disahkan. Saat ini RUU Kamnas masuk dalam prolegnas 101, INPRES 2010 yang proses legislasinya di DPR. Pada 23 Mei 2011 telah dikeluarkan surat Presiden yang ditujukan kepada DPR dalam hal Pembahasan RUU Kamnas dan penunjukkan Menhan, Mendagri, dan Menkumham sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Kamnas. RUU Kamnas ini dibuat dalam 7 Bab dan 60 pasal plus penjelasan pasal-pasalnya. Bab I (1 pasal) berisi ketentuan umum, Bab II (3 pasal)- Hakekat, tujuan dan fungsi Kamnas. Bab III (11 pasal)-Ruang lingkup Kamnas, Bab IV(2 pasal)- Ancaman Kamnas, Bab V (39 pasal)- Penyelenggaraan Kamnas, Bab VI (2 pasal)- Ketentuan Peralihan dan Bab VII (2 pasal)- Ketentuan penutup.

Pembahasan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) akan dilakukan pada awal tahun 2012. Namun beberapa rumusan pasal dalam RUU Kamnas masih memiliki permasalahan redaksional maupun substansial yang saling tumpang tindih. Terlalu luasnya kategori ancaman keamanan nasional dari substansi Undang-Undang menurut versi pemerintah menjadi ruang besar terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Dengan atas nama ancaman terhadap keamanan nasional yang luas itu maka negara dapat mengidentifikasi kelompok-kelompok yang kritis terhadap kekuasaan sebagai bagian dari ancaman keamanan sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu yang sebenarnya di era demokrasi tujuan dari adanya kritisi terhadap kebijakan pemerintah adalah sebagi sarana kontrol sosial terhadap berbagai kebijakan tersebut yang tidak memihak kepada rakyat.

Lebih dari itu, pemberian kewenanangan khusus bagi TNI dan BIN untuk melakukan pemeriksaan dan penangkapan sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 54 huruf e jo pasal 20 RUU Keamanan Nasional juga dianggap mengancam penegakkan hukum, HAM dan demokrasi. Pemberian kewenangan menangkap kepada BIN dan TNI akan merusak mekanisme criminal justice system dan juga akan membajak sistem penegakkan hukum. Dimana dalam tataran negara demokrasi dimanapun di dunia proses penegakkan hukum hanya dilaksanakan oleh para aparat penegak hukum sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai lembaga yang bukan menjadi bagian dari aparat penegak hukum, pemberian kewenangan menangkap BIN dan TNI sama saja melegalisasi kewenangan penculikan di dalam RUU Keamanan nasional mengingat proses yang dilakukan tanpa di damping pengacara, tidak diketahui keluarga ataupun pihak lain yang terkait sebagaimana di atur dalam KUHAP. Peran TNI adalah sebagai aparat negara di dalam bidang pertahanan bukanlah dalam ranah sebagai penegak hukum hal ini adalah kekeliruan yang sangat besar yang pada akibatnya akan menimbulkan penindasan terhadap rakyat dengan dalih kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Undang-Undang Kamnas tersebut. Seharusnya pemerintah lebih memikirkan tentang profesionalisme TNI dalam menjaga kedaulatan negara bukan malah membuat suatu Undang-Undang yang menimbulkan kekisruhan dengan mencoba memasukan TNI sebagai unsur penegak hukum.

Kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum yakni Polisi, Jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya. Dalam konteks itu, BIN maupun TNI bukanlah bagian dari aparat penegak hukum sehingga adalah salah dan keliru apabila mereka diberikan kewenangan menangkap. Selain itu tindakan upaya paksa dalam bentuk penangkapan, pemeriksaan, penahanan dan penyadapan hanya dapat dilakukan oleh penyidik sesuai dengan KUHAP yang telah mengatur tindakan upaya paksa tersebut dengan memperhatikan nilai-nilai HAM Pemberian kewenangan penangkapan kepada lembaga intelejen dan TNI akan menimbulkan tumpang tindih kerja antar aktor keamanan khususnya antara BIN, TNI dengan institusi kepolisian. Hal ini akan menimbulkan kerumitan dalam tata kelola sistem keamanan nasional dan menimbulkan persoalan dalam pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam pelaksanaaanya selain itu akan menimbulkan kekacauan dan kerancuan sehingga berpotensi terjadi permasalahan baru yang sangat serius diantara institusi-institusi tersebut.

Pemberian kewenangan menangkap dan memeriksa itu langkah mundur bagi reformasi sektor keamanan. RUU Keamanan Nasional tidak perlu memberikan dan mengatur tugas pokok baru kepada aktor-aktor keamanan mengingat tugas pokok kemanan dalam negeri sudah diamanatkan kepada Polri sesuai dengan amandemen UUD 1945 dan Undang-Undang No 2 Tahun 2002

Kita bisa mencatat beberapa poin persoalan, yang menyebabkan publik wajib mewaspadai supaya tidak menjadi UU yang kontraproduktif bagi kehidupan sosial politik warga negara Indonesia yang mayoritas penghuninya adalah umat Islam.
1. Ada Paradigma di dalam pasal yang multitafsir dan ambigu
2. Belum sinkron dengan UU yang sudah ada dan operasionalnya masih berpeluang tumpang tindih dengan: UU KUHAP No. 8/1981, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU HAM No 39/1999, UU No 2 tahun 2002 tentang Polri,UU No 3 tahun 2003 tentang Pertahanan Negara,UU No 34 tahun 2004 Tentang TNI,UU No. 15/2003, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang merupakan pengesahan/penetapan Perpu No. 1/2002.
3. Berpotensi Merugikan Hak dan Privasi Publik
4. Berpotensi Digunakan Alat represi Pemerintah
Empat poin di atas sangat beralasan, sebab di antaranya adalah adanya sejumlah pasal yang bersifat karet, multipersepsi dan abu-abu. Keberadaan pasal dan ayat-ayat ini jelas ditujukan untuk mengeliminir pihak yang dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi keamanan nasional. Namun tidak terdefinisikan dengan baik dan terukur frase “ancaman” tersebut.
Tidak hanya itu, kewenangan-kewenangan yang terkesan pengulangan dari RUU Intelijen yang berbau represif juga menjadi substansi dalam RUU Kamnas. Berikut persoalan yang krusial;
1. Ancaman terhadap keamanan nasional didefinisikan bukan saja dalam bentuk militer tetapi juga selain militer yang membahayakan keselamatan serta mengancam keutuhan bangsa. Dijelaskan dalam RUU Kamnas bahwa salah satu yang dianggap sebagai ancaman bukan bersenjata adalah radikalisme dan ideologi asing. Artinya ketika Indonesia tidak clear terhadap ideologinya maka penilaian terhadap sebuah ideologi itu asing atau tidak menjadi absurd. Seperti pepatah “kuman disebrang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak tampak”, Indonesia punya pengalaman menterjemahkan “ideologi” Pancasila ke warna kiri bahkan seperti saat ini sangat kapitalis-sekuler-liberal. Pertanyaanya, apakah ini ideologi asing atau bahkan sudah menjadi ideologinya?
2. Ancaman terhadap keamanan nasional yang dibahas dan akan dieliminir nantinya bukan saja ancaman aktual, tetapi ancaman yang bersifat potensial. Artinya sangat memungkinkan untuk memberangus individu maupun kelompok yang dianggap berpotensi sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Apalagi diberikannya wewenang khusus kepada DKN (dewan keamanan nasional) untuk melakukan cegah dini baik berupa penyadapan hingga penangkapan. Ini sangat berpeluang lahirnya tirani baru atas nama UU.
3. Dalam RUU Kamnas ini yang dikategorikan ancaman bukan saja terhadap negara dan penyelenggara pemerintahan, tetapi terhadap perorangan atau kelompok. Artinya, bisa saja seseorang atau kelompok akan ditindak secara hukum bila dianggap telah mengancam seseorang atau kelompok lain, baik secara aktual maupun potensial. Pasal ini akan memberi ruang yang luas bagi individu maupun kelompok liberal atau sesat untuk tetap eksis dan mengembangkan ajaran mereka asal sejalan dengan keamanan nasional. Sebaliknya, kalangan muslim yang kritis apalagi melakukan aksi penentangan terhadap kelompok-kelompok tersebut, bisa ditindak secara hukum karena mengancam seseorang/kelompok lain.
4. Selain itu, memberikan kewenangan “khusus” kepada Dewan Keamanan Nasional untuk melakukan langkah kongkrit, penyadapan, penindakan, dengan memberikan wewenang kepada TNI dan BIN untuk melakukan penangkapan, pemeriksaan dan penyadapan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 huruf e jo Pasal 20 RUU Kamnas. Tentu ini akan berpotensi lahirnya penguasa yang represif dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Maka menjadi persoalan serius, ketika dalam RUU ini tidak mampu menjadikan amunisi “ancaman” dilesatkan pada sasaran yang tepat menemukan rumusan aktual ancaman yang hakiki. Maka dengan RUU ini, alih-alih bisa menjaga kedaulatan, pertahanan dan keamanan nasional, yang terjadi bisa sebaliknya; distabilitas politik dan keamanan. Sikap Rakyat yang kritis dan berharap perubahan ke arah lebih baik bisa menjadi musuh dan di stempel sebagai ancaman. Karena negara tipe non-ideologis berpotensi represif terhadap rakyat, karena kecondongan melihat ancaman adalah setiap individu atau kelompok masyarakat yang kritis terhadap status quo.
Ruang lingkup pengaturan RUU Kamnas terlalu luas, belum terfokus dan belum terstruktur secara sistematis. Secara umum, RUU ini masih memiliki banyak kelemahan dan perlu pembahasan lebih dalam, berikut di antara beberapa pasal yang perlu dikritisi:
Pertama; Pasal 1 ayat 2
Ancaman adalah setiap upaya, kegiatan, dan/atau kejadian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang mengganggu dan mengancam keamanan individu warga negara, masyarakat, eksistensi bangsa dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional.
(Tidak adanya definisi yang jelas tentang ‘ancaman’ memungkinkan untuk mengeliminasi setiap kelompok dan ideologi yang dipandang sebagai ancaman. Hal ini sejalan dengan paradigma ketahanan nasional yakni memandang ancaman bukan sekedar militer tetapi juga “tidak bersenjata” yang AKTUAL maupun POTENSIAL. Hal ini sangat bertentangan dengan hak-hak sipil masyarakat dalam memberikan aspirasi sehingga akan mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran HAM baru yang dilakukan oleh pemerintah)
Kedua; Pasal 1 ayat 13
Ancaman tidak bersenjata adalah ancaman selain ancaman militer dan ancaman bersenjata yang membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa.
(Ayat ini sejalan dengan ayat di atas, bahkan lebih spesifik lagi bahwa siapapun dan apapun yang “membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok”, artinya ayat ini bisa digunakan untuk menjalankan peran TNI dan BIN dengan tindakan represinya yang tanpa rambu-rambu peraturan perundang-undangan mengeliminir kelompok-kelompok masyarakat yang dainggap mengancam keselamatan individu, kelompok dan mengatas namakan negara padahal hal tersebut adalah hanya kamuflase pemerintah untuk mengamankan kekuasaannya.)
Ketiga;Pasal 4 huruf c & d
memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional melalui tahapan pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, penanggulangan, dan pemulihan; dan menunjang dan mendukung terwujudnya perdamaian dan keamanan regional serta internasional.
(Pasal ini akan membatasi ruang gerak kelompok yang dikategorikan dan dianggap sebagai ancaman bukan saja terhadap nasional, tetapi juga regional dan internasional)
Keempat; Pasal 5 jo Pasal 9 point a huruf 4 jo Pasal 1 ayat 12 jo pasal 17 jo Pasal 20.
Unsur keamanan nasional terdiri atas:
1. Tingkat Pusat yang meliputi: a. Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kementerian Negara; b. Tentara Nasional Indonesia (TNI); c. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri); d. KejaksaanAgung; e. Badan Intelijen Negara (BIN); f. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); g. Badan Nasional Narkotika (BNN); h. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT); dan i. Lembaga Pemerintah Non Kementerian terkait.
(Ruang lingkup keamanan nasional, identifikasi ancaman dan unsur keamanan nasional yang diatur dalam RUU ini terlalu luas sehingga menimbulkan ruang dan peluang terjadinya tumpang tindih kerja dan fungsi antar aktor keamanan dan mengandung pertentangan antara Undang-Undang yang mengatur tentang masing-masing Institusi di dalamnya. Hal tersebut akan menambah carut marut tatanan kehidupa socsal masyarakat yang saat ini sudah sangat terpuruk akibat dari adanya tata kelola pemerintahan yang tidak memihak kepada rakyat)
Kelima; Pasal 17 ayat 1
Ancaman keamanan nasional di segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis ancaman yang terdiri atas: a. ancaman militer; b. ancaman bersenjata; dan c. ancaman tidak bersenjata.
(Pasal ini mendudukkan hal yang mengancam negara bukan saja secara militer atau bersenjata, tetapi juga yang tidak bersenjata berupa ideologi dan pemikiran. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan pasal 17 ayat 1 huruf c.)
Keenam; Pasal 54 huruf e jo 20
Unsur Keamanan Nasional tingkat pusat meliputi :
“TNI, BIN, BNPT dan Polisi……..”
Penjelasan Pasal 54 huruf e:
“Kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur keamanan nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap dan melakukan tindakan paksa ………..”
(Keinginan untuk meminta kewenangan menangkap itu sesungguhnya pengulangan dari kewenangan yang diminta dalam RUU Intelijen. Hal ini menunjukkan adanya rencana yang terselubung dan terencana dari pemerintah dalam membuat RUU bidang pertahanan dan keamanan (RUU Keamanan Nasional dan RUU Intelijen) dengan tujuan yang politis yakni berkeinginan mengembalikan posisi dan peran aktor keamanan (TNI dan BIN) seperti pada format politik orde baru yakni meletakkan kedua institusi itu sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Sikap pemerintah yang berkeinginan memberikan kewenangan menangkap kepada BIN dan TNI bukan hanya akan merusak mekanisme criminal justice system tetapi juga akan membajak sistem penegakkan hukum itu sendiri, dengan kewenangan tersebut maka berpotensi melakukan pelanggaran HAM karena TNI dan BIN dalam melakukan upaya paksa seperti menangkap, menahan, dan memeriksa serta menyadap tidak memiliki dasar hukum karena kewenangan tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan KUHAP, dan di Negara manapun di dunia ini peranan dari tentara adalah bukan merupakan aktor penegak hukum melainkan sebagai unsure pertahanan Negara.)
Ketujuh; Pasal 25 huruf b dan d
Dewan Keamanan Nasional mepunyai tugas;
b. Menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman; d. mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional;
(Tidak jelasnya batasan ancaman dan pengertian radikalisme, serta ideologi transnasional menjadikan pasal ini bisa mengancam siapa saja dan membuat Dewan Kamnas punya wewenang penuh untuk menetapkan kondisi keamanan dan batasan eskalasinya, serta mengendalikan keamanan nasional. Pasal ini mengarahkan pemerintahan menuju militeristik dan tirani dengan melakukan tindakan-tindakan oleh unsur-unsur Militer.)
Kedelapan;Pasal 55 dan 56
Pembiayaan:
1. Biaya penyelenggaraan keamanan nasional dibebankan pada anggaran pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Pasal 55 dan pasal 56 menambah berat beban rakyat yang seharusnya anggaran tersebut yang berasal dari APBN yang merupakan uang dari rakyat yang di kelola oleh pemerintah dapat diberikan untuk melaksanakan pembangunan yang lebih mendesak saat ini untuk mensejahterakan rakyat bukan untuk menambah beban biaya demi para penyelenggara Kamnas yang tujuannya justru membatasi kebebasab rakyat dan bahkan memberikan dampak kekuasaan negara yang otoriter dan militeristik serta menindas rakyat)
Pada saat ini pemerintah justru seharusnya jeli dan peka terhadap rakyat yang masih sangat tenderita bukan membuat undang-undang yang justru akan menambah kisruh situasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah seharusnya memberikan prioritas untuk mensejahterakan rakyat sesuai dengan janji-janji kampanye dahulu dan mengemban amanat UUD 1945 yaitu mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Di negara Indonesia saat ini yang sudah dalam keadaan terpuruk tidak memerlukan adanya retorika dari pemerintah dengan membuat undang-undang yang justru ujung-unjungnya adalah untuk kepentingan kekuasaan dengan mengerahkan kekuatan militernya, rakyat sudah bosan dengan seluruh kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat. Seharusnya penyelenggara negara berkaca bahwa sesungguhnya pimpinan negara ini di pilih oleh rakyat dengan harapan rakyat Indonesia yang memilihnya mendapatkan seorang pemimpin yang dapat membawa bangsa ini kepada kesejahteraaan kemakmuran dan keadilan serta demokrasi yang sehat.

KASUS SANDAL JEPIT
Peradilan pidana kita untuk kesekian kalinya mempertontonkan peradilan yang sangat memilukan rasa keadilan. Dimulai dari kasus Mbok minah yang dituduh mencuri kakao, kasus pencurian kapuk dll kasus yang menyayat, kini peradilan dan penegakan hukum yang mengusik rasa keadilan terjadi lagi dalam kasus pencurian sandal jepit oleh terdakwa AAL seorang anak kecil yang terpaksa mengaku karena dipukuli oleh oknum Brimob yang mengaku memilki sandal jepit lagi.
Dalam kehidupan hukum yang terjadi di Indonesia dan dalam konteks normative an sich, peradilan seperti ini bukanlah hal yang luar biasa, karena memang hukum dibuat untuk menjaga ketertiban dan jaminan perlindungan setiap orang terhadap gangguan-gangguan orang lain yang tidak berhak. Hukum bertugas menjaga keseimbangan tersebut, tentu melalui alat perlengkapan Negara yang biasa disebut aparatur penegak hukum. Aparat penegak hukum bertugas menegakan hukum tersebut manakala terjadi pelanggaran hukum.
Problemnya adalah, dalam penegakan hokum pidana yang rata-rata masih menggunakan pasal-pasal peninggalan colonial tentu saja diperlukan aparat penegak hukum yang mengerti, memahami dan menghayati bunyi pasal-pasal tersebut dalam konteks keindonesiaan, sebab kalau tidak, aparat penegak hukum akan terjebak dalam pergulatan masalah keadilan. Keadilan adalah tujuan utama dari penegak an hukum. Aparat penegak hukum dituntut untuk mengerti bahwa pasal-pasal dalam KUHP tersebut dibuat dalam konteks dan spirit penjajahan dan bertujuan menindas rakyat jajahan. Jadi polisi, jaksa dan hakim harus benar-benar menjalankan norma hukum peninggalan kolonial dalam konteks masa Indonesia merdeka.
Kasus AAL atau kasus sandal jepit ini, apabila dilihat dari optic hukum pidana materil yang sempit (KUHP), tentu saja paling tidak memenuhi unsur pasal 362 KUHP tentang pencurian dan tidak ada yang salah dalam proses penyidikannya. Instrument system peradilan pidana tentu saja sudah boleh memulai prosesnya. Tanpa harus  berfikir apakah kasus AAL ini apabila diproses akan memenuhi rasa keadilan atau tidak, polisi sebagai ujung tombak dari peradilan pidana semestinya harus sudah berfikir, apakah penerapan pasal 362 KUHP dalam kasus AAL ini akan mempunyai arti atau tidak? Kita bisa merujuknya kepada pasal V Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946.
Pasal V UU NO 1 Thaun 1946 ini memberi batasan tentang penerapan pasal-pasal hukum pidana baik yang ada dalam KUHP maupun di luar KUIHP. Apakah mengajukan perkara pencurian sandal jepit ini akan membawa maslahat bagi tersangka, Negara dan masyarakat? Dari sudut tersangka tentu saja peradilan anak selalu membawa dampak yang negative sesederhana apapun bentuk peradilan itu dilakukan. Dari aspek Negara, peradilan s andal jepit ini akan membebani administrasi peradilan pidana, antara proses dan tujuan yang hendak dicapai tidak seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan. Jadi cost and benefitnya sama sekali tidak diperhitungkan oleh aparat penegak hokum.
Dari sudut pandang optic masyarakat, peradilan terhadap AAL ini dirasakan sebagai sebuah bentuk penindasan Negara terhadap rakyat, karena rakyat masih melihat kasus-kasus besar tidak pernah tersentuh oleh hokum, sementara kasus kecil seperti sandal jepit ini Negara dengan serta merta merespon nya dengan cara mengajukan ke peradilan pidana. Rakyat akan memandang bahwa hukum hanya tajam kepada rakyat kecil tetapi hokum akan tumpul manakala bersentuhan dengan rakyat yang mempunyai staus social, politik dan ekonomi yang tinggi. Summum ius summa iniuria. Keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi.
Jargon viat justitia roeat coelum, tegakan hukum walau langit akan runtuh, rupanya diadopsi secara verbal oleh aparat penegak hukum. Padahal dalam konteks penegakan hukum jargon ini harus dimaknai bahwa disana ada asas praduga tak bersalah, asas persamaan di depan hukum, asas kemanfaatan dan asas keadilan. Ada selective law enforcement dalam penegakan hukum tetapi tidak boleh terjadi discriminative law enforcement. Jargon ini dapat dipakai oleh aparat penegak hokum dalam menjalankan dan menegakan hokum.
Walaupun akhir dari peradilan sandal jepit dengan terdakwa AAL ini sudah ada vonis yaitu menyatakan bahwa AAL bersalah dan dihukum dikembalikan kepada orang tua untuk dibina, tetap saja peradilan sandal jepit ini menyisakan persoalan yuridis dan psikologis. Persoalan yuridisnya adalah kenapa vonis hakim menyatakan AAL bersalah mencuri sandal jepit milik seorang oknum brimob, padahal di pengadilan pencurian terhadap sandal jepit milik oknum brimob tersebut tidak terbukti, yang terbukti adalah bahwa sandal jepit yang diambil AAL adalah milik orang lain. Vonis tersebut terkesan karena ada pengaruh opini dari masyarakat dan hakim berusaha menjaga rasa malu penyidik, sebuah peradilan yang tidak dikenal dalam system hukum kita dan masyarakat akan menganggap bahwa peradilan ini adalah peradilan bisik-bisik.
Peradilan terhadap anak seyogyanya dipakai model restorative justice. Walaupun secara formal peradilan anak kita belum memiliki model restorative justice, hakim harus dapat memberi warna tersendiri dan berinisiatif memakai model tersebut, para hakim tidak perlu takut bahwa model yang dipakai tidak sesuai dengan hukum acara atau model peradilan kita yang baku, sebagai seorang profesi yang mempunyai judicial discretion. Para hakim bisa dengan leluasa mengembangkan model ini sebab tujuan utama peradilan kita adalah menghasilkan vonis yang final dan definitive serta membawa keadilan bagi masyarakat.
Bagi atasan para hakim , seyogyanya dikembangkan sifat tut wuri handayani dan menjaga independensi para hakim, jangan sampai hakim yang berfikiran progessif dipanggil karena putusannya tidak lajim padahal hakim tersebut berusaha menyelami rasa keadilan masyarakat. Budaya pemeriksaan oleh Mahkamah Agung atau Komisi yudisial terhadap hakim-hakim yang berani berfikri diluar kebiasaan normative jangan lagi dilakukan, biarkan hakim menggali, mencari dan menemukan rasa keadilan itu dalam masyarakat.
Ada yang kurang memang dalam system peradilan kita ini. Tidak ada pedoman atau peraturan yang bisa membatasi perkara macam apa yang boleh tidak dilanjutkan ke pengadilan (kecuali delik aduan). Jadi kalau terjadi lagi kasus seeperti pencurian sandal jepit ini, tentu saja polisi tidak boleh meng SP 3 kasusnya karena secara formal barangkali sudah memenuhi persyaratan. Akan tetapi bukankah mengajukan perkara seperti ini di samping akan membebani administrasi peradilan pidana juga akan melukai rasa keadilan masyarakat. Kita tidak boleh berfikir egois bahwa perkara senacam itu tidak layak diajukan ke pengadilan tanpa memberi ruang kepada polisi untuk menghentikan atau paling tidak membuat win-win solution yang semuanya tidak ada yang dirugikan.
Secara normative peradilan kita sudah diatur dalam suatu mekanisme system peradilan pidana, akan tetapi kadang-kadang system itu membelenggu kita manakala terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Dan disini biasanya terjadi kegamangan dikalangan penegak hukum, sementara masyarakat tidak mau atau belum mau berfikir tentang kesulitan penegak hukum dalam menegakan hukum. Oleh karena itu memang doktrin hukum pidana modern mutlak harus dikuasasi oleh aparat penegak hukum sehingga protes atau ketidak puasan masyarakat terhadap jalannya proses peradialn pidana akan semakin menurun. Peradilan pidana harus dijalankan dengan penuh wibawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun