Mohon tunggu...
Tania Frisila
Tania Frisila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Andalas

An international relations student

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Budaya Bullying dan Kualitas Pendidikan Indonesia

11 April 2024   12:10 Diperbarui: 11 April 2024   12:14 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/stop-perundungan-atau-bullying

Belakangan ini, Indonesia dikejutkan dengan rentetan kasus bullying di sekolah yang bahkan berujung pada kematian. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 15.54% siswa di Indonesia pernah mengalami bullying. Angka ini bagaikan bom waktu yang siap meledak dan menelan korban jiwa generasi muda. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: Mengapa budaya perundungan ini masih berakar kuat di sekolah? Apakah ruang pendidikan di Indonesia sudah tidak aman? Apakah upaya pemerintah untuk memerangi bullying melalui gerakan anti bullying telah gagal?

Jika ditelisik lebih dalam, akar permasalahannya terletak pada budaya "senioritas" yang masih mengakar kuat dalam masyarakat, termasuk di lingkungan sekolah. Budaya ini melahirkan rasa superioritas pada senior, mendorong mereka untuk menunjukkan kuasa dan kontrol atas junior melalui intimidasi dan kekerasan. Salah satu contoh nyata budaya senioritas yang memicu bullying adalah tradisi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang kerap kali disalahgunakan oleh Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) untuk menindas junior. Perintah-perintah tidak masuk akal, penghinaan, dan bahkan kekerasan fisik menjadi hal lumrah dalam prosesi MPLS yang seharusnya menjadi momen positif untuk menyambut siswa baru. Selain itu, bayang-bayang orientasi kampus yang masih kental dengan nilai-nilai senioritas dan budaya kekerasan juga perlu dihapuskan. Kampus sebagai gerbang awal menuju dunia profesional harus menjadi tempat yang aman dan inklusif bagi semua mahasiswa, di mana mereka dapat belajar dan berkembang tanpa dihantui rasa takut dan intimidasi.

Budaya senioritas ini bukan hanya menciptakan lingkungan belajar yang tidak aman, tetapi juga menanamkan benih-benih perundungan pada generasi muda. Senior yang terbiasa menggunakan kekerasan untuk menunjukkan kuasa akan berpotensi menjadi pelaku bullying di masa depan. Siklus ini terus berputar, melahirkan generasi baru pembully dan korban. Dampak bullying tidak hanya sebatas rasa sakit fisik dan mental bagi korban, tetapi juga dapat menghambat proses belajar mengajar dan berakibat fatal seperti depresi dan bahkan kematian.

Kasus bullying yang marak terjadi ini bagaikan cermin buram yang memantulkan kualitas pendidikan Indonesia yang masih jauh dari ideal. Budaya senioritas dan kekerasan yang tertanam kuat di sekolah menunjukkan bahwa sistem pendidikan belum mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif bagi seluruh siswa. Kurikulum yang kaku dan berfokus pada pencapaian nilai semata juga turut berkontribusi dalam menciptakan iklim belajar yang penuh tekanan dan kompetisi. Hal ini dapat memicu stres dan kecemasan pada siswa, sehingga mereka rentan terhadap perilaku bullying. Kurangnya edukasi tentang bahaya bullying dan kurangnya pelatihan bagi guru dalam menangani kasus bullying juga menjadi faktor yang memperparah situasi. Sekolah masih belum siap untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah bullying secara efektif.

Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk memberantas budaya senioritas dan bullying di sekolah. Memperkuat regulasi dan pengawasan di sekolah, serta memberikan edukasi yang komprehensif tentang bahaya bullying kepada seluruh pihak, baik siswa, guru, maupun orang tua, menjadi langkah awal yang krusial.

Masyarakat pun harus turut berperan aktif dalam memerangi budaya ini. Orang tua perlu menanamkan nilai-nilai anti-bullying kepada anak-anak mereka sejak dini. Sekolah dan komunitas juga perlu membangun budaya saling menghormati dan menghargai perbedaan, sehingga senioritas tidak lagi menjadi ajang untuk menunjukkan kuasa, melainkan platform untuk saling mendukung dan membimbing. Memerangi budaya bullying dan senioritas membutuhkan upaya kolektif dari semua pihak. Hanya dengan kerjasama dan komitmen bersama, kita dapat menciptakan ruang pendidikan yang aman dan berkualitas bagi generasi penerus bangsa. Masa depan pendidikan Indonesia bergantung pada keberhasilan kita dalam memberantas kanker budaya bullying ini.

Namun, kritik terhadap kualitas pendidikan Indonesia tidak berhenti di situ. Sistem pendidikan yang masih sentralistik dan birokratik juga perlu dibenahi. Perlu ada desentralisasi dan otonomi yang lebih luas bagi sekolah untuk mengembangkan kurikulum dan program pendidikan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan konteks lokal. Pemerintah juga perlu meningkatkan anggaran untuk pendidikan, tidak hanya untuk infrastruktur dan gaji guru, tetapi juga untuk pengembangan program-program inovatif yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan kesejahteraan mental siswa. Memajukan kualitas pendidikan Indonesia membutuhkan transformasi sistemik yang menyeluruh. Budaya bullying hanyalah salah satu dari sekian banyak permasalahan yang harus dihadapi. Dengan kritik yang konstruktif dan solusi yang tepat, kita dapat membangun sistem pendidikan yang lebih baik dan menghasilkan generasi muda yang tangguh dan berkarakter.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun