Mohon tunggu...
Dike Dandari Sukmana
Dike Dandari Sukmana Mohon Tunggu... -

nama: Dike Dandari Sukmana mahasiswa fakultas farmasi angkatan 2014

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Apoteker Keluyuran?

1 Desember 2014   16:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:21 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Keluyuran? Memang agak terdengar sinis, tapi istilah tersebut cukup pantas diberikan bagi pengelola resmi apotek yang tidak bertanggung jawab dalam menjaga tempat pengabdian profesinya. Apotek itu harus dijaga oleh ahlinya (apoteker) bukan oleh orang awam. Hal ini untuk memastikan agar pasien mendapatkan pelayanan dan obat yang sesuai dengan keluhan penyakitnya.

Seperti yang kita ketahui bersama, apoteker merupakan penanggung jawab dalam praktik pelayanan kefarmasian di apotek. Peran apoteker tidak terbatas hanya pada kegiatan meracik obat saja, tetapi juga memberikan informasi mengenai obat yang aman dan benar. Pelayanan kefarmasian dilakukan semata-mata untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, serta melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan farmasi yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan dan kemanfaatan.

Melihat peran apoteker yang begitu penting, maka seharusnya apoteker selalu berada di apotek sepanjang jam buka apotek seperti yang telah dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek. Dalam pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa pengelolaan apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang apoteker.

Namun dalam perkembangannya, semakin hari situasi dan kondisi pelayanan kefarmasian di apotek semakin terbengkalai. Apoteker yang seharusnya siap sedia di dalam apotek nyata-nyatanya sering tidak dijumpai bertugas. Masyarakat lebih sering menjumpai asisten apoteker sebagai pengelola apotek yang dirasa masih memiliki tingkat penguasaan ilmu lebih rendah jika dibandingkan dengan seorang apoteker. Secara yuridis, dalam melakukan pekerjaan kefarmasian seorang asisten apoteker harus tetap berada dalam bimbingan dan pengawasan apoteker. Bukan malah dibiarkan melakukan pelayanan kefarmasian sendiri. Jika seorang apoteker terus menerus mengabaikan perannya dan seringkali menyerahkan wewenangnya kepada asisten apoteker, maka tujuan pelayanan kefarmasian tentu tidak akan terwujud secara maksimal. Semua yang berhubungan dengan kefarmasian sudah memiliki undang-undang tersendiri sebagai bentuk tata tertibnya, tinggal bagaimana usaha orang-orang yang terlibat dan terikat oleh peraturan tersebut dalam menegakkan pelaksanaannya. Siapa yang berhak disalahkan? Ujung-ujungnya pasti pengelola resmi apotek yang akan menanggung semua persoalan. Di sisi lain, berdasarkan praktik yang terjadi dan berulang secara terus menerus, asisten apoteker dinilai telah memiliki pengetahuan yang sama di bidang obat berdasarkan ilmu yang diperolehnya selama dalam proses pendidikan ditambah dengan pengetahuan yang diperoleh secara praktik.

Berdasarkan hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) , lebih dari 50% apotek tidak dijaga apotekernya, sedangkan di papan nama apotek jelas tertera apotek buka 24 jam lengkap dengan nama apotekernya (Koran Sindo, 4 Mei 2007)

Apoteker sebagai peran sentral bertanggung jawab penuh dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat belum melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga menimbulkan citra yang kurang baik bagi profesi apoteker itu sendiri. Dari sini kita kembali memunculkan satu pertanyaan, lantas bagaimana upaya yang dilakukan seorang apoteker dalam menjaga pencitraan namanya? Ini menjadi tugas bagi para apoteker yang masih merasa perlu mempertahankan martabatnya sebagai seorang farmasis.

Di Indonesia, diduga hampir 99% apotek tetap buka dan menerima pelanggan walaupun apotekernya tidak di tempat. Penelitian serupa yang dilakukan oleh para apoteker di Universitas Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 90% apotek yang mereka survei , apotekernya tidak ada di tempat. Ketua Umum Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), periode sebelumnya menuturkan bahwa apotek di Indonesia belum menjadi suatu sistem sehingga apotek sekedar menjadi tempat jual beli obat. Menurutnya, apoteker hanya sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek. Sementara dalam praktiknya, tidak semua apotek memiliki apoteker. Inilah yang perlu dibenahi di dunia kefarmasian Indonesia yaitu mengenai perilaku apoteker yang masih tidak konsisten dalam menjaga apotek dan masih belum memberikan pelayanan yang baik bagi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. http://www.hukor.depkes.go.id/?art=8&set=4 (diakses pada 26 November 2014)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun