Mohon tunggu...
Tony Herdianto
Tony Herdianto Mohon Tunggu... Freelancer - Suka kopi dan jajanan

saya senang membaca dan sedang belajar menulis . senang menanam pohon atau kembang . mendengarkan musik . mencoba selaras dengan alam menyatu secara harmoni.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sarinah McDonald's dan Pasar Bernama Indonesia

13 Mei 2020   23:24 Diperbarui: 14 Mei 2020   00:30 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa hari yang lalu jagad media sosial dihebohkan dengan kerumunan massa. Pada saat yang sama Jakarta sedang berlaku pembatasan jarak antar individu. Soalnya akan hilangnya kenangan sebuah tempat bernama resto siap saji McDonald's cabang Sarinah. 

Kini tinggallah nama bahwa di situ dulu bercokol resto siap saji McDonald's. Yang agak ironis ada masyarakat bertanya tentang sejarah pada saat itu. Maka ini jawabannya itu bukan sejarah dan simbol tersebut adalah budaya pop atau budaya massa.Sangat ikonik karena merentang di Indonesia pasca kolonial tradisional.

Inilah penanda masyarakat komoditas modern di Indonesia bahwa resto waralaba siap saji bahkan menghegemoni mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Merasuk kedalam Sukma jiwa masyarakat komoditas Indonesia kontemporer.

Peduli setan kemarin kemarin warung PKL ditutup karena pembatasan jarak yang sangat ketat. Tiada lilin penanda solidaritas kita bersama warung PKL. Persetan amat dengan muatan lokal ,solidaritas justru untuk korporasi internasional semacam McDonald's.

Belakangan saya ketahui supaya Sarinah lebih memihak kepada UKM lokal. Begitu berita yang saya baca dan dengar. Namun apa lacur di tengah gelombang globalisasi dan liberalisasi usaha tersebut nampak sebuah pencitraan. 

Apalagi Jakarta yang sangat kosmopolitan mulai gorengan kelas pinggir jalan sampai Senayan city bisa kita jumpai. Dari 1000-an sampai ratusan ribu. Ini murni bisnis apalagi penduduk Indonesia lebih dari 200 juta jiwa. 

Persoalan yang lebih utama adalah akses dan pemerataan infrastruktur. Bagaimana kelas PKL bisa bersaing dengan waralaba lokal maupun internasional. Maka kredit saja tidak cukup namun sosialisasi terus menerus dan pendampingan, sampai UKM rasa PKL tersebut berdikari.

Kembali lagi soal Sarinah yang awalnya toko kelontong biasa menjadi wakil budaya pop dengan segala isinya. Kehendak kementerian BUMN bagus namun perlu kejelasan alokasi untuk UKM PKL bisa hidup dan bertahan ditengah gelombang globalisasi yang semakin menjadi-jadi. 

Jangan hanya bisa membuat kemudian dibiarkan tarung bebas begitu saja. Ibarat bayi UKM PKL perlu suplemen dan daya dukung yang kuat dari negara. Entah berupa subsidi atau bantuan serbaguna lain yang mendesak dan dibutuhkan UKM PKL.

Abad 21 dengan ciri menyebarnya informasi yang sangat cepat maka UKM PKL perlu pendampingan teknologi yang mumpuni. Sebab respon pasar berlangsung dalam putaran sepersekian detik. Manusianya mumpuni maka usaha UKM PKL bisa menjadi global dan berjejaring. Kunci ada pada setiap pemangku kebijakan dan yang terdampak serta lintas sektoral. 

Hambatan tradisional berupa ruwetnya birokrasi dipangkas sedemikian hingga. Pasar bernama Indonesia dengan cakupan dan wilayah yang sangat luas butuh sekedar dari perhatian yaitu perjuangan pelaksanaan kata kata. Sebab di sinilah pertaruhan serius harga diri sebagai sebuah bangsa. Rakyat berdaulat negara kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun