Belum lama ini, Telkom Indonesia meluncurkan satelit 3T (Terdepan, Terluar, Terpencil). Dengan adanya satelit 3T tersebut, memungkinkan seluruh wilayah Indonesia dapat merasakan manfaat dari jaringan telekomunikasi tanpa hambatan. Selama ini, sudah diketahui secara umum bahwa, peran dari akses telekomunikasi sangat besar dalam kehidupan manusia. Khususnya, bagi para penggiat industri kreatif, hal ini mutlak diperlukan. Karena hampir seluruh aktivitas manusia tidak terlepas dari interaksi digital.
Industri kreatif berbasis digital di Indonesia, berkembang sangat pesat. Secara ekonomi, industri kreatif mampu menyumbang sebesar 7,1 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia pada kurun waktu 2010-2013 (BI, 2015). Sementara pada tahun 2016, industri kreatif menyumbang sebesar 8,5 persen terhadap PDB. Proyeksi kontribusi industri kreatif terhadap PDB masing-masing sebesar 9,5 persen, 10,5 persen, dan 12 persen, hingga tahun 2019 (BE KRAF). Dengan demikian, industri kreatif yang didukung oleh kekuatan jaringan telekomunikasi, mampu memajukan masa depan bangsa dari segi ekonomi.
Masa depan bangsa itu sendiri, terletak pada kondisi kesejahteraan anak-anak bangsa. Kesejahteraan anak-anak terjamin, maka masa depan bangsa juga terjamin. Nah, dapatkah industri kreatif mengambil peran dalam hal ini?
Selama ini, kita ketahui bahwa industri kreatif bergerak di berbagai bidang, seperti periklanan, pertanian, perikanan, pariwisata, kuliner, dan bidang-bidang lain yang mendatangkan profit atau keuntungan secara ekonomi. Bagaimana jika kali ini industri kreatif dapat memberikan manfaat sosial secara langsung, namun juga berarti peningkatan ekonomi untuk jangka panjang.
Mengapa saya katakan demikian? Ya, karena anak merupakan investasi jangka panjang. Makanya tak salah jika kita sering mendengar istilah, “Banyak anak banyak rezeki.” Tentu saja hal ini akan terwujud, hanya jika anak diperhatikan dengan baik kesejahteraannya. Asupan pendidikan yang layak bagi mereka, merupakan salah satu komponen pemenuhan kesejahteraan anak demi memajukan masa depan bangsa.
Kondisi Anak Putus Sekolah di Indonesia
Kualitas pendidikan yang diterima dan diserap oleh setiap anak bangsa, menentukan kualitas masa depan bangsa. Seharusnya, setiap anak bangsa memperoleh hak untuk mendapatkan asupan pendidikan minimal hingga ke jenjang pendidikan SMA atau yang setara dengan itu. Namun, jika melihat fakta yang terjadi di Indonesia, tercatat pada periode 2015-2016 sebesar 0,96 persen rata-rata anak putus sekolah di tingkat SMA. Provinsi dengan rata-rata tingkat putus sekolah terbesar adalah Nusa Tenggara barat (1,78 persen), Sulawesi Tenggara (1,53 persen), dan Sulawesi Barat (1,39 persen). Total anak putus sekolah tingkat SMA di Indonesia pada periode tahun tersebut adalah sebesar 40.454 jiwa (Kemdikbud, 2016).
Sementera rata-rata persentase anak putus sekolah tingkat SD pada periode 2015-2016 sebesar 0,26 persen, dan tiga provinsi yang menempati urutan terbesar yaitu Papua (1 persen), Papua Barat (0,95 persen), dan Maluku Utara (0,61 persen). Untuk tingkat SMP, rata-rata persentase anak putus sekolah pada periode tersebut sebesar 0,52 persen. Secara berurutan, Kalimantan Utara (1,50 persen), Papua (1,08 persen), dan Sulawesi Barat (0,97 persen), adalah provinsi dengan rata-rata tingkat putus sekolah terbesar (Kemdikbud, 2016).
Lalu, bagaimana nasib anak-anak putus sekolah tersebut, terlepas dari angka-angka statistik yang disajikan?
Mereka bisa menjadi objek maupun subjek dari tindakan kriminal, dipaksa bekerja, mengamen, mengemis, dan lain sebagainya. Tak heran, banyak kita temui anak-anak usia sekolah, berkeliaran di jalan-jalan, pasar-pasar, dan tempat-tempat lainnya di jam sekolah. Selama kurun waktu 2011 hingga April 2015, tercatat sebanyak 1032 kasus pornografi dan cybercrime (KPAI, 2015). Ini hanya sebagian kecil dari sekian banyak kasus kriminalitas yang melibatkan anak-anak.
Skema Peran Industri Kreatif Digital dan Telkom Indonesia
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, maka saya menaruh harapan besar kepada Telkom Indonesia melalui peluncuran satelit 3S nya, dapat bekerja sama dengan para penggiat industri kreatif berbasis digital, untuk dapat merangkul anak-anak putus sekolah agar memperoleh asupan pendidikan yang cukup. Berikut saya sajikan secara sederhana, skema kerjanya.
Melalui skema sederhana di atas, maka peran dari kolaborasi industri kreatif dan Telkom Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap I, para relawan di tiap provinsi mengumpulkan informasi mengenai anak-anak putus sekolah yang ada di tiap provinsi.
Tahap II, informasi tersebut diteruskan ke instansi utama melalui aplikasi khusus yang telah dibuat oleh para penggiat industri kreatif digital (garis panah lurus pada line II). Instansi utama juga harus aktif mengevaluasi kondisi anak-anak putus sekolah ( garis panah putus-putus pada line II).
Tahap III, instansi utama dan mitranya, saling berkoordinasi.
Tahap IV, setelah instansi utama dan mitra berkoordinasi maka keputusan yang telah dipilih dikomunikasikan kepada relawan di tiap provinsi (baik oleh instansi utama atau mitra).
Tahap V, relawan di tiap provinsi, mengambil tindakan atas keputusan instansi dan mitra. Tindakan dan keputusan yang dimaksud yaitu kegiatan yang relevan dengan peningkatan dan pengembangan kemampuan dan keterampilan anak-anak putus sekolah.
Skema di atas, dapat dijalankan dengan menggunakan aplikasi khusus yang dibuat oleh penggiat industri kreatif digital. Dengan adanya skema tersebut, diharapkan dapat menjadi alternatif pendidikan bagi anak-anak putus sekolah, khususnya yang berada di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Terpencil).
REFERENSI:
Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BE KRAF).
[https://diplomasiekonomi.kemlu.go.id/images/capbuilddiplomat/Paparan%20BEKRAF.pdf] diakses pada 28 Februari 2017
Bank Indonesia. 2015. Kajian Peningkatan Akses Pembiayaan bagi Industri Kreatif di Indonesia. Departemen Pengembangan UMKM [http://www.bi.go.id] diakses pada 28 Februari 2017
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sekretaris Jenderal. 2016.Statistik Sekolah Dasar (SD) 2015/2016. Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan [http://publikasi.data.kemdikbud.go.id] diakses pada 28 Februari 2017
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sekretaris Jenderal. 2016. Statistik Sekolah Menengah Atas (SMA) 2016. Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan [http://publikasi.data.kemdikbud.go.id] diakses pada 28 Februari 2017
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sekretaris Jenderal. 2016.Statistik Sekolah Menengah Pertama (SMP) 2015/2016. Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan [http://publikasi.data.kemdikbud.go.id] diakses pada 28 Februari 2017
KPAI. 2015. KPAI: Pelaku Kekerasan terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat (ditayangkan oleh Davit Setyawan, 14 Juni 2015). Komisi Perlindungan Anak Indonesia [http://www.kpai.go.id] diakses pada 28 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H