Mohon tunggu...
Tanaya Anindita
Tanaya Anindita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Psikologi

Mahasiswi Program Studi Psikologi yang antusias untuk belajar mengenai kesehatan mental dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meningkatkan Kualitas Pendidikan Inklusi di Indonesia: Tantangan dan Solusi

25 Oktober 2024   10:15 Diperbarui: 25 Oktober 2024   12:18 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua siswa penyandang disabilitas, kecerdasan laten, atau bakat khusus untuk berpartisipasi dalam proses belajar mengajar di lingkungan pendidikan bersama siswa lainnya (Permendikbud No.70 Tahun 2009).

Program Pendidikan Inklusif merupakan salah satu amanat dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.

Program pendidikan inklusif bertujuan untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan pendidikan yang optimal bagi anak berkebutuhan khusus dan menjamin hak mereka atas pendidikan yang sama dengan anak lainnya.

Pendidikan inklusi di Indonesia saat ini menjadi salah satu pendekatan penting dalam mempertemukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal dalam lingkungan yang sama. Namun, pelaksanaannya tidak luput dari berbagai tantangan yang memerlukan perhatian khusus. Berikut adalah pandangan seorang psikolog anak, dalam wawancara eksklusif yang telah dilakukan, mengenai tantangan dan solusi dalam sistem pendidikan inklusi yang sedang diterapkan di Indonesia.

Tantangan di Sekolah Inklusi

Sekolah inklusi tidak hanya memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama anak-anak normal, tetapi juga menghadirkan tantangan besar, terutama dalam hal adaptasi. Baik siswa berkebutuhan khusus maupun siswa normal perlu beradaptasi dengan lingkungan belajar yang campuran. "Misalnya, anak tunarungu akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan siswa normal. Interaksi ini tentu membutuhkan waktu dan usaha dari kedua belah pihak," jelas Putri Mega, M.Psi, Psikolog. 

Selain itu, fasilitas fisik di banyak sekolah inklusi juga belum memadai untuk kebutuhan khusus siswa. "Sarana prasarana seperti huruf braille untuk tunanetra atau aksesibilitas untuk tunadaksa sering kali masih terbatas. Hal ini perlu segera diperbaiki agar semua siswa dapat belajar dengan nyaman," tambah Putri Mega, M.Psi, Psikolog. Dengan demikian tantangan yang sering dihadapi sekolah inklusi yaitu pemahaman dan sikap yang belum merata dikalangan masyarakat tentang pendidikan inklusif, keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru dalam memberikan layanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus, sarana dan lingkungan sekolah yang belum sepenuhnya aksesibel bagi anak berkebutuhan khusus. 

Kesiapan Tenaga Pengajar dalam Menghadapi Pendidikan Inklusi

Guru merupakan salah satu unsur terpenting dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hasil dan keberhasilan pendidikan tergantung pada motivasi guru. Persiapan guru merupakan kunci keberhasilan penerapan pendidikan inklusif. Kesediaan seorang guru dalam mendampingi anak berkebutuhan khusus meliputi: 1) kemampuan guru dalam menyusun strategi pembelajaran; 2) Penerimaan guru untuk mengajar anak berkebutuhan khusus.3) mengembangkan keterampilan profesional, dan 4) membangun hubungan kolaboratif antara guru reguler dan guru khusus (D.Myers, 2013).

Dalam melaksanakan pendidikan inklusif, guru harus mempunyai keterampilan menjadi agen pembelajaran. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa keterampilan guru mencakup keterampilan pedagogik, personal, profesional, dan sosial. Keterampilan gurunya profesional dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Selain itu, guru inklusif harus memiliki keterampilan untuk mengembangkan perangkat penilaian pendidikan khusus, menyediakan fasilitas layanan khusus, dan memberikan pengajaran berkelanjutan yang mendukung perkembangan anak berkebutuhan khusus (Mudjito, 2012).

Namun, tantangan terbesar yang dihadapi para guru adalah kurangnya pelatihan. "Setiap kebutuhan khusus memerlukan pendekatan yang berbeda. Misalnya, anak dengan keterbatasan kognitif memerlukan pengulangan materi, sedangkan anak tunarungu membutuhkan guru yang bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Sayangnya, pelatihan untuk guru pendamping khusus ini masih terbatas di Indonesia, karena hanya ada ketika diselenggarakan event - event tertentu," ujar Putri Mega, M.Psi, Psikolog.

Untuk meningkatkan kapasitas tersebut, sekolah  harus mendukung partisipasi guru dalam pelatihan, sehingga motivasi guru dalam melaksanakan pendidikan inklusif meningkat dan kapasitasnya pun meningkat. Selain itu, guru juga harus mempunyai sikap  positif terhadap siswa agar nantinya dapat mengikuti proses pembelajaran dengan gembira (Oktani, 2017). 

Kurikulum yang Disesuaikan

Kurikulum dalam pembelajaran inklusif (Direktorat Sekolah dasar) meliputi duplikasi, modifikasi, substitusi, omisi. Duplikasi adalah kurikulum untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) disamakan dengan kurikulum umum. Modifikasi merupakan kurikulum umum disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Substitusi adalah mengganti beberapa bagian dari kurikulum umum dengan sesuatu yang kurang lebih setara. bisa terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses maupun evaluasi. Omisi, beberapa bagian dari kurikulum umum ditiadakan sayang sekali karena tidak memungkinkan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Pendidikan inklusi di Indonesia mengadopsi kurikulum yang fleksibel. Berdasarkan panduan dari Kementerian Pendidikan, Kurikulum dalam sekolah inklusi dapat diadaptasi menjadi eskalasi/akselerasi untuk peserta didik dengan potensi tinggi yang memerlukan percepatan penguasaan materi, duplikasi yang menggunakan kurikulum umum untuk peserta didik dengan hambatan ringan, simplikasi dan modifikasi yang menyederhanakan kurikulum umum tanpa menghilangkan substansi, disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik, substitusi yang mengganti bagian dari kurikulum umum dengan kegiatan setara sesuai kebutuhan, seperti mengganti menggambar dengan menyanyi untuk anak dengan hambatan penglihatan, dan omisi yang meniadakan aspek tertentu dari kurikulum sesuai dengan karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus, yang dapat dilengkapi dengan kurikulum individual berdasarkan asesmen.

Intervensi Psikolog dan Guru BK Sekolah Inklusi

Counselor Association (ASCA, 2005) menggarisbawahi peran kolaboratif dalam Model Nasional, yang mengatakan bahwa Vol.4, No.1 Edisi Khusus Pelatihan Guru di Luar Negeri "school counsellor build effective team by encouraging genuine collaboration among all schools staff to work toward the common goal of equity, access, and academic success of every student" yang bermakna bahwa konselor atau guru bimbingan konseling di sekolah membangun tim yang efektif dengan mendorong kolaborasi yang asli antara semua staf sekolah untuk bekerja meraih tujuan bersama dari ekuitas, akses, dan keberhasilan akademik setiap siswa". 

Selain itu peran psikolog dan konselor di sekolah inklusi tidak hanya memantau perkembangan anak, tetapi juga memberikan intervensi yang diperlukan. "Psikolog bisa membantu mengidentifikasi potensi anak berkebutuhan khusus, dan kemudian mengarahkan mereka sesuai dengan gaya belajar yang tepat." Setiap anak memiliki keunikan tersendiri, termasuk dalam hal kecerdasan majemuk. Dengan memahami hal ini, psikolog dapat membantu anak-anak berkebutuhan khusus untuk berkembang secara optimal dalam lingkungan inklusi.

Pentingnya Dukungan dari Orang Tua

Selain dari pihak sekolah, dukungan orang tua juga memegang peran penting dalam keberhasilan pendidikan inklusi. "Tidak bisa dipungkiri, interaksi anak lebih banyak terjadi di rumah, sehingga orang tua harus berkolaborasi dengan guru untuk mendukung perkembangan anak di sekolah," jelas Putri psikolog Klinis anak. Tantangan terbesar seringkali terletak pada kurangnya pemahaman orang tua tentang kebutuhan khusus anak mereka. “Kadang orang tua belum sepenuhnya memahami bagaimana harus mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam belajar, sehingga pendekatan persuasif perlu dilakukan agar orang tua lebih paham tentang kondisi anak dan cara terbaik untuk mendukungnya, baik dalam belajar maupun menghadapi emosi anak,” lanjutnya.

Menurut Hewwet dan Frenk, 1968 (Nurfadhillah, 2021) menyebutkan bahwa peran dan fungsi orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus:

1. Sebagai pendamping utama (as aids), yaitu sebagai pendamping utama yang membantu tercapainya tujuan layanan penanganan dan pendidikan anak. 

2. Sebagai advokat (as advocades),yang mengerti, mengusahakan dan menjaga hak anak dalam kesempatan mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan karakteristik khususnya.

3. Sebagai sumber (as resources), menjadi sumber data yang lengkap dan benar mengenai diri anak dalam usaha intervensi perilaku anak. 

4. Sebagai guru (as teacher), berperan menjadi pendidik bagi anak dalam kehidupan sehari-hari di luar jam sekolah. 

5. Sebagai diagnostician penentu (diagnosticians) karakteristik dan jenis kebutuhan khusus dan berkemampuan melakukan treatment, terutama diluar jam sekolah. 

Berdasarkan peran dan fungsi orang tua terhadap ABK diatas terlihat bahwa. keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak menjadi faktor pendorong dan penentu dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Pihak sekolah dapat berkolaborasi dengan orang tua dalam proses menyusun program pembelajaran bagi ABK, serta dapat juga melibatkan para profesional pengambilan keputusan pembelajaran tersebut. 

Solusi untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Inklusi

Solusi untuk memperbaiki kualitas pendidikan inklusi di Indonesia adalah dengan menyediakan lebih banyak pelatihan bagi guru pendamping khusus. Selain itu, guru juga diharapkan proaktif mencari informasi tambahan secara mandiri. "Pelatihan formal mungkin tidak selalu tersedia, namun guru bisa mencari referensi tambahan melalui literatur dan sumber lain untuk mengembangkan kompetensi mereka," sarana Putri Mega Psikolog Klinis Anak.

Kolaborasi dengan pemerintah dan komunitas sangat penting untuk memastikan bahwa sarana dan prasarana yang diperlukan tersedia. "Misalnya, jika ada siswa tunarungu, sekolah harus menyediakan alat bantu dengar, atau huruf braille bagi siswa tunanetra," jelasnya.

Selain itu guru, pihak sekolah, dan orang tua selalu berdiskusi untuk membahas segala permasalahan yang ada di sekolah dan mencari solusinya secara rutin seminggu sekali. Mendatangkan tim ahli untuk memberikan masukan kepada guru-guru, bisa dalam bentuk seminar, pelatihan, workshop dsb. Guru bisa membuat soal ulangan sendiri untuk ABK yang didampinginya atau memodifikasi soal ulangan dari soal ulangan umum yang sudah dibuat oleh guru bidang studinya. Kerjasama dan meningkatkan pada kemandirian pada peningkatan mutu pendidikan inklusi dimana dengan mengajak Guru, Kepala Sekolah, Orang Tua dan masyarakat dalam meningkatkan pada pelayanan pendidikan inklusi.

Evaluasi dan Peran Teknologi dalam Pendidikan Inklusi

Evaluasi di sekolah inklusif juga harus dilakukan secara berkala, baik secara akademis maupun emosional. Psikolog dan konselor menjelaskan bahwa memiliki terapis dan psikolog di sekolah dapat sangat membantu dalam memantau kemajuan siswa. Metode evaluasi pertama yang mungkin dilakukan adalah dengan mengevaluasi proses penyelenggaraan pendidikan inklusif yang dilakukan sekolah mulai dari tahap  perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan. Proses ini dilakukan untuk mengukur kesesuaian pelaksanaan dan rencana pendidikan secara menyeluruh, dan evaluasi  proses diintegrasikan dalam evaluasi harian, semesteran, dan akhir semester. Bentuk penilaian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kinerja hierarki perilaku siswa dari waktu ke waktu, melalui  identifikasi dan observasi baik di dalam  maupun di luar kelas, dalam konteks kegiatan pendidikan inklusif. Sementara penilaian di kelas memerlukan pengawasan khusus dari guru  dan siswa, dan di luar kelas melibatkan kepala sekolah, asisten kepala sekolah, dan guru serta staf kependidikan lainnya, penilaian di rumah melibatkan siswa, orang tua, dan orang tua mereka. Kedua, evaluasi terhadap program pendidikan inklusif di sekolah dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan program aksi pendidikan inklusif secara keseluruhan telah tercapai. Hal ini dilaksanakan pada setiap akhir tahun ajaran dengan partisipasi seluruh siswa, dan diharapkan dapat memberikan hasil evaluasi yang objektif untuk perbaikan di masa mendatang.

Di era digital ini, teknologi juga dapat menjadi alat bantu penting dalam pendidikan inklusi. Fitur pada gadget dan aplikasi tertentu bisa disesuaikan untuk membantu siswa berkebutuhan khusus dalam memahami materi pelajaran. "Teknologi bisa menjadi pendukung yang sangat efektif jika diterapkan dengan tepat," tambahnya Putri Mega, M.Psi, Psikolog.

Dengan demikian harapan untuk pendidikan inklusi di Indonesia adalah terciptanya sistem pendidikan yang lebih merata, adil, dan berkualitas, di mana setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, mendapatkan hak dan kesempatan yang setara untuk belajar dan berkembang sesuai potensi mereka. Dengan dukungan penuh dari pemerintah, sekolah, guru, psikolog, konselor, dan orang tua, diharapkan pendidikan inklusi dapat berjalan lebih optimal. Fasilitas fisik dan sumber daya guru perlu ditingkatkan melalui pelatihan yang memadai, sementara kurikulum harus fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan setiap anak. Selain itu, kolaborasi antara berbagai pihak, evaluasi berkala, serta pemanfaatan teknologi diharapkan dapat mempercepat terwujudnya pendidikan inklusi yang berkualitas di Indonesia.

Jurnalis : Tanaya Anindita dan Salwa Yasmin Nabilla Sakho

Referensi:

BADAN STANDAR, KURIKULUM, DAN ASESMEN PENDIDIKAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA (2022). Pendidikan Inklusif - Kurikulum Kemdikbud. In Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. https://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/08/Panduan-Pelaksanaan-Pendidikan-Inklusif.pdf

D.Myers, M. (2013).Students with Disabilities: Perspective of Regular Education Teachers of

Increased Inclusion, 1-84.

Ekawati,D., & Lian, B. (2022, December). Peran Orang Tua Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Pada Sd Negeri 4 Koba Kabupaten Bangka Tengah. In Seminar Nasional Program Pascasarjana Universitas Pgri Palembang (Vol. 1, pp.65-73).

Infografis: Pendidikan Inklusif (2021) ditpsd.kemdikbud.go.id. Available at:https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/infografis-pendidikan-inklusif.

Mudjito, d. (2012). Pendidikan Inklusif. Jakarta: Baduose Media Jakarta. 

Mujiafiat, K. A., & Yoenanto, N. H. (2023). Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Pendidikan Inklusi. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 5(2), 1108-1116.

Susilowati, T., Trisnamansyah, S., & Syaodih, C. (2022). Manajemen Pendidikan Inklusi dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. JIIP-Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 5(3), 920-928.

Oktiani, I. (2017). Kreativitas Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Peserta Didik.

Yuliawanti, R. (2019). Peran kolaboratif konselor di sekolah inklusif. Jurnal Ide Guru, 4(1), 68-74.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun