Mohon tunggu...
Tanaya Anindita
Tanaya Anindita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Psikologi

Mahasiswi Program Studi Psikologi yang antusias untuk belajar mengenai kesehatan mental dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meningkatkan Kualitas Pendidikan Inklusi di Indonesia: Tantangan dan Solusi

25 Oktober 2024   10:15 Diperbarui: 25 Oktober 2024   12:18 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk meningkatkan kapasitas tersebut, sekolah  harus mendukung partisipasi guru dalam pelatihan, sehingga motivasi guru dalam melaksanakan pendidikan inklusif meningkat dan kapasitasnya pun meningkat. Selain itu, guru juga harus mempunyai sikap  positif terhadap siswa agar nantinya dapat mengikuti proses pembelajaran dengan gembira (Oktani, 2017). 

Kurikulum yang Disesuaikan

Kurikulum dalam pembelajaran inklusif (Direktorat Sekolah dasar) meliputi duplikasi, modifikasi, substitusi, omisi. Duplikasi adalah kurikulum untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) disamakan dengan kurikulum umum. Modifikasi merupakan kurikulum umum disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Substitusi adalah mengganti beberapa bagian dari kurikulum umum dengan sesuatu yang kurang lebih setara. bisa terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses maupun evaluasi. Omisi, beberapa bagian dari kurikulum umum ditiadakan sayang sekali karena tidak memungkinkan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Pendidikan inklusi di Indonesia mengadopsi kurikulum yang fleksibel. Berdasarkan panduan dari Kementerian Pendidikan, Kurikulum dalam sekolah inklusi dapat diadaptasi menjadi eskalasi/akselerasi untuk peserta didik dengan potensi tinggi yang memerlukan percepatan penguasaan materi, duplikasi yang menggunakan kurikulum umum untuk peserta didik dengan hambatan ringan, simplikasi dan modifikasi yang menyederhanakan kurikulum umum tanpa menghilangkan substansi, disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik, substitusi yang mengganti bagian dari kurikulum umum dengan kegiatan setara sesuai kebutuhan, seperti mengganti menggambar dengan menyanyi untuk anak dengan hambatan penglihatan, dan omisi yang meniadakan aspek tertentu dari kurikulum sesuai dengan karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus, yang dapat dilengkapi dengan kurikulum individual berdasarkan asesmen.

Intervensi Psikolog dan Guru BK Sekolah Inklusi

Counselor Association (ASCA, 2005) menggarisbawahi peran kolaboratif dalam Model Nasional, yang mengatakan bahwa Vol.4, No.1 Edisi Khusus Pelatihan Guru di Luar Negeri "school counsellor build effective team by encouraging genuine collaboration among all schools staff to work toward the common goal of equity, access, and academic success of every student" yang bermakna bahwa konselor atau guru bimbingan konseling di sekolah membangun tim yang efektif dengan mendorong kolaborasi yang asli antara semua staf sekolah untuk bekerja meraih tujuan bersama dari ekuitas, akses, dan keberhasilan akademik setiap siswa". 

Selain itu peran psikolog dan konselor di sekolah inklusi tidak hanya memantau perkembangan anak, tetapi juga memberikan intervensi yang diperlukan. "Psikolog bisa membantu mengidentifikasi potensi anak berkebutuhan khusus, dan kemudian mengarahkan mereka sesuai dengan gaya belajar yang tepat." Setiap anak memiliki keunikan tersendiri, termasuk dalam hal kecerdasan majemuk. Dengan memahami hal ini, psikolog dapat membantu anak-anak berkebutuhan khusus untuk berkembang secara optimal dalam lingkungan inklusi.

Pentingnya Dukungan dari Orang Tua

Selain dari pihak sekolah, dukungan orang tua juga memegang peran penting dalam keberhasilan pendidikan inklusi. "Tidak bisa dipungkiri, interaksi anak lebih banyak terjadi di rumah, sehingga orang tua harus berkolaborasi dengan guru untuk mendukung perkembangan anak di sekolah," jelas Putri psikolog Klinis anak. Tantangan terbesar seringkali terletak pada kurangnya pemahaman orang tua tentang kebutuhan khusus anak mereka. “Kadang orang tua belum sepenuhnya memahami bagaimana harus mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam belajar, sehingga pendekatan persuasif perlu dilakukan agar orang tua lebih paham tentang kondisi anak dan cara terbaik untuk mendukungnya, baik dalam belajar maupun menghadapi emosi anak,” lanjutnya.

Menurut Hewwet dan Frenk, 1968 (Nurfadhillah, 2021) menyebutkan bahwa peran dan fungsi orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus:

1. Sebagai pendamping utama (as aids), yaitu sebagai pendamping utama yang membantu tercapainya tujuan layanan penanganan dan pendidikan anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun