Mohon tunggu...
Thri Sutantri
Thri Sutantri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

to be a writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Pergi-Pergi Lagi

10 Desember 2014   03:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:39 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jangan Pergi-pergi lagi

Namaku Qurota, biasa disapa Tata. Aku adalah seorang mahasiswi smester akhir di salah satu kampus  di Jogyakarta. Hobiku makan. Semangatku adalah mengajar dan menyelami dunia anak-anak. Rasa penat, bosan yang kadang menghampiri selalu bisa kuatasi dengan menulis, juga memasak. Rasa masakanku biasa saja, namun  aku paling senang saat orang lain makan masakanku dengan lahap. Tak perlu dibilang enak, melihat masakanku habis itu sudah cukup membuatku merasa lebih baik. Lelaki idamanku adalah dia yang mau makan masakanku tanpa mencelaku.

Siang itu, langit Jogja diliputi awan tebal. Aku yang biasanya berangkat ke kampus lebih santai, kini harus terburu-buru untuk menghindari hujan turun sebelum aku sampai. Langkahku kian cepat. Tak berapa lama aku sampai di pintu masuk kampus FBS (Fakultas Bahasa dan Seni), hujan pun trurn sangat deras. Aku berlari menuju kantin yang jaraknya tak terlalu jauh.

Hmm hujan-hujan begini enaknya makan. “Ibu, makan,” pintaku kepada ibu kantin.

“Makan apa, nduk?” tanya ibu kantin.

“Nasi, bu.” Jawabku seraya tersenyum.

“Lauknya?”

“Kentang balado, sop, sama tempe goreng,” jawabku.

Setelah menerima pesanan dari ibu kantin, aku pun langsung menuju meja paling ujung, depan jendela. Aku duduk santai, lalu menarik napas lega, setelah beradu kecepatan dengan hujan. Aku mencium lekat aroma tanah yang sangat khas. Aku suka aroma tanah setelah hujan. Ingatanku melayang. Mengingat semua kenangan bersamanya . Seraya menunggu hujan yang tak kunjung reda, aku melihat handphone.

Bahagia itu sederhana, saat sang hujan menghentikan langkahku untuk menunggunya reda, aku membuka kembali ingatanku tentang dia, tentang masa-masa yang tak bisa aku ulang kembali. Tuhan, dosakah aku, jika sebagian perhatianku telah teralih olehnya? Sosok yang kini menemani hari-hariku,juga kesendirianku. Mampukah dia membacaku, jika akulah orang yang selalu menuliskan namanya dalam hati, pikiran, juga diaryku?

Aku menikmati dinginnya udara Jogja karena guyuran air hujan siang itu. Air atap masih mengalir kecil, hujan rintik-rintik pun masih sedikit deras. Para mahasiswa lebih memilih untuk kongko di kantin. Untung kantinnya luas. Sehingga tidak ada yang mengantri tempat duduk. Lalu lalangnya mereka menambah hangatnya suasana kantin siang itu. Dari kiri dan kanan terdengar obrolan diiringi canda tawa yang seolah memecahkan penatnya pikiranku karena deadline skripsi.

Sosok laki-laki berbadan tinggi besar mengalihkan pandanganku. Dia tengah memesan makanan. Dari nada suaranya sepertinya tak asing di telingaku. Sesaat jaringan-jaringan dalam hatiku sepertinya menghidupkan signal-signal yang telah lama putus. Aku tersentak saat kilat-kilat cahaya matanya berpendar mengenai retina mataku. Ketika itu hatiku mendadak berdesir. Aku merasakan getaran yang melebihi kekuatan getaran gempa Jogja kala itu.

Dia Daniel.

Sudah tiga tahun aku dan dia menjalin hubungan asmara. Tepatnya sejak aku memasuki bangku perkuliahan. Dia lah orang yang selama ini memberi warna dalam hidupku. Meski kami bukan satu jurusan. Namun, dia selalu mengerti saat aku kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Dia mengambil jurusan sejarah sedangkan aku mengambil jurusan sastra. Mulanya kami bertemu di sebuah lembaga pers mahasiswa. Lalu, sekarang dia telah bekerja sebagai seorang jurnalis di salah satu redaksi di Jogja.

Sebelum dia bekerja, dia selalu ada waktu untukku. Tetapi sekarang, dia sangat sibuk. Aktivitas kesehariannya jika bukan menjadi reporter, writer pasti lay-outer. Wawancara bisa seharian, tergantung nara sumber kapan bisa ditemui dan diwawancarai, setelah wawancara, masih sibuk menulis, bisa sampai malam, selesai menulis, dia me-lay out yang menjadi deadline esok hari. Pertemuan rutin dua minggu sekali, jika seminggu sudah bisa ketemu, itu adalah bonus. Karena selebihnya dia selalu sibuk. Sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis.

*****

Daniel tak sengaja melihat ke arahku. Bibirnya yang manis mengembangkan senyumnya. Langkahnya perlahan mendekatiku, “nungguin aku yah?,” Daniel berdehem.

Aku membalas senyum, “nungguin hujan enggak reda-reda.”

Makan yuk,” ajak Daniel.

“Aku baru saja makan.” Jawabku.

“Kalo begitu temani aku makan yah.” Pintanya. “Kamu nanti enggak ada kuliah, kan?” tanyanya.

“Memangnya kenapa?” sahutku.

“Aku mau mengajakmu jalan-jalan.” Jawabnya.

Setelah selesai makan aku dan Daniel menghabiskan waktu bersama. Bercanda, bercerita, berdua.  Hidup ini seperti memadukan warna untuk menemukan keindahannya. Meski dia tak selalu memiliki waktu untuk selalu bersamaku karena pekerjaannya. Namun, ada saat-saat bersamanya yang membuatku yakin bahwa dia begitu menyayangiku.

Hari semakin malam. Aku dan Daniel pun kembali ke rumah. Dia mengantarku pulang, namun tak sempat berlama-lama karena harus kejar deadline untuk me-lay out koran edisi hari esok.

“Terima kasih, yah. Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampai, kabari.” Pesanku.

“Oke.” Sahutnya seraya mengembangkan senyum manisnya.

*****

Malam itu, handphoneku berdering, aku menghentikan coretan tanganku.ku buka pesan masuk dari Daniel.

Syng, aq udh sampai kantor. Met istiraht ya syng. Aq krja dlu.

Jemariku yang terampil langsung mengetik pesan balasan

Iy syng. Mksih yah. Met krja. Jngn lpa istirht yaa

Aku kembali melanjutkan coretan tanganku. Semua tentang aku dan dia, hanya diary lah yang menjadi tempatku mencurahkan isi hatiku. Suka, duka, bahagia, kecewa, pilu dan segala rasa cintaku.

Tak berapa lama, handphoneku kembali berdering. Tapi kali ini nada panggilan. Aku kembali menghentikan coretanku. Kulihat nama Dafa, memanggilku.

“Asalamualaikum, Tata,” sapa Dafa.

“Walaikumsalam, ya Daf, ada apa?” sahutku.

“Tata, kamu dimana sekarang?”

“Di rumah, Daf. Kenapa?”

“Aku boleh main ke rumahmu?”

“Aku capek banget Daf. Baru pulang jalan sama Daniel jam tujuh tadi. Maaf ya. Kalau penting besok saja di kampus.”

“Oh, oke, Ta. Met istirahat ya.”

“Makasih Daf.”

Aku menutup telepon, lalu ku hempaskan tubuhku di tempat tidurku. Lalu kupejamkan mataku, sesaat aku pun langsung tertidur pulas.

Adzan subuh memaksaku untuk melepaskan gulung selimutku. Aku mengambil air wudhu dan melaksanakansolat subuh. Setelah solat aku tak langsung tertidur. Namun ku persiapkan bab 1 skripsiku. Menganalisis cerita anak modern baru akan aku mulai. Semangat Tata!! Kamu pasti bisa. Bisikku dalam hati.

Kubuka lembar lembar novel anak, juga cerita komik, juga buku-buku referensi. Sastra anak memang telah membuatku tergila-gila. Akuingin terus menyelami karya-karya sastranya maupun dunia kanak-kanaknya. Sejak pukul 05:00 aku terbangun dan mempelajari, tak terasa sudah pukul 07:00. Aku beranjak ke dapur mempersiapkan sarapanku. Setelah itu aku masih menyempatkan diri menonton televisi. Lalu bersiap-siap ke kampus.

Tepat pukul delapan aku berangkat,sampai di kampus aku belum melihat teman-temanku memenuhi kursi DPR(Di bawah Pohon Rindang), istilah favorit aku dan teman-temanku. Lalu dari arah belakangku aku mendengar suara laki-laki memanggilku. Aku menoleh, kulihat Dafa menghampiriku.

“Hai, Daf.” Sapaku. Ada apa tadi malam nelp?”

“Aku mau mengantar ini,” dia menunjukan empat novel anak cerita penulis kecil punya karya; the littte fashion designer, The Cookie Island, Now! Girls Generation abad 21, dan Komikus Cilik.

Aku tersenyum. “Terima kasih, Dafa.” Sahutku.

“Skripsi kamu tentang apa Daf?” tanyaku.

“Aku mengambil sastra anak juga. Aku kepenulisannya.” Jawabnya seraya tersenyum.

“Sama dong kita.” Aku merasa girang karena akan ada yang bisa aku pinjami buku-buku referensi. Tak perlu jauh-jauh mencari buku ke toko buku.

Dafa adalah teman sekelasku. Dalam tugas perkuliahan kita sering satu kelompok. Semakin hari, hubunganku dengan Dafa semakin dekat dan akrab. Dafa sering membantuku dalam kesulitan menyelesaikan tugas-tugas dari dosen. Dia selalu ada waktu untukku.

Namun, meskipun Daniel sibuk bekerja, aku selalu merindukannya, memikirkannya, menghitung hari pertemuanku dengannya. Meskipun sering aku hanya bisa menangis karena Daniel tak bisa menemuiku. Jika sudah hari ke sepuluh, aku sudah lebih tenang. Aku akan bertemu dengannya. Dan aku akan menceritakan perkembangan skripsiku saat bertemu nanti. Daniel terus menyemangatiku melalui telepon. Meskipun Daniel tetap pada dunianya, kesibukannya sebagai seorang jurnalis, tak bisa menemaniku mencari bahan-bahan skripsi saat aku sedang mengejar deadline. Yah, karena kita sama-sama mengejar deadline.

Bab 1, 2, 3, 4, 5, alhamdulilah semua sudah aku lalui. Begitu juga dengan Dafa. Hari ini adalah jadwal sidang.

“Ta,” panggil Dafa saat berpapasan denganku di samping taman kampus pagi sebelum sidang. Warna-warni bunga-bunga menambah indahnya pemandangan di kampusku.

“Hai, Daf. Kamu sudah siap?” tanyaku.

Dafa mengangguk mantap.

Semangat ya Ta. Ucap Dafa.

Terima kasih Daf.

Daniel sudah menelpon memberiku semangat. Semangatku lengkap, dari Daniel juga Dafa. Sidang pun berjalan dengan lancar.

Awalnya aku tak pernah merasakan perasaan yang berbeda saat berada di dekat Dafa. Bahkan aku tetap menjaga kesetiaanku untuk Daniel. Karena aku pun ingin Daniel menjaga hatinya untukku. Namun, entah mengapa. Tepat setelah sidang Dafa berpamitan untuk pulang ke rumah asalnya untuk beberapa hari sambil menunggu jadwal wisuda. Dia akan mengurus surat-surat lamaran kerja di sana. Hatiku menjadi tak menentu hingga larut malam. Tidurku pun dirundung kegelisahan. Aku mendadak insomnia. Pukul 03:00 aku baru bisa memejamkan mata. Aku kembali terbangun saat adzan subuh dikumandangkan.

Pagi itu,

Saat ku terjaga dari tidurku,

Aku merasakan hadirnya

Kulihat wajahnya tersenyum mempesona

Gerak langkahnya, sapa lembutnya

Semua tergambar jelas dalam ingatanku.

Saat itu, kurasakan pilu menyayat hati

Lalu kuberbisik, iyakah aku rindu?

Sungguh aku sesalkan,

Di permulaan hariku,

Mengapa bukan Daniel yang ku pikirkan?

Namun, senyum Dafa yang kuingat

Tuhan, dosakah aku, jika hatiku perlahan mulai terbagi?

*****

Hari ini tepat tanggal 24 Oktober adalah hari ulang tahunku. Aku hanya sendiri di rumah. Daniel sibuk. Dafa pulang kampung. Aku pun tak mempersiapkan apapun untuk ulang tahunku. Hanya sebait doa yang kutulis lalu akan kubaca menjelang pukul 00:00. Aku tersentak saat terdengar suara ketukan pintu.

Aku membuka pintu rumahku. Kulihat Dafa berada di depan pintu seraya membawakan kue tart cokelat berhiaskan stroberi kesukaanku.”Selamat ulang tahun, Tata....” ucap Dafa seraya memberikan kue untukku.

“Terima kasih Dafa....” sahutku.

Aku dan Dafa merayakan ulang tahunku berdua. Saat aku sedang memberikan kue di piring kecil untuk Dafa, Daniel tengah melihatku bersama Dafa. Wajah Daniel memerah, matanya menatap Dafa dengan geram. Langkahnya sigap langsung meraih Dafa. Aksi keributan membuatku teriak histeris saat kulihat Daniel melayangkan tangannya tepat mengenai pipi Dafa. Lalu tanganku menahan tangan Daniel saat diayunkannya untuk kedua kalinya ke arah pipi Dafa.

“Cukup Daniel!” Teriakku.

“Kenapa? Kamu sakit hati? Karena Dafa perhatian sama aku? Sama Daniel... aku juga sakiit. Apa pernah kamu memikirkan sedikit perasaanku. Apa pernah selama aku mengerjakan skripsiku kamu melewati sehari saja untuk bersamaku, Daniel... apa kamu enggak pernah memikirkan dengan siapa aku harus melewati kepenatanku? Saat aku menelponmu dan selalu kamu bilang tidak bisa, hatiku mulai meragukanmu, Daniel... aku berpikir, mungkin aku bukan yang terbaik buat kamu. Aku hanya merepotkanmu.” Ini adalah bom waktu yang ku pendam selama ini aku tak tahu harus kepada siapa aku mengatakannya.

“Daniel. Kamu sudah berbeda. Daniel yang ku kenal tak seperti yang dulu ku kenal.”aku terus mengeluar kekesalanku.

Daniel menatapku tanpa berkata. Airmatanya pun mengelir membasahi pipinya. Lalu pergi meninggalkan aku dan Dafa. Dilemparkannya sebuah benda berbentuk hati ke dinding rumahku.

Tanpa menghiraukan itu, aku membantu Dafa membersihkan luka memar diwajahnya setelah terkena pukulan tangan Daniel. “Sudah Ta. Aku pulang dulu yah.” Ucap Dafa.

Aku mengangguk.

“Istirahat Ta. Maafkan aku, Ta. Karena aku, hubunganmu dengan Daniel menjadi kacau.” Ucap Dafa.

Aku masih terdiam. Pikiranku kalut. Ku teringat benda yang dilempar daniel ke dinding. Kudapati sebuah cincin dalam kotak itu. “Cincin.” Ucapku.

Tak bisa dipungkiri, aku masih mencintai Daniel, juga Dafa.

Siang itu aku duduk disamping jendela kamarku. Seraya menggenggam kotak cincin milik Danil. Inikah kado ulang tahunku yang sebenarnya? Aku terus menggenggam benda berbentuk hati yang dilempar Daniel setelah memukul dafa kemarin. “Kalau saja dia bisa seperti dulu lagi, selalu ada waktu untukku. Mungkin hatiku takan pernah terbagi.” Bisikku lirih.

Daniel telah berdiri sedari tadi aku melamun di jendela kamar.aku tersentak. Langsung kuusap pipiku yang basah oleh butiran air mata. Dari balik Jendela kulihat Daniel tersenyum kepadaku. “Iya, Ta. Itu kado buat kamu. Aku selama ini terlalu sibuk kerja, karena aku ingin memberikan surprise ini. Maafkan aku Ta, aku salah. Aku kira aku selalu tak bisa nemui kamu karena aku sayang sama kamu. Aku memberi kamu waktu untuk selesaikan skripsi, lalu aku disana mempersiapkan penikahan kita. Jadi saat kamu selesai wisuda, aku datang untuk menikahimu.” Daniel meraih tanganku. Seraya tersenyum penuh arti.

“Maafkan aku ya sayang... aku akanbelajar dari kejadian ini. Aku janji akan selalu ada buat kamu.” Daniel membuka kotak, lalu diambilnya cincin emas berhiaskan permata kecil ditengah. “Maukah kamu menjadi istriku, Tata?”

Akupun tersenyum bahagia. “Tapi janji yaa kamu selalu ada buat aku”.ucapku

Daniel mengangguk. “Iya, ta.”

Akhirnya aku menemukan kembali cintaku yang pergi. Kini aku dan dia sama-sama belajar. Belajar untuk saling memahami.

Waktulah yang menjawab semua doaku, kegelisahanku. Dafa sedikitpun tak pernah berubah. Meski sudah tahu hubunganku dengan Daniel. Namun dafa tetap menelponku sekedar menanyakan kabarku.

Pertengkaran malam itu telah menjadi bahan evaluasi untuk aku juga Daniel. Cinta sejati menuntut kesetiaan. Mengejar materi untuk meraih cinta kadang memang lebih relistis. Hanya butuhkesabaran untuk melewatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun