Beberapa hari ini kita diselingi berita tentang (PLT) Dirjen Bimas Katolik yang diisi oleh Prof. Dr. Nurcholis Setiawan yang menggantikan Bpk. Eusabius Binsasi yang telah pensiun bulan Juli yang lalu. Bahkan sebelum diisi oleh Prof. Dr. Nurcholis Setiawan jabatan yang ditinggalkan Bpk. Eusabius diisi oleh Prof. Muhammadiyah Amin yang juga menjabat sebagai Dirjen Bimas Islam Kemenag.Â
Dikatakan Wamenag Bpk. Zainud Tauhid, jabatan Dirjen itu struktural, karena hanya ada satu orang pejabat eselon I di lingkungan Bimas Katolik, sementara selebihnya adalah eselon II dan III, jadi tidak mungkin Plt diambil dari lingkungan Ditjen Binmas Katolik.
Belum berjalan 1 tahun rasanya mungkin teman-teman Katolik mulai gerah dengan keadaan ini, bagaimana hak-hak mereka yang harusnya terpenuhi dengan utuh mungkin sedikit terganggu dengan keadaan ini.
Namun, bagaimana jika anda menjadi Khonghucu? Rakyat yang beragama Khonghucu begitu menderita pasca munculnya Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang pelarangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina di muka umum. Begitu besar dampaknya dirasakan oleh orang Tionghoa pada umumnya. Tapi umat Khonghucu pada khususnya lebih merasakan kesengsaraan itu. Maka wajar jumlah kuantitatif umat Khonghucu di Indonesia begitu mengerucut sejak munculnya Inpres diskriminatif tersebut diatas.Â
Jumlah yang penulis rasa cukup besar saat ada peraturan yang dibuat zaman Soekarno di dalam penjelasan pasal 1 UU no. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang mengatakan bahwa: "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.. ".Â
Jadi jelaslah bahwa ke-6 agama tersebut diatas pada zamannya ialah (in majority) agama-agama yang dipeluk oleh rakyat Indonesia. Namun demikian tak pernah ada kata diakui/ mengakui, jadi jelaslah fungsi negara tidak untuk mengakui atau tidak sebuah agama melainkan hal tersebut di atas menjelaskan tentang kuantitas penganut agama-agama di Indonesia.
Ditambah lagi dengan jejak sejarah aturan Hari Raya No. 2/OEM-1946 pada pasal 4 yang menyebutkan bahwasannya Tahun Baru Imlek, Cengbeng, Hari Lahir dan Wafat Khonghucu sebagai Hari Libur nya orang Tionghoa pada umumnya. Tidak mengherankan bahwa pemerintah memang memandang Orang Tionghoa di Indonesia adalah (in majority) umat Khonghucu.Â
Zaman Soekarno usai, berganti zaman Soeharto dimana tak mungkin lagi ada kolom agama Khonghucu di KTP, tak mungkin juga menikah dengan keyakinan khonghucu karena negara pasti tak mau mengakuinya, bahkan ditambah lagi dengan adanya aturan ganti nama dan pengurusan SBKRI. Kemudian ada juga tuduhan tendensius komunis disematkan pada kami umat Khonghucu.Â
Namun rasanya berlebihan dan tak berlogika yang berfikir demikian, bahwasannya Confucianism/ Ru Jiao (Agama Khonghucu) di negeri asalnya pun di hancurkan oleh rezim komunis Mao yang mungkin menganggap ajaran tersebut terlalu demokratis.
Belum lagi kemunculan klan-klan tionghoa kanibal yang dekat pusaran kuasa yang membenci Tionghoa dan Khonghucu Indonesia semisal Kristoforus Sindhunata lewat organ BAKOM-PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) yang dikuasainya, mereka bisa dikatakan cukup berhasil menghasut Soeharto untuk membuat aturan-aturan aneh semisal 'ganti nama' yang mengadu domba orang tionghoa dan khonghucu di republik ini, mengalahkan dominasi pemikiran Baperki nya Siauw Giok Tjhan yang punya pemikiran sebaliknya dengan Kristoforus cs, asimilasi natural nir paksaan tanpa menghilangkan identitas dengan tetap nasionalis mencintai negeri ini.
Siapa yang nyatanya paling sengsara? Umat Khonghucu lah jawabannya, karena kenyataannya umat Khonghucu yang paling banyak dirugikan, apalagi ketika melihat kenyataan juga banyaknya kelenteng berganti nama jadi vihara dengan maksud menyelamatkan fungsi-fungsi kelenteng yang ada di Indonesia.Â